Kompas.com (18/9/2018) memuat laporan bahwa Kereta Bandara Soekarno-Hatta masih belum mendapat tempat di hati masyarakat untuk jadi pilihan pertama moda transportasi menuju Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Media online milik Kompas Group tersebut mengemukakan, setelah lebih dari setengah tahun keberadaannya, dengan mengutip Humas PT Railink Diah Suryandar, okupansi penumpang kereta saat ini masih di kisaran 30-35 persen dari total kapasitas penumpang yang bisa diangkut kereta bandara.
Artinya pada saat ini pengguna kereta itu masih berada pada kisaran 2.600-2.700 orang per hari. Tentulah tingkat okupansi ini masih kecil mengingat penumpang yang naik-turun di bandara Soekarno-Hatta sudah mencapai 60 juta orang/tahun.
Saya yang tinggal di Medan, kalau terbang ke Jakarta dan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta selalu menggunakan kereta bandara menuju Stasiun BNI City Sudirman dan dari sana menggunakan taksi menuju tujuan berikutnya.
Saya sudah tiga kali menggunakan kereta bandara yang diresmikan Presiden Jokowi pada awal tahun 2018 ini. Ada beberapa alasan mengapa saya memilih kereta bandara itu.
Pertama, harga tiket Rp 70.000/orang masih layak karena masih terjangkau.
Kedua, bisa tepat waktu tiba di tujuan karena dari bandara ke Stasiun BNI City Sudirman hanya butuh waktu sekitar 45 menit.
Ketiga, gerbong kereta bersih, nyaman ruang gerak kaki ketika duduk di kursi cukup lapang.
Keempat, ruang tunggu di stasiun kereta di bandara cukup nyaman dan dilayani oleh petugas yang ramah dan sopan.
Hal terpenting dari keempat alasan tersebut tentunya berkaitan dengan ketepatan waktu, apalagi sekarang ini sedang ada perawatan/perbaikan jalan menuju bandara yang sering menimbulkan kemacetan lalu lintas.
Berdasarkan pengalaman tiga kali menggunakan moda transportasi modern itu, menurut saya ada beberapa penyebab mengapa tingkat okupansinya masih rendah.
Kalau ada 4 orang penumpang pesawat yang ingin menggunakan kereta bandara dan di antara rombongan itu ada yang sudah tua atau masih anak-anak memang akan menimbulkan kerepotan.
Ketika keluar dari terminal bandara, kita harus jalan kaki menuju stasiun kereta intra bandara. Saya sering naik kereta di stasiun di depan terminal 1B. Mungkin tidak perlu jalan kaki karena ada bus intra bandara yang memberi angkutan secara gratis. Tetapi andainya pun bus itu ada, tetap akan menimbulkan kerepotan, naik-turun bus. Belum lagi berbicara tentang barang bawaan seperti koper.
Sesampainya di stasiun kereta intra bandara, kita naik kereta menuju stasiun kereta bandara. Ambil tiket, menunggu sejenak, kemudian naik kereta menuju Stasiun BNI Sudirman. Sesampainya di sana turun dari kereta, menuju tempat taksi menunggu dan lanjut menuju tujuan. Tiga kali naik taksi menuju tempat yang saya tuju, setiap naik taksi harus merogoh kocek Rp 50.000.
Dengan contoh yang disebutkan di atas, kalau ada 4 orang yang berombongan maka uang yang dikeluarkan adalah 4x Rp 70.000= Rp 280.000 ditambah ongkos taksi Rp 50.000 hingga berjumlah Rp 330.000.
Sedangkan kalau menggunakan taksi dari bandara ketempat yang biasa saya tuju cukup mengeluarkan biaya Rp.250.000. Dengan menggunakan taksi waktu tempuh lebih lama tetapi biaya yang dikeluarkan lebih kecil dan tidak perlu naik turun, kereta intra bandara-kereta bandara-taksi .
Tentang naik turun moda transportasi ini masalah juga buat anak-anak atau orang tua ditambah lagi menaikkan dan menurunkan barang bawaan.
Saya bukanlah ahli transportasi tetapi beberapa hal ini dikemukakan berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya yang mungkin berguna sebagai bahan untuk pihak Railink.
Salam Transportasi untuk kenyamanan!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI