Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Putri Jokowi dan Keponakan Yasonna Laoly Tak Lulus CPNS, Kita pun Tak Perlu "Orang Dalam"

10 Oktober 2017   10:43 Diperbarui: 10 Oktober 2017   21:03 7934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peminat untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sangat tinggi.Hal ini terlihat antara lain pada Kementerian Hukum dan Ham. Jumlah pelamar pada kementerian ini mencapai 1.116.000 orang sedangkan formasi yang dibutuhkan hanya 17.526 orang.Setelah diseleksi secara administrasi jumlahnya menyusut menjadi 500 ribuan orang (Kompas.com).

Sekarang ini sedang berlangsung ujian tahap dua yang kemudian nantinya dilanjutkan dengan interview atau wawancara. Walaupun seleksi administrasi ,ujian tahap pertama dan kedua dilakukan secara on line tetapi masih saja ada orang orang tertentu yang seolah olah menawarkan jasa baiknya dapat mengurus kelulusan pada testing penerimaan tersebut.

Peserta testing yang percaya terhadap hal tersebut karena untuk waktu yang lama di negeri kita ini, testing penerimaan PNS tidak berlangsung secara fair. Selalu ada perantara atau calo yang dapat mengurus kelulusan tersebut. Di masa lalu, publik mendengar informasi besaran rupiah yang harus disediakan untuk dapat lulus. Misalnya untuk sarjana di atas seratus juta rupiah, untuk D3 sekian puluh juta ,begitu juga halnya untuk lulusan SLTA ada tarif yang diungkapkan. Tidak diperoleh bukti bukti hukum yang berkaitan dengan hal tersebut, tapi publik kelihatannya percaya bahwa sogok menyogok untuk lulus testing PNS itu memang benar-benar ada.

Karena anggapan yang demikian maka peserta atau orang tua peserta testing akan selalu kasak-kusuk mencari backing agar anaknya diterima jadi PNS. Ada yang mendatangi pejabat yang berwenang yang dikenalnya dan ada yang mendatangi calo yang dianggap sebagai perantara terhadap pejabat yang berwenang untuk kelulusan tersebut.

Malahan di masa lalu itu kalau ada famili pejabat yang berwenang yang tidak bisa meloloskan keluarganya dalam testing PNS, maka pejabat seperti itu akan dicap sebagai pejabat yang tidak peduli kepada keluarga. Begitu kuatnya persepsi yang muncul tentang hal yang demikian maka banyak orang beranggapan bahwa Jokowi hanya membuat pencitraan ketika putrinya Kahiyang Ayu kalah testing PNS pada masa awal jabatan kepresidenannya.

Padahal Jokowi ingin memberi contoh bahwa ia tidak mencampuri urusan testing PNS putrinya. Dengan contoh yang diberikan Jokowi tersebut maka beban psikologis para pejabat pun akan berkurang. Kalau ada pihak yang meminta bantuan terhadap pejabat tersebut maka ia dapat menjelaskan tidak dapat mengintervensi kelulusan seseorang karena Presiden Jokowi sendiri pun tidak melakukan hal tersebut.

Walaupun Jokowi beberapa tahun yang lalu sudah memberi contoh tapi sampai sekarang persepsi negatif tentang proses penerimaan PNS belum pupus sama sekali dari pikiran sebahagian warga masyarakat. Terhadap persepsi negatif yang demikianlah seharusnya dihilangkan karena ternyata keponakan Yasonna Laoly, Menkumham pun kalah dalam testing PNS pada kementerian yang dipimpinnya.

Sebagaimana dituturkan KOMPAS.com, Yasonna Laoly pada 9 Oktober 2017, bercerita bahwa anak adik kandungnya sendiri pun tidak lulus testing PNS. Ketika adiknya bertanya apa yang harus diperbuat, Yasonna menjawab, "Ya sudahlah, belajar anakmu baik-baik, sekeras-kerasnya, sehebat-hebatnya".

Untuk anda yang sedang mengikuti testing perlu menyadari bahwa jaman sudah berubah dan tidak perlu kasak-kusuk ke sana ke mari dan juga yang lebih penting jangan percaya calo.

Salam persatuan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun