Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rodrigo Duterte Perintahkan Tentara Lemparkan Penyidik PBB ke Kandang Buaya

13 Maret 2018   09:05 Diperbarui: 14 Maret 2018   11:22 2850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui film film action Hollywood kita sering saksikan seorang penegak hukum atau polisi sudah berusaha sekuat mungkin untuk membongkar sebuah kejahatan. Namun ketika kasus tersebut dibawa ke pengadilan oleh karena tidak punya bukti bukti hukum yang kuat maka si pelaku kriminal itu dibebaskan oleh pengadilan. Kesal, marah dan kecewa tentunya hinggap pada perasaan si penegak hukum itu.

Berbekal "dendam" yang dimilikinya, ia berusaha untuk menghabisi si pelaku kejahatan itu dengan caranya sendiri yang tentunya tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ada kalanya juga si penegak hukum atau polisi itu dengan bukti bukti hukum yang kuat yang dimilikinya menjadi sangat yakin bahwa yang dibidik dan kemudian yang ditangkapnya itu adalah seorang pelaku kriminal.

Tetapi proses hukum menjadi terhambat karena si pelaku kejahatan itu dilindungi oleh sekelompok mafia yang juga melibatkan atasannya. Proses hukum terhenti, malahan si polisi itu yang justru dipindahkan ke pekerjaan lain sehingga tidak bisa lagi mengungkap kasus yang ditanganinya. Untuk menegakkan hukum maka sering si polisi melakukan tindakan di luar hukum untuk menghabisi para pelaku kejahatan itu.

Kesan yang saya peroleh, para penonton film itu merasa puas dengan tindakan "out of law" yang dilakukan oleh polisi itu. Ternyata hal-hal yang demikian tidak hanya terjadi di layar bioskop atau di layar kaca tetapi secara nyata pernah hadir di tengah tengah masyarakat kita.

Ketika zaman Orde Baru kita mengenal namanya "Penembak Misterius". Penembak ini menghabisi para penjahat tanpa melalui proses peradilan. Secara umum masyarakat senang dan para penjahat ketakutan karena jiwanya selalu terancam. Bukan tidak mungkin ketika minum-minum di warung kopi tiba-tiba ia kena door oleh petugas.

Perilaku out of the law yang demikian walaupun "didukung" oleh masyarakat tetapi tetap bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tentunya juga berlawanan dengan Hak Hak Asasi Manusia ( HAM). Pertanyaan mendasar pada praktek seperti ini ialah, siapa yang menyatakan seseorang itu bersalah sehingga ia harus ditembak di tempat. Karenanya bukan tidak mungkin juga ada sasaran yang dipilih untuk di-dor bukan karena ia salah tetapi karena ada pesanan orang lain agar seseorang itu dihabisi.

Memang dalam operasi operasi rahasia yang demikian tentu sangat sulit mengawasi bahwa sasaran yang dipilih benar-benar seseorang yang telah bersalah atau justru seseorang yang tidak bersalah tetapi tetap dihabisi karena kepentingan lain. Terhadap perlakuan out of the law yang demikianlah para penggiat Hak Hak Asasi Manusia sering melakukan protes.

Hal yang paling aktual sekarang ini berkaitan dengan perilaku "di luar hukum" itu ialah yang dilakukan oleh Presiden Filipina Duterte. Kemungkinan besar karena sudah gerah dan kesal melihat perilaku para bandar dan pengedar narkoba di negaranya maka ia mengumumkan perang melawan narkoba. Dengan perang yang dicanangkan ini pada Juli 2016 telah mengakibatkan tewasnya ribuan orang.

Angka ini adalah data resmi yang diumumkan dan diakui oleh Pemerintah Filipina. Tetapi menurut sejumlah organisasi HAM menyebut, korban kebijakan Duterte ini telah mencapai 12.000 orang. Terhadap kebijakan Duterte yang "ekstra yudisial" inilah yang menimbulkan protes oleh organisasi yang berkecimpung di dalam penegakan HAM.

Berkaitan dengan hal tersebut, badan HAM PBB berencana menyelidiki pembunuhan ekstra yudisial dalam perang melawan narkoba yang dikobarkan Duterte. Sejalan dengan rencana dimaksud, petugas Badan HAM PBB akan datang ke Filipina. Terhadap rencana kedatangan itulah, Duterte mengatakan, "Serahkan semua kepada saya. Mereka akan datang ke Filipina. Apakah kalian punya buaya yang suka memangsa manusia?Lemparkan mereka kepada buaya" (Kompas.com, 12/3/2018).

Di sinilah terlihat sangat jelas sikap Duterte yang tidak akan menghentikan operasi "di luar hukum" yang akan terus dilakukannya untuk memerangi narkoba. Dalam perangnya melawan narkoba tersebut, presiden Filipina kelahiran 28 Maret 1945 ini kelihatannya tidak mengindahkan proses hukum dan juga HAM.

Dari satu sisi, perangnya tersebut akan melindungi masyarakat Filipina dari bahaya narkoba, da pada sisi lain sebagai Presiden, ia telah melanggar banyak hal terutama yang berkaitan dengan penegakan hukum dan HAM. Terhadap kebijakan perang melawan narkoba terkesan ia tidak peduli dengan siapapun termasuk dengan lembaga PBB. Tidak hanya sekedar tidak perduli bahkan ia mengancam akan melempar petugas badan dunia itu kepada buaya.

Bagaimana kah sikap masyarakat Filipina terhadap sikap presidennya itu? Apakah mereka senang dengan perang melawan narkoba itu atau justru mereka menyalahkan kebijakan presidennya. Kadang kadang datang juga ke pikiran bodoh, kalau memang tingkat bahaya narkoba itu sudah sangat mengkhawatirkan mungkin yang dilakukan Duterte itu banyak juga manfaatnya.

Tetapi muncul pertanyaan, layakkah tindakan itu dilakukan oleh seorang Presiden?

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun