Mohon tunggu...
Marcel Linus
Marcel Linus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mendalami Sejarah, Geopolitik, Hubungan Internasional, Politik Luar Negeri, dan Ekonomi Global

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kompleksitas Negara Pemilik Nuklir di Semenanjung Korea

12 September 2024   21:06 Diperbarui: 12 September 2024   21:06 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semenanjung Korea Sebagai Salah Satu Titik Panas Perseteruan Antara Blok Barat dan Blok Timur - Dawaktuna

Dunia sedang berada diujung tombak pecahnya perang dunia global untuk ketiga kalinya, probabilitas dinyalakannya sumbu api peperangan di tiga kawasan yang berbeda semakin tinggi. Teater Asia Tengah, Teater Eropa Timur, dan Teater Asia Timur menjadi tiga kawasan di mana kemungkinan tersebut dapat terjadi, tiap tahunnya negara-negara pemimpin blok barat maupun blok timur menunjukkan taringnya dengan memperluas jaringan proksi dan mengatur mereka yang berada di bawah pengaruh negara superpower untuk membuka pintu awal yang kelak bisa memicu pecahnya perang frontal antara para pemilik senjata pemusnah massal dan merealisasikan konsep Mutual Assured Destruction (MAD) yang dapat diterjemahkan menjadi kehancuran dunia. Tiga kawasan konflik tersebut akan menjadi Black Swan bagi dunia, teori Nassim Nicholas Taleb ini mencerminkan ketidakpastian yang dapat mengubah sejarah dunia dalam sekejap. Terbunuhnya Franz Ferdinand II dan invasi Jerman menuju Polandia telah menjadi Black Swan yang membawa perubahan drastis terhadap kondisi pasca perang negara-negara kuat Eropa yang post war effect-tnya turut dirasakan oleh wilayah jajahan Bangsa Eropa.

Salah satu Black Swan tertuju pada ketegangan konflik di Asia Timur yang sering kali mengalami ups and downs sejak berakhirnya teater pasifik Perang Dunia ke 2. Kondisi ini merupakan warisan dari Perang Dingin yang telah mewarnai tensi geopolitik dunia selama lebih dari 70 tahun dan sepertinya akan tetap menjadi salah satu panggung utama bagi negara-negara superpower untuk memproyeksikan kekuatan mereka antar satu sama lain. Kini terdapat enam aktor utama yang mewarnai konflik di Semenanjung Korea, yaitu China, Rusia, Korea Utara, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Masing-masing negara memiliki kerja sama kolektif dalam berbagai bidang, salah satunya di bidang pertahanan dan militer. Amerika Serikat maupun China memanfaatkan negara yang lebih lemah sebagai negara bawahan untuk diadu domba. Sejak Joe Biden mengambil alih tahta Donald Trump di panggung tertinggi pemerintahan AS, intensitas ketegangan di kawasan Pasifik tak kunjung mereda, hal ini berlawanan dari harapan masyarakat dunia yang dulunya mengira Biden akan melunak terhadap China dibandingkan Trump. Taktik adu domba pada akhirnya meningkatkan tensi politik di kawasan pasifik. Hasil dari taktik dapat kita lihat dari berbagai jenis tindakan provokatif yang dilakukan masing-masing negara untuk menimbulkan perasaan paranoid antara satu sama lain.

Ketegangan di Semenanjung Korea sangat dipengaruhi pula oleh figur pemimpin dari masing-masing negara yang berbatasan di Garis Paralel ke-38 itu, beragam soft approach telah diupayakan baik dari pihak Korea Utara maupun Korea Selatan. Pada tahun 1990-an misalnya, hubungan kedua negara sempat mengalami tensi terendahnya di mana presiden Korea Selatan saat itu, Kim Dae Jung, membentuk peace initiatives yang disebut Sunshine Policy, kebijakan ini disambut dengan baik oleh Presiden Korea Utara, Kim Jong Il. Tentu pendekatan ini sangatlah revolusioner karena berhasil membuat kedua negara ini seketika lupa dengan dendam yang tersimpan dalam sejarah berdarah mereka, hal ini terbukti hadiah nobel perdamaian yang diberikan kepada Kim Dae Jung. Upaya yang sama dilakukan oleh Presiden Moon Jae In dengan Moonshine policy nya, namun selepas akhir jabatannya, hubungan antar dua negara kembali memanas, Kim Jong Un mulai menggunakan anggota keluarganya sebagai tanda isyarat perasaan dinasti Kim terhadap Korea Selatan maupun negara tetangganya.

