Saya pertama kali mendengar nama Habibie sekitar tahun 1974, ketika ia dipinang untuk kembali ke Indonesia untuk menempati jabatan (kalau tidak salah disebut) Divisi Advanced Teknologi Pertamina.
Diberitakan, kepulangannya ke Indonesia tersebut atas permintaan Soeharto. Untuk itu Ibnu Sutowo (Direktur Utama Pertamina di masa itu) melakukan pendekatan dan membujuk putra Indonesia yang sudah lama tinggal di Jerman itu agar berkenan kembali ke tanah airnya.
Dari berbagai pemberitaan yang ada masa itu disebutkan bahwa Habibie adalah seorang jenius dan menduduki jabatan penting di perusahaan pembuat pesawat terbang di Jerman.
Seorang sepupu saya yang kuliah di Fakultas Teknik mengatakan dalam ilmu pembuatan pesawat dikenal rumus Teori Kepatahan Habibie yang digunakan secara internasional. Oleh karena saya bukan berasal dari Fakultas Teknik, saya tidak tahu apakah benar ada Teori Kepatahan Habibie itu. Tetapi pernyataan-pernyataan yang demikian menunjukkan betapa Habibie adalah seseorang yang sangat jenius dan sangat dikenal dikalangan ilmuwan dunia.
Nama Habibie semakin terkenal ketika ia diangkat oleh Presiden Suharto sebagai Menteri Riset dan Teknologi tahun 1978. Penunjukannya pada jabatan tersebut tentu semakin meneguhkan arti penting putra kekahiran Pare Pare, Sulawesi Selatan itu di mata Suharto. Dalam masa jabatan yang diembannya selama dua puluh tahun itu terlihat, selain sebagai ilmuwan, posisi Habibie juga semakin menguat di perpolitikan nasional.
Ia mendirikan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ( ICMI) yang mendapat sambutan hangat dari cendekiawan Muslim yang ada di negeri ini. Habibie semakin sering diundang berbicara pada berbagai forum yang membahas berbagai topik di luar tema teknologi dan riset.
Hubungannya dengan ABRI sangat dekat terutama ketika Jenderal Faisal Tanjung menjabat sebagai Panglima ABRI. Saya masih ingat ketika beberapa kali Habibie diundang oleh Faisal Tanjung memberi ceramah di Mabes ABRI di Cilangkap.
Dengan kedekatannya ke Suharto dan juga ke ABRI, Habibie mulai menunjukkan warna dalam perpolitikan di negeri ini. Salah satu momen penting yang saya ingat ketika ia mengundang Ali Sadikin sewaktu peluncuran sebuah kapal laut produksi PT PAL di Surabaya. Mengundang Ali Sadikin pada masa itu adalah sebuah tindakan yang cukup berani oleh karena mantan Gubernur DKI itu masuk daftar musuh Orde Baru.
Ali Sadikin bersama Jenderal ( Purn) AH Nasution dan beberapa tokoh lainnya berjumlah 50 orang menandatangani sebuah petisi pada 13 Mei 1980. Petisi yang dikenal dengan nama "Petisi 50" itu mengecam banyak hal tentang tindakan politik Soeharto. Sejak terbitnya petisi itu, para penanda tangan petisi itu menjadi dijauhkan dari pergaulan politik Orba dan banyak kalangan yang takut untuk berhubungan dengan mereka.
Dalam konteks yang demikianlah tindakan Habibie mengundang Ali Sadikin ke Surabaya itu dianggap sebuah tindakan yang berani dan tindakan itu juga semakin menumbuhkan simpati kepada Habibie. Selanjutnya terlihat hubungan Soeharto - Habibie - ABRI semakin mesra dan tokoh jenius kelahiran Pare Pare itu menyebut Soeharto adalah guru politiknya.
Puncak hubungan manis dengan Soeharto itu sangat terlihat dengan jelas ketika Suharto memilihnya sebagai wakil presiden pada Maret 1998. Dengan gambaran Habibie yang begitu dekat dengan Suharto itu bahkan disebutnya sebagai guru besar politiknya maka banyak kalangan yang ragu tentang kemampuan Habibie memimpin republik ini ketika pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri.