Untuk meningkatkan popularitas tentu televisi sangat dibutuhkan. Diyakini media audio visual ini sangat bermanfaat untuk peningkatan elektabilitas seorang calon legislatif, parpol bahkan juga pasangan pada Pilkada maupun Pilpres. Karenanya tidak berlebihan kalau menyebut banyak tokoh yang selalu ingin tampil di media ini.
Tahun delapan puluhan ketika TV RI masih merupakan satu satunya stasiun televisi yang ada di negeri ini ada istilah yang populer di Medan yakni " Marpoken".
Istilah ini secara harfiahnya berarti ke pasar. Entah bagaimana asal muasalnya tetapi istilah "Marpoken" ini menjadi disematkan kepada seseorang tokoh yang rela merogoh kantongnya asalkan berita tentang dirinya dan aktivitasnya diberitakan melalui TV.
Sekarang ini dengan banyaknya stasiun TV milik swasta maka kesempatan untuk meraih popularitas itu semakin terbuka lebar.
Saya tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang pertelevisian diluar negeri terutama tentang kepemilikannya.
Tetapi di negeri ini beberapa stasiun televisi swasta justru dimilki oleh para pengusaha yang juga politisi. Para pengusaha - politisi yang memiliki stasiun televisi itu antara lain Surya Paloh, Abu Rizal Bakrie dan Harry Tanoe.
Dua di antara ketiga tokoh ini sampai sekarang ini masih menjabat Ketua Umum Partai Politik. Surya Paloh pada Nasdem dan Harry Tanoe pada Perindo, sedangkan Abu Rizal Bakrie pernah menjabat Ketua Umum Partai Golkar.
Seperti yang terlihat pada pemberitaannya maka stasiun televisi tesebut juga sangat intens memberitakan hal hal yang berkaitan dengan preferensi politik yang dianut oleh pemiliknya. Bahkan stasiun televisi itu juga sering terlihat menjadi media partai.
Oleh karena seringnya "Mars Partai Perindo" ditayangkan melalui stasiun televisi milik Harry Tanoe, maka anak anak kecil pun banyak yang hafal Mars partai itu.
Begitu juga lah halnya menjelang Pilpres 2019, stasiun televisi ikut juga ambil peran untuk mengkampanyekan calon yang diunggulkan oleh pemilik masing masing stasiun televisi. Nah di sinilah kelihatannya yang menjadi  pangkal masalahnya.
Mungkin Badan Pemenangan Nasional ( BPN) Prabowo -Sandi menilai Metro TV yang dimiliki Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem tidak proporsional dalam pemberitaannya.
Oleh hal yang demikian BPN Prabowo - Sandi memboikot sementara perusahaan televisi swasta, Metro TV. Â Hal ini dinyatakan oleh Ferdinand Hutahaean, anggota BPN Kubu Prabowo -Sandi. Seperti dikutip dari Tempo.co, pernyataan boikot itu diungkapkan oleh Ferdinand pada Sabtu malam, 3 November 2018.
Selanjutnya politisi Demokrat itu menyatakan aksi boikot itu hingga waktu yang tidak ditentukan. Ferdinand juga menyatakan selama aksi boikot digencarkan, kubu Prabowo tak bakal melayani agenda wawancara atau bincang bincang eksklusif Metro TV.Â
Pria bermarga Hutahaean itu juga menegaskan Prabowo juga tak akan bertandang ke acara debat yang bakal ditayangkan televisi milik Surya Paloh itu. "Kami tidak diijinkan menghadiri Metro TV sampai ada pemberitahuan lebih lanjut", ujar Ferdinand.
Kita belum mengetahui seperti apa tindak lanjut aksi boikot itu. Apakah sebatas tidak mengikuti kegiatan yang diagendakan Metro TV atau akan disusul tindakan lainnnya misalnya menyerukan anggota parpol dan simpatisan pasangan 02 untuk tidak menonton TV yang diboikot itu.
Terlepas dari seperti apa kelanjutan boikot itu tetapi menjadi penting untuk membahas bagaimana sesungguhnya kaitan antara stasiun televisi dengan dunia perpolitikan di negara ini. Dengan perkataan lain, bolehkah  media menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu pasangan calon pada kontestasi demokrasi termasuk pada Pilpres?
Tentulah pada tataran ideal media penyiaran haruslah independen dan tidak memihak. Pasal 36 Undang Undang Penyiaran ( UU Nomor 32 Tahun 2002) memberi isyarat untuk itu. Pada ayat (4) dinyatakan Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tentu.
Belum diperoleh informasi yang lebih jelas apakah aksi boikot BPN Prabowo - Sandi karena Metro TV dianggap telah mengabaikan netralitasnya sebagaimana dinyatakan oleh UU Penyiaran atau karena BPN menilai dalam pemberitaannya selama ini TV milik Surya Paloh itu berat sebelah lebih condong memberitakan kegiatan pada pasangan 01.
Seingat saya pada Pilpres 2014, Prabowo melalui beberapa pernyataannya juga sudah mengkritik keberpihakan Metro TV kepada pasangan Jokowi- Jusuf Kalla. Seperti diketahui pada Pilpres yang lalu itu Nasdem merupakan partai pengusung Jokowi-JK.
Terlepas dari alasan BPN memboikot Metro TV namun selalu muncul pertanyaan mungkinkah pada situasi perpolitikan sekarang ini sebuah lembaga penyiaran mampu menjaga netralitasnya dalam berpolitik.
Salam Demokrasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H