1 Oktober 1965 pagi, Letnan Kolonel Untung melalui RRI Jakarta, mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi. Dewan Revolusi ini berfungsi sebagai kabinet sehingga Kabinet Dwikora masa itu menjadi tidak berfungsi lagi. Oleh para petinggi ABRI dan jumlah sejumlah tokoh tokoh nasional sudah mulai bisa mengendus bahwa pembentukan Dewan Revolusi itu merupakan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.
Masyarakat semakin mendapat gambaran tentang apa yang terjadi ketika kemudian diketahui ada 6 orang jenderal yang diculik ,dibawa ke Lubang Buaya kemudian disana dibunuh.Selain 6 orang jenderal tersebut,seorang perwira pertama Pierre Tandean,ajudan Jenderal Nasution ikut terbunuh.Jenderal Nasution ,Menteri Kordinator Keamanan Nasional juga sesungguhnya termasuk sasaran penculikan dan pembunuhan.Tetapi jenderal yang dikenal anti komunis ini berhasil selamat ,meloncat pagar belakang rumahnya yang tinggi.
Walaupun Nasution selamat ,tetapi ia kehilangan putrinya,Ade Irma Suryani Nasution yang tewas oleh brondongan peluru para penculiknya.
Dengan semakin lengkapnya masyarakat mengetahui apa yang terjadi ,maka mulailah aksi aksi "Ganyang PKI" bermunculan oleh karena masyarakat meyakini bahwa PKI lah dalang peristiwa yang memilukan itu.
Aksi unjuk rasa marak dimana mana meminta agar PKI dibubarkan. Selain tuntutan politik untuk pembubaran PKI terjadi pula lah aksi, menangkap,menculik dan membunuh anggota PKI beserta anggota mantel mantel organisasinya seperti SOBSI( buruh),BTI( tani ) dan CGMI ( mahasiswa).
Beberapa  bulan sesudah 1 Oktober 1965 ,sejarah mencatat terjadinya,1).penculikan dan pembunuhan 6 orang jenderal dan seorang perwira pertama,2).munculnya emosi massa terutama massa ormas Islam yang telah menaruh dendam atau sakit hati kepada PKI karena mereka juga pernah diteror ,serta para kiai atau tokoh agama juga pernah dijadikan korban oleh PKI terutama pada pemberontakan PKI Tahun 1948 dan juga menjelang tahun 1965 dan 3).PKI dan simpatisannya menjadi korban amuk massa.
Bagaimana tragedi kemanusiaan terhadap PKI dan simpatisannya ini telah diungkap oleh banyak buku dan artikel serta film seperti " The Act of Killing " dan " The Silence" karya sutradara Josua Oppenheimer. Pemerintah Orde Baru sendiri kemudian membuat klasifikasi yang berkaitan dengan PKI ini yaitu,1).Golongan A ,anggota PKI yang dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan,2).Anggota PKI atau simpatisannya yang keterlibatannya dalam G 30 S PKI belum dinyatakannya bersalah oleh pengadilan.Sebahagian besar dari Golongan B ini lah yang kemudian di asingkan selama bertahun tahun di Pulau Buru.Tokoh sastra Indonesia,Pramoedya Ananta Toer termasuk yang diasingkan di Pulau Buru,3) Golongan C yaitu mereka yang dianggap ikut ikutan menjadi anggota PKI.Jumlah ini diperkirakan jutaan jumlahnya.
Kemudian pada Kartu Tanda Penduduk ( KTP) dibuat tanda atau kode khusus seperti OT atau ET sehingga orang akan mengetahui yang bersangkutan adalah anggota PKI .
Selain membuat penggolongan yang demikian ,Pemerintah Orde Baru juga membuat sebuah kebijakan yang disebut " Bersih Lingkungan". Pada garis besarnya kebijakan bersih lingkungan itu melarang anggota PKI atau turunannya menjadi anggota Pegawai Negeri Sipil,anggota ABRI, menjadi anggota parpol termasuk anggota lembaga legislatif.
Kebijakan tersebut tidak hanya berlaku untuk anggota PKI atau turunannya tetapi juga berlaku satu tingkat kesamping .Dengan demikian seseorang keponakan anggota atau yang diindikasikan PKI juga tidak diterima pada jabatan jabatan atau kedudukan yang disebutkan diatas.Tragisnya seseorang yang tidak bersih lingkungan bisa atau akan dpecat dari kedudukannya.
Berkaitan dengan hal tersebut maka selama pemerintahan Orde Baru ,persoalan bersih lingkungan ini juga telah dijadikan issu politik untuk menghempang karis politik orang lain.
Sesudah berjalan sekian tahun maka terlihatlah kebijakan bersih lingkungan ini membawa imbas negatif dalam pergaulan sosial masyarakat kita.
Banyak orang yang menjadi tidak mau kawin dengan turunan partai terlarang itu.Stigma negatif menjadi dilekatkan di dahi mereka.Dalam taraf tertentu mereka juga dikucilkan dalam pergaulan sosial.
Mereka juga menjadi kehilangan sebahagian hak hak perdatanya.Ruang lingkup mereka untuk mencari nafkah sangat sangat dibatasi. Dan sebuah luka dalam kehidupan berbangsa menjadi ternganga. Puluhan tahun sudah masa itu berlalu dan hari ini luka itu kelihatannya juga belum sembuh.
Disisi lain bangsa kita juga belum menemukan obat yang tepat untuk menyembuhkan luka itu.
Kalaulah bangsa ini belum menemukan solusi yang tepat untuk berdamai dengan masa lalu itu maka bukan tidak mungkin luka itu akan tetap abadi.
Salam Persatuan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H