Salah satu diskursus yang menarik belakangan ini ialah adanya keinginan Komisi Pemilihan Umum ( KPU) untuk melarang eks napi korupsi ikut mencalon pada pemilu. Namun kelihatannya pemerintah tidak setuju dengan sikap tersebut sehingga gagasan KPU itu menjadi mengambang. Terlepas bagaimana nanti  ujung keinginan KPU itu layak juga mencermati bagaimana sesungguhnya pandangan masyarakat terhadap para mantan napi korupsi itu.
Sepanjang yang diamati di berbagai daerah ,tidak muncul kesan bahwa napi korupsi itu menjadi dijauhi atau dimusuhi masyarakat. Malahan sebahagian diantaranya tetap melaksanakan aktivitas politik dan kemasyarakatannya seperti biasa. Sebahagian dari mereka tetap punya pengaruh dan tetap dihormati oleh masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain mereka tidak mendapat hukuman sosial dari masyarakatnya.
Apa yang terjadi pada Pilkada Tulung Agung semakin menguatkan anggapan bahwa masyarakat tidak alergi kepada para koruptor atau yang telah diberi label tersangka dalam kasus korupsi.Â
Sebagaimaimana diketahui Syahri Mulyo, Bupati petahana Tulung Agung kini mendekam dalam tahanan KPK karena telah dijadikan sebagai Tersangka oleh komisi anti rasuah itu pada awal Juni 2018 yang lalu. Artinya ia sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK sebelum pencoblosan suara 27 Juni 2018. Namun walaupun ia sudah ditahan KPK tetapi pada pilkada Tulung Agung dengan berpasangan dengan Marwoto Bhirowo mereka mampu meraup suara terbanyak.
Berdasarkan data yang masuk dari 80,82 persen Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kabupaten Tulung Agung, Syahri- Marwoto unggul dengan persentase 59,8 persen atas lawannya Margiono dan Eko yang meraih 40,2 persen ( Kompas.com,28/6/2018). Berkaitan dengan kemenangan tersebut, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan akan tetap melantik Bupati Tulung Agung Syahri Mulyo. Alasannya karena Tjahjo tetap menghormati hasil proses pilkada serentak 2018 yang baru saja berlangsung.
" Suara rakyatkan suara Tuhan. Apa pun proses pilkada yang memilih masyarakat ,siapa yang dipilih itu yang dimaui masyarakat ya jalan terus", ujar Tjahjo" Tetap dilantik sampai ada kekuatan hukum tetap ia (Syahri Mulyo) bersalah atau tidak ", kata Tjahjo ditemui usai appel bersama di Lapangan Monas, Jakarta, Jum'at, 29 Juni 2018( Kompas,com, 29/6/2018).
Dari sisi hukum positip tentu tidak ada yang salah dengan penegasan Mendagri ini.Terlebih lebih dilihat dari kacamata asas " praduga tidak bersalah". Namun demikian wajar juga kita mencermatinya dari sisi lain yakni dari sudut kelayakan dan kepatutan.
Kepala Daerah punya peran penting untuk kemajuan sebuah daerah.Hampir semua waktu yang dimilikinya seharusnya tersita untuk berpikir dan berbuat demi kemajuan daerahnya. Dengan 100 persen waktu yang dimilikinya itu belum tentu berhasil untuk memacu pembangunan daerah.
Dengan posisi dalam tahanan KPK tentulah tidak mungkin lagi waktu Syahri Mulyo sepenuhnya dapat dicurahkan untuk daerahnya.Terlebih lebih karena berada dalam tahanan tentu membuat gerak langkahnya sangat terbatas. Andainya ia tetap dilantik maka tidak ada yang salah disini tetapi barangkali sudah layaklah dipikirkan untuk lahirnya sebuah produk hukum baru berkaitan dengan hal hal yang demikian sehingga semua tindakan yang dilakukan tidak hanya sesuai dengan hukum positip tetapi juga layak berdasarkan asas kepatutan.
Salam Demokrasi!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H