Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tepatkah Perbandingan Amien Rais Jika Pilpres Calon Tunggal? Apa Bedanya dengan Rusia dan China?

18 Maret 2018   21:11 Diperbarui: 18 Maret 2018   21:12 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (sumber: kompas.com)

Perundang undangan kita menyebut bahwa sebuah pasangan calon (paslon) pada pilpres harus diusung parpol atau koalisi parpol yang punya kekuatan 20 % di DPR RI.Angka 20 % ini sering juga disebut Presidential Treshold ( PT). Tentang besaran PT ini merupakan pembicaraan yang hangat dan seru di Senayan beberapa waktu yang lalu.

Sebenarnya sebelum ketentuan ini diatur untuk pilpres 2019, ketentuan yang sama juga sudah diberlakukan pada pilpres sebelumnya yakni tahun 2004 ,2009 dan 2014. Tetapi pembicaraan PT untuk pilpres 2019 terasa lebih seru karena untuk pilpres 2019 ,PT yang digunakan adalah hasil Pemilu 2014. Mengemuka pendapat pada perdebatan di Senayan pada waktu yang lalu yang menyatakan tidak tepat PT 2014 yang digunakan untuk Pilpres  2019.Oleh karena pada pemilu 2019 pemilihan presiden bersamaan dengan pemilu legislatif maka ada yang mengusulkan agar PT pilpres 2019 cukup 0 % yang berarti setiap parpol yang telah dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu 2019 dapat mencalonkan paslon presiden dan wakil presiden.

Ditengah tengah perbedaan pendapat yang demikian maka Rapat Paripurna DPR RI pada 21 Juli 2017 telah mengesahkan UU Pemilu yang isinya antara lain mengatur besaran PT tersebut.Pengesahan UU tersebut diwarnai oleh aksi walk out 4 fraksi yang tidak setuju terhadap besaran PT itu.Keempat fraksi yang tidak setuju itu ialah : Gerindra,PKS,PAN dan Demokrat.

Walupun keempat fraksi tersebut walk out tetapi pengesahan UU tersebut masih memenuhi korum kehadiran anggota DPR RI sehingga pengesahan itu mempunyai kekuatan hukum. Dengan PT sebesar 20 % maka secara teori akan dapat muncul  3atau 4 paslon. Perlu juga diingat berdasarkan hasil pemilu 2014 ,tidak ada satu pun parpol yang dapat mengusung sendiri paslon nya karena tidak ada yang menguasai 20 % kursi di parlemen.

Hal ini juga memberi pengertian bahwa setiap parpol harus menjalin komunikasi politik dengan parpol lainnya untuk mencapai kesepakatan tentang paslon yang akan diusungnya. Proses komunikasi yang dilakukan oleh masing masing parpol tersebut tentu akan berlangsung dalam suasana yang demokratis dan tidak ada satu parpol pun yang dapat mengintervensi atau memaksa parpol lainnya dalam membangun koalisi.

Suasana komunikasi yang demokratis tersebut tentu tidak akan diperoleh di negara negara yang tidak demokratis atau yang kurang demokratis seperti di Rusia,China maupun Korea Utara. Hal yang sama tentu juga pernah kita alami di negeri ini dua dekade yang lalu. Saya sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa andainya pada pilpres 2019 nanti ada paslon lebih dari satu pasang tentu sangat baik untuk masyarakat karena para pemilih tidak hanya punya pilihan tunggal dalam menentukan pemimpin republik ini dimasa yang akan datang.

Tetapi andainya juga muncul hanya paslon tunggal ,itu juga adalah produk dari demokrasi karena masing masing parpol punya hak yang sama untuk menentukan pilhannya.Setiap parpol bebas untuk menentukan ipilhannya dan tidak ada kekuatan politik yang dapat mendikte keputusan parpol dimaksud. Dengan alur pikir yang demikian maka rasanya kurang tepatlah kalau Amien Rais menyatakan kalau Pilpres nantinya hanya ada calon tunggal ,tak ada bedanya dengan Uni Sovyet ( sekarang Rusia) ,China dan Korea Utara( detiknews,13/3/2018).

Dalam pemahaman saya ,munculnya calon tunggal pada ketiga negara tersebut terutama di Korea Utara bukanlah produk dari sebuah keputusan yang demokratis.Putusan yang demikian lahir terutama karena keputusan elit partai komunis yang berkuasa. Tetapi saya memahami ketika Pendiri PAN itu mengatakan bahwa partainya tidak mendukung Jokowi supaya timbul kompetisi.

Salam Demokrasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun