Berbagai tudingan langsung maupun tidak langsung yang dimaksudkan untuk membentuk opini publik mulai terbentuk. Opini yang demikian mulai diarahkan untuk menggerus elektabilitas dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden pertahana itu.
Kedua, saya memperoleh kesan bahwa pengakuan nya tentang rekayasa penganiayaan itu bukanlah didorong oleh sebuah kesadaran yang tulus tetapi karena polisi juga sudah bisa memetakan dan membuyarkan skenarionya itu.Â
Polisi berhasil memperoleh fakta yang kuat bahwa pada 21 September 2018, Ratna berada di sebuah rumah sakit kecantikan di Menteng, Jakarta Pusat. Dia berada disana justru untuk sedot lemak. Pada saat keberadaannya di rumah sakit itulah Ratna menyebut dirinya di seputaran Bandara Husein Sastranegara Bandung tempat terjadinya "penganiayaan".
Ketiga, perlu ditelusuri, apakah perbuatannya itu atas ide atau inisiatifnya sendiri atau ada pihak lain yang ikut sebagai penggagasnya. Keempat, dengan "reputasinya" yang demikian, publik menunggu sikap timses Prabowo-Subianto. Apakah timses memaafkannya atau akan memberikan sanksi.
Kelima, selama ini diberbagai tempat, kelompok masyarakat menolak kehadiran Ratna. Terhadap penolakan yang demikian banyak banyak kritik yang muncul.Seolah olah masyarakat yang menolak itu dianggap anti demokrasi.
Tetapi sekarang semuanya sudah jelas. Sudah benarlah tindakan kelompok masyarakat yang menolak kehadirannya itu. Bukankah sekarang ia sudah mengaku sebagai "pencipta hoaks".
Sungguh kecewa kita seorang yang dianggap selama ini sebagai pejuang demokrasi ternyata adalah pembuat hoaks. Sebuah pelajaran yang berharga untuk kita semua. Salam Demokrasi!