Sunshine Policy yang Berlangsung Pada Tahun 1998-2008 - KoreaTimes
Sunshine Policy yang Berlangsung Pada Tahun 1998-2008 - KoreaTimes

Nasi telah menjadi bubur, Korea Utara telah diwarnai dengan ambisi balas dendam pasca Perang Korea di awal tahun 1950-an itu. Si Vis Pacem Para Bellum, ungkapan ini merupakan cerminan langsung dari taktik politik Keluarga Kim pasca runtuhnya Uni Soviet pada akhir abad ke 20. Kehilangan mitra terbesar merupakan tantangan terberat bagi negara ini, Korea Utara telah memandang Uni Soviet sebagai keluarga yang terus menerus bersedia dan rela mengayomi kebutuhan Korut. Satu-satunya warisan yang tersisa bagi mereka adalah hasil kerjasama penelitian nuklir yang telah dijalankan oleh kedua negara sejak tahun 1956. Peristiwa runtuhnya Uni Soviet inilah yang memaksa Korea Utara menjadi negara yang berdikari, maka Kim Jong Il mencoba untuk memanfaatkan hasil transfer teknologi nuklir itu untuk memproduksi senjata pemusnah massal, karena ia sadar bahwa negaranya sudah tidak memiliki penopang eksternal lagi dan nuklir merupakan satu-satunya kunci yang dapat dijadikan deterrence dan alat tawar jika negara itu menerima ancaman dari negara asing. Tahun 2006 pun menjadi tahun diuji cobanya senjata nuklir pertama Korea Utara, tidak ada yang tau pasti mengenai hasil dari uji coba nuklir itu, namun di sinilah Korut memainkan politik bisunya, karena tidak masalah apakah negara ini berhasil atau gagal dalam memproduksi senjata nuklir, yang terpenting adalah efek dari uji coba ini yang meningkatkan ancaman dan ketakutan negara tetangganya. Maka Korea Utara telah berhasil menciptakan senjata yang bisa dijadikan daya tawar dipanggung internasional. Hal ini selaras dengan ungkapan Sun Tzu dalam bukunya The Art of War bahwa, "The supreme art of war is to subdue the enemy without fighting", menakut-nakuti adalah cara termudah dalam menaklukkan moral musuh kita, dan inilah yang dipraktikan Korea Utara dengan sangat baik.

Berbeda dengan Korea Utara yang sempat kehilangan sumber pertolongannya, hingga saat ini Korea Selatan tetap mempertaruhkan nyawanya di tangan Paman Sam. Korea Selatan terlindungi dalam skema Mutual Defense yang dibentuk AS dalam kerangka San Fransisco System, strategi ini terbentuk tepat setelah meletusnya Perang Korea pada tahun 1950. Program ini merupakan bentuk jaringan kerja sama antara Amerika Serikat dengan sekutunya di Asia Timur, tentu tujuannya untuk memproyeksikan kekuatan AS di kawasan tersebut, pull factor dari terbentuknya jaringan ini merupakan hasil dari Truman Doctrine dan konsep Domino Effect milik Dwight D Eisenhower yang diadopsi AS pada saat itu. Kerangka kerjasama kolektif yang terangkum dalam gaya bermain AS membuat tensi di Semenanjung Korea semakin intensif. Tak hanya Korea Selatan, negara Asia Timur lainnya seperti Filipina, Jepang, pun turut menjadi mitra strategis Amerika Serikat yang terangkum dalam konsep kerjasama mutual defense initiatives. Bentuk kerja sama yang terjalin antara Korea Selatan dan Amerika Serikat dimanifestasikan dalam Ulchi Freedom Shield yang telah berlangsung sejak tahun 1976. Korea Selatan difasilitasi senjata nuklir oleh Amerika Serikat yang telah terikat dalam usaha pertahanan komunal, maka Korea Utara tidak dapat merasa aman sebagai pemilik senjata nuklir tunggal di Semenanjung Korea.

Semenanjung Korea Sebagai Salah Satu Titik Panas Perseteruan Antara Blok Barat dan Blok Timur - Dawaktuna
Semenanjung Korea Sebagai Salah Satu Titik Panas Perseteruan Antara Blok Barat dan Blok Timur - Dawaktuna

Tensi geopolitik yang meningkat pasca Perang Dingin merupakan perwujudan nyata dari teori Lebensraum yang dikemukakan oleh Friedrich Ratzel, di mana negara adalah sebuah organisme yang membutuhkan ruang yang cukup agar bisa tumbuh dengan subur. Semakin luas ruang hidupnya, semakin kuat dan maju negara tersebut. Kemunculan senjata nuklir sejak suksesnya Trinity Test pada tahun 1945 telah menjadi belenggu utama ketegangan konflik di dunia saat ini. Skala Semenanjung Korea menjadi ruang bagi negara superpower untuk memperluas ruang hidupnya secara tidak langsung dengan membuat negara-negara lemah di Asia Timur untuk tunduk terhadap negara yang lebih kuat. Ketegangan di Semenanjung Korea hanyalah satu dari beberapa titik konflik lainnya yang tersebar di kawasan Asia Timur. Mengacu pada konsep Black Swan, ketegangan antar negara kelak akan berubah menjadi konflik antar blok yang pada akhirnya akan meramaikan perseteruan yang terjadi di sisi dunia lainnya. Semenanjung Korea adalah efek domino dari beberapa kawasan konflik lainnya. Ketegangan ini hanyalah bentuk perploncoan sekumpulan negara-negara berkembang tak berdaya yang dijadikan proksi kekuatan besar, perang hanya menguntungkan negara maju yang sudah memiliki industri pertahanan karena sejatinya sistem Military Industrial Complex itu nyata dan sistem ini hanya menguntungkan mereka yang sudah berdikari dalam industri pertahanan, pernyataan ini tentunya bersinergi dengan pemikiran Jean Paul Sartre dalam bukunya The Devil and the Good Lord yang mengatakan "When the rich wage war it's the poor who die".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun