Diduga yang dimaksudkannya belum punya tiket itu berkaitan dengan sikap PKS yang sampai sekarang belum memberi pernyataan tertulis untuk berkoalisi dengan Gerindra. Malahan Hidayat Nur Wahid, anggota Majelis Syuro PKS menyatakan bahwa partainya baru akan menentukan sikap sesudah selesainya proses Pilkada 2018. Hidayat Nur Wahid juga mengatakan Gerindra dan PKS bisa saja pecah.
Selanjutnya entah berlebihan atau tidak, tapi perlu juga dicatat pada hari pertemuan Luhut dengan Prabowo itu, saat itu jugalah bertempat di salah satu restoran di bilangan Senayan Jakarta, sekelompok relawan yang menamakan dirinya "Gatot Nurmantyo Untuk Rakyat" (GNR) mendeklarasikan pencapresan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Diperkirakan kalau Gatot Nurmantyo akan maju tentu akan menggunakan Gerindra-PKS sebagai kenderaan politiknya. Andai Prabowo/Gerindra dan PKS tertarik dengan figur Gatot Nurmantyo dan mencalonkannya pada Pilpres, maka muncul pertanyaan, manakah lebih "nyaman" untuk Jokowi, bertarung dengan Prabowo atau dengan mantan Panglima TNI itu.
Memang sekarang ini tingkat keterpilihan Gatot masih di bawah Prabowo. Tetapi Pilpres itu masih sebelas bulan lagi dihitung dari sekarang. Ada kelebihan Gatot dibanding Prabowo. Jenderal purnawirawan kelahiran Tegal itu masih lebih "segar" dibanding Ketua Umum Partai Gerindra itu. Seperti diketahui tahun ini Prabowo sudah berusia 67 tahun sedangkan Gatot masih 58 tahun.
Prabowo sudah dua kali mengikuti Pilpres yang dipilih rakyat secara langsung. Sekali tahun 2009 sebagai Cawapres Mega dan 2014 sebagai capres berpasangan dengan Hatta Rajasa. Tentulah dua kali ikut terjun pada Pilpres akan menguras tenaga, pikiran, dan logistik. Sedangkan Gatot baru kali pertama ikut Pilpres.
Kemudian dalam beberapa bulan ini sepertinya tingkat elektabilitas Prabowo stagnan pada kisaran angka 25 %. Kalau Prabowo tidak maju maka bukan tidak mungkin suara Prabowo itu akan beralih ke Gatot dan diperkirakan mantan Panglima TNI itu masih akan bisa meningkatkan elektabilitasnya dengan mengandalkan suara sebahagian umat Islam terutama peserta Aksi Aksi Bela Islam tahun lalu .
Secara kebetulan, Sukmawati adik Megawati membuat kekeliruan tentang puisinya yang kemudian dinyatakan oleh sebahagian umat Islam sebagai bentuk penghinaan terhadap Islam. Alumni 212 seperti menemukan momentumnya untuk menggelar unjuk rasa menuntut agar Sukmawati diproses secara hukum berkaitan dengan puisinya yang menghebohkan itu.
Dalam pandangan saya Alumni 212 akan memberi dukungan yang lebih full kepada Gatot ketimbang Prabowo sekurang kurangnya karena 2 alasan.
- Menjelang proses Pilkada serentak 2018 ada nama nama yang disampaikan Alumni 212 kepada Gerindra, PKS, dan PAN agar diusung pada Pilkada. Salah satu nama yang mencuat ke permukaan adalah La Nyalla Mattaliti untuk diusung pada pilgub Jawa Timur. Tetapi yang terlihat, ketiga parpol tersebut tidak memberi dukungan kepada pengusaha dan tokoh bola asal Jawa Timur dimaksud.
- Hubungan emosional Alumni 212 dengan Gatot cukup terpelihara dengan baik sehingga dengan adanya unjuk rasa terhadap Sukma seperti yang kita saksikan pada 6 April yang lalu akan dapat juga dijadikan sebagai momentum penggalangan dukungan massa untuk Gatot Nuramantyo.
Dengan analisis tingkat amatiran atau tingkat kedai kopi seperti yang diutarakan di atas, Jokowi akan lebih nyaman bertarung dengan Prabowo ketimbang dengan Gatot Nurmantyo. Lalu apakah dengan alasan yang demikian maka Luhut menyarankan Prabowo agar maju pada Pilpres nanti? Tentu saya tidak mampu menjawabnya.
Salam Demokrasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H