Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menara Kompas Perwujudan dari "We are No Angels"

27 April 2018   18:02 Diperbarui: 27 April 2018   18:16 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kompas.com (Ebert Ojong)

Sekitar 20 tahun yang lalu pun jauh sebelum kita mengenal medsos serta kata " hoaks ", banyak media di negeri ini yang disebut "koran kuning". Koran jenis ini mengkhususkan diri memproduksi berita berita bohong, melahirkan issu yang membuat orang lain terutama pejabat atau politisi terpojok bahkan melakukan tindakan yang tergolong kepada pencemaran nama baik.

Ada lagi jenis media yang terbit karena pesanan. Artinya ada orang yang ingin menjatuhkan pamor orang lain dengan cara memberitakan keburukannya atau sengaja menebar fitnah dengan berbagai tujuan misalnya agar karir yang bersangkutan jatuh atau bisnisnya ambruk.

Selain hal yang demikian ada juga media yang selalu membawakan suara yang berisi pesan pesan politik dan akan dihantamnya semua orang yang tidak sesuai dengan garis politiknya.

Suasana yang demikian sangat terasa pada awal awal reformasi karena sesudah reformasi setiap orang bebas menerbitkan surat kabar.

Dalam suasana yang demikianlah kita bertanya, kalau hal yang demikian terus menerus terjadi maka dari surat kabar manalah masyarakat memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak memihak.

Kita bersyukur ternyata tidak semua surat kabar punya watak seperti itu. Ternyata masih banyak media di negeri ini yang mempertahankan integritasnya sebagai pembawa pesan pesan kebenaran. Salah satu diantaranya yang layak kita catat adalah Harian Kompas.

Harian ini untuk pertama kalinya terbit 28 Juni 1965 yang pada awalnya menempati rumah sederhana di Jalan Pintu Besar Selatan 86-88 Jakarta Kota. Rumah sederhana itu dipinjamkan PT Kinta dan ditempati harian Kompas hingga tahun 1972.

Tahun 1972, harian Kompas pindah ke rumah miliknya sendiri di Jalan Palmerah Selatan Nomor 26-28 di Jakarta Pusat. Saat harian Kompas ditutup penguasa Orde Baru, awak Kompas masih bekerja di rumah ini .

Tahun 1988, harian Kompas memulai proyek pembangunan rumah baru di Jalan Palmerah Selatan Nomor 26-28.

Tahun 1991, barulah harian Kompas menempati gedung baru bersama Percetakan Gramedia. Inilah Gedung Kelompok Kompas. Dari rumah sederhana dan yang dipinjam pada tahun 1965 itu, pada Kamis,26 April 2018, Kompas menorehkan pijakan yang lebih fenomenal.

Pada hari Kamis kemarin  itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan Menara Kompas di Palmerah Jakarta Pusat.

Acara peresmian itu ditandai dengan menggunakan mesin tik sebagai simbol peresmian menara itu. Pada acara tersebut Wapres didampingi oleh presiden RI ke -5 Megawati Soekarnoputri,Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Terlihat juga mendampingi Wapres CEO Kompas Gramedia Lilik Oetomo dan Wakil Pemimpin Umum Kompas Rikard Bagun.

Seperti diketahui nama Kompas diberikan oleh Presiden Pertama RI Sukarno. Sedangkan mesin tik yang digunakan Jusuf Kalla pada acara peresmian itu adalah mesin tik yang sehari hari digunakan oleh Jakob Oetama terutama untuk menulis Tajuk Rencana Kompas.

Peresmian itu disebut fenomenal karena Menara itu terdiri 24 lantai dan podium lima lantai. Podium lima lantai itu menandai integrasi ruang redaksi antara harian Kompas, Kompas id,Kompas .com dan Kompas TV. Gedung ini juga penanda 53 tahun kiprah harian Kompas sebagai surat kabar nasional.

Mengapa dalam kurun waktu 50 tahun, Kompas bisa sebesar sekarang ini?

Saya bukanlah ahli pers, tetapi saya menangkap beberapa hal baik dari pengamatan sendiri maupun dari pendapat orang lain mengapa kemudian Kompas menjadi sebesar sekarang. Wapres Jusuf Kalla dalam sambutannya pada peresmian Menara itu meminta agar harian terkemuka di tanah air kita ini tetap dapat menjaga objektivitas  dan independensinya.

Saya pikir "objektivitas dan independensi" inilah salah satu kekuatan Kompas terutama dalam policy pemberitaannya. Sepanjang yang saya amati, Kompas tidak pernah menjadi partisan dalam sebuah kontestasi politik. Kompas juga menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan poltik yang ada.

Dalam pandangan saya, bukanlah hal yang mudah untuk tetap menjadi independen ditengah tengah tarikan kekuatan politik maupun kedigdayaan para pengusaha besar. Karenanya kemampuan Kompas untuk tetap independen merupakan capaian yang layak diacungi jempol.

Selanjutnya pada awal terbitnya banyak orang yang mempersepsikan harian ini dengan agama Katolik. Terlepas dari persepsi yang demikian tetapi sepanjang yang terlihat harian ini tetap menjaga objektivitasnya. Tidak pernah terbaca berita pada harian ini yang berangkat dari nilai nilai subjektivitas yang berkaitan dengan pribadi pribadi pengasuh harian ini.

Sesuai dengan mottonya "Amanat Hati Nurani Rakyat" tentu harian ini juga mengemukakan kritikan kritikan terhadap berbagai kebijakan pemerintah apabila dirasakan kebijakan itu tidak sejalan dengan hati nurani rakyat itu.

Namun dalam melakukan kritikan itu Kompas selalu mengemukakan alasan, argumentasi yang dilengkapi data dan fakta yang mengingatkan agar kebijakan tersebut dikaji ulang.

Kompas selalu memberikan kritikan dengan penuh kesantunan.

Harian terkemuka di Indonesia itu dalam mengkritik punya filosofi "We are no angels", tidak ada manusia yang sempurna. Filosofi yang ditularkan Jakob Oetama pendiri Kompas itu mengandung makna sebuah kritik haruslah konstruktif, critic with understanding.

Mengamati dan mengagumi foto foto Menara Kompas itu dan  saya hubungkan dengan suasana sebahagian pers kita di awal reformasi, lalu saya menggugam di dalam hati. Ternyata di negeri ini pers yang sehat yang independen yang objektip dan berangkat dari filosofi "We are no angels" bisa hidup subur dan berkembang. Dalam perspektif yang demikianlah saya memaknai peresmian Menara yang megah tersebut.

Salam Kompasiana!

Sumber: Harian Kompas, tanggal 26 dan 27 April 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun