Masih ingatkan dengan Andi Arief, wakil Sekjend Partai Demokrat yang pada sekitar tanggal 8 Agustus 2018 membuat pernyataan yang cukup mengejutkan juga. Menjelang finalisasi penentuan cawapresnya Prabowo Subianto Andi mengungkapkan kata-kata yang tidak senonoh terhadap mantan Pangkostrad itu.
Andi menyebutnya sebagai jenderal kardus dan diiringi beberapa kata-kata lainnya yang  menunjukkan ketidak senangannya kepada Ketua Umum Partai Gerindra itu. Tidak hanya Prabowo yang dihinanya, tapi Andi juga menyebut Sandiaga Uno memberikan dana kepada PAN dan PKS dengan maksud agar kedua parpol itu menyetujuinya sebagai cawapres.
Pada masa itu banyak kalangan yang berpendapat Andi cukup berani mengemukakan hal yang demikian. Tapi disamping banyak yang memujinya tapi banyak juga yang meragukan pernyataannya. Malahan ada juga yang beranggapan pernyataan yang demikian hanyalah sebatas sensasi.
Kalangan yang memujinya mengharapkan agar Andi memberi informasi yang jelas kepada instansi yang berwenang sehingga tuduhannya itu bisa dibuktikan secara hukum.
Berkaitan dengan hal tersebutlah maka Bawaslu turun tangan untuk menuntaskannya. Tapi sayangnya, beberapa kali Andi tidak datang memenuhi panggilan badan pengawas pemilu itu. Oleh karena Wakil Sekjend Demokrat itu tidak hadir maka akhirnya Bawaslu menutup kasus itu.
Karenanya sampai sekarang publik masih bertanya tanya apakah lontaran kata kata Andi untuk PAN dan PKS itu hanya sebatas sensasi, fitnah atau mengandung kebenaran. Kemudian sekarang ini Andi membuat pernyataan lagi yang menurut saya pernyataan atau usulannya itu adalah sesuatu yang ngawur.
Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat itu mengkritik pihak pihak yang masih mempersoalkan isu penculikan atau pembunuhan masa lalu jelang pemilihan Presiden ( Pilpres) 2019.
CNN Indonesia ,30/12/2018 selanjutnya memberitakan, Andi meminta pihak - pihak tersebut untuk bertanya langsung ke Presiden Joko Widodo terkait keberhasilannya menuntaskan kasus Hak Azazi Manusia ( HAM). Dalam hal ini Andi mengkritik Jokowi yang justru gagal menuntaskan kasus HAM yang melibatkan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Novel Baswedan.
Menurut Andi pembahasan soal penculikan dan pembunuhan masa lalu akan relevan jika Jokowi mau memberi sebelah matanya pada Novel Baswedan. Menurut Andi percuma Jokowi punya mata tapi tak mampu menuntaskan kasus penyiraman air keras terhadap novel.
" Kenapa mata Pak Jokowi ? Karena percuma punya mata tapi tau mau melihat persoalan yang mudah ini untuk diselesaikan", tambahnya. Saya menjadi tertarik untuk mengikuti alur pikir Andi Arief berkaitan dengan pernyataannya ini .
Menurut saya alur pikirnya adalah sebagai berikut, sekarang ini ada kelompok ataupun perorangan yang masih membicarakan atau mempersoalkan isu penculikan atau pembunuhan masa lalu jelang Pilpres 2019. Kita  bisa menduga siapa yang dimaksud oleh Andi Arief. Tentulah yang dimaksudkannya itu adalah kubu Jokowi- Ma'ruf Amin.
Kelompok ini janganlah mempersoalkan pelanggaran HAM masa lalu itu karena pada era Jokowi ada juga kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas yakni berkaitan dengan penyiraman air keras yang mengenai mata Novel Baswedan. Oleh karena kasus ini belum tuntas maka janganlah dipersoalkan kasus pelanggaran HAM masa lalu itu.
Kalau mau terus mempersoalkannya juga, seharusnya Jokowi memberikan satu matanya untuk Novel Baswedan. Sebuah peristiwa memang sudah terjadi yakni sebelah mata penyidik senior KPK itu rusak akibat kena siraman air keras. Fakta juga menunjukkan sampai sekarang belum terungkap siapa pelaku dan dalang dari peristiwa itu.
Tetapi wajar juga dipertanyakan apakah karena belum terungkapnya kasus itu, lalu tanggung jawab pengungkapan kasus berada di tangan Jokowi? Â Karena belum terungkap itu lalu Jokowi harus dituntut menyerahkan satu matanya untuk Novel?Â
Sepanjang yang disimak tidak ada tanda tanda bahwa Jokowilah yang memerintahkan penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Memang sampai sekarang belum dapat diungkapkan siapa yang memerintahkan perbuatan keji itu. Namun dapat dipastikan bukan Jokowi yang memerintahkannya .
Walaupun kejadian itu dimasa Jokowi dan dimasanya juga kejadian itu belum terungkap, tapi tidak layaklah hukuman diberikan kepada mantan Walikota Solo itu. Bahwa dimasa Jokowi kasus itu belum terungkap memang benar.
Karenanya  merupakan hak pemilih lah untuk menilai penegakan HAM dimasa pemerintahannya . Sama halnya dengan isu pelanggaran HAM dimasa lalu, merupakan hak publik juga lah untuk menilai rekam jejak seseorang yang berkaitan dengan masa lalunya itu.
Dalam konteks yang demikianlah saya menilai pernyataan Andi Arief berkaitan dengan pemberian satu mata Jokowi ke Novel Baswedan itu merupakan usulan yang ngawur.
Salam Demokrasi!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI