Pengetahuan kita (manusia) terhadap yang benar dan salah tidak lain dikarena hidup dan pikiran kita dari sejak dini didoktrin/diajarkan/ditanamkan 'ini lho yang bener dan ini lho yang salah, kita harus melakukan yang benar dan yang salah gak boleh dilakukan, dosa, nanti masuk neraka'. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kita mengetahui benar dan salah merupakan suatu kebiasaan atau tradisi. Apabila kita didoktrin sebaliknya dari sejak dini (yang sekarang kita anggap salah menjadi benar dan yang benar menjadi salah), maka hidup kitapun sekarang kita akan menilai apa yang salah menjadi bener dan yang bener menjadi salah.
Misalnya, kita tahu bahwa mencuri merupakan tindakan berdosa, tindakan yang dilarang, dan tindakan yang tidak benar atau salah. Kita mengetahui itu tindakan yang berdosa/salah dikarenakan kita diberi tahu, diajarkan, dan didoktrin oleh orang tua/guru/ saudara-saudari, dari sejak kita masih kecil. Akan tetapi, apabila kita dari sejak kecil diajarkan dan diberi tahu bahwa mencuri itu baik untuk dilakukan, maka kita akan selalu menganggap mencuri sebagai tindakan yang baik untuk dilakukan. Maka, perlu kita pertanyakan "kebenaran yang sesungguhnya itu seperti apa?
Atau contoh lain untuk menanyakan kebenaran yang sesungguhnya bisa kita lihat persepsi orang beriman terhadap mereka yang atheis (tidak mengakui keberadaan Tuhan). Orang beriman menganggap atheis salah karena tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Begitu juga dengan sebaliknya, atheis menganggap orang beriman salah karena mempercayai yang tidak ada. Dari posisi seorang atheis dan seorang beriman, mereka menganggap bahwa dirinya yang benar dan yang bertentangan dengan dirinyalah yang salah. Jika demikian, kebenaran yang sesungguhnya itu seperti apa?
Dari contoh dan pernyataan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa benar dan salah merupakan sebuah kesepakatan dan kebiasaan atau doktrin pengetahuan/pengajaran yang sudah tertanam dalam pikiran kita. Dengan demikian, kebenaran yang sesungguhnya itu kebenaran yang seperti apa? Â dan bagaimana kita mencari atau menemukan kebenaran yang sesungguhnya itu? Karena kita semua dapat beranggapan dan menilai kebenaran dan kesalahan sesuai dengan persepsi kita masing-masing.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa benar atau salah adalah suatu kesepakatan, affirmasi, dan neaffirmasi. Natutalmente, benar atau salah ditentukan oleh sense dan pikiran. Akan tetapi, ketika hidup di dunia, benar atau salah ditentukan oleh hukum, maka benar atau salah menjadi semu karena semua dapat diputarbalikkan. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan apa batasan untuk menentukan benar atau salah?
Kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenatan itu sendiri, yang harus diselami hingga ke kedalaman tertentu karena tersembunyi dibalik semua topeng yang ada. Setiap orang bisa menentukan benar atau salah, tanpa hukum maupun dengan hukum. Kalau tanpa hukum atau regula, maka kita tidak akan sampai pada kebenaran yang diakui bersama. Kalau ada regula, mungkin bisa jadi, kebenaran itu adalah kebenaran itu sendiri yang sulit ditentukan karena ambiguitas dan lain sebagainya.
Dengan demikian berarti ada kemungkinan kebenaran yang kita anggap benar sekarang bisa jadi bukanlah hal yang benar, dikarenakan adanya kesepakatan benar itu sehingga yang tidak benar menjadi benar? Jawabannya iya, karena semua kemungkinan itu bisa terjadi. Benar karena benar, benar karena dibenarkan, begitu juga sebaliknya. Olehkarena itu, seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa kebenaran perlu diselami supaya kita dapat menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Bagaimana kita dapat menyelaminya? Tindakan sederhana yang dapat kita lakukan untuk menyelami kebenaran ialah melalui berefleksi dan merenungkan pengalaman-pengalaman hidup kita, segala sesuatu yang terjadi baik yang kita lihat dan kita alami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H