Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Efendy untuk menerapkan pola belajar lima hari dalam seminggu sejak awal telah menuai kontraversi. Muncul berbagai argumentasi yang pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut. Reaksi paling keras menolak gagasan menteri tersebut muncul dari kiai-kiai NU pengasuh madrasah dan juga dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Alasan penolakan bertitik tolak dari tidak tersedianya lagi waktu bagi siswa sekolah untuk mengikuti pendidikan agama di madrasah karena mereka pulang sekolah dan sampai di rumah sekitar pukul,4 atau 4.30 sore.
Konsekuensi dari hal ini adalah ribuan madrasah akan terancam tutup karena tidak akan ada lagi siswa yang punya waktu untuk mengaji di madrasah. Di sisi lain harus diingat keberadaan madrasah sudah puluhan tahun dan punya peran untuk mencerdaskan bangsa kita khususnya di bidang pendidikan agama Islam.
Sesungguhnya Mendikbud sudah merencanakan menerapkan pola belajar 5 hari mulai tahun ini tetapi karena kuatnya reaksi penolakan maka Presiden Jokowi telah menunda pelaksanaannya.
Kita belum punya informasi yang memadai tentang penundaan tersebut, apakah sekadar menunda, membatalkan atau akan ada penyempurnaan dari konsep Mendikbud tersebut. Muhadjir Effendy adalah tokoh Muhammadiyah, pernah menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah Malang selama tiga periode dan saat ini menduduki jabatan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena Muhadjir berasal dari Muhammadiyah maka banyak juga warga Nahdhiyin yang punya persepsi bahwa kebijakannya tentang lima hari sekolah dalam seminggu itu punya tujuan untuk mematikan madrasah-madrasah NU.
Berkaitan dengan hal tersebut maka salah satu kearifan yang dibutuhkan dari Jokowi ketika menerbitkan nanti petunjuk atau keputusan tentang konsep lima hari belajar tersebut ialah mencegah terjadinya benturan antara NU-Muhammadiyah. Sebagaimana dikutip dari KOMPAS.com, Ketua Umum PB NU,Said Aqil Siraj dalam keterangannya (11/7)seusai diterima Presiden Jokowi menyatakan, "Andai Mendikbud orang NU pun saya lawan". Selanjutnya Said Aqil menegaskan bahwa penolakan NU soal sekolah 5 hari bukan terkait posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sebagai orang Muhammadiyah.
Penegasan Ketua Umum PB NU ini memberi pesan yang sangat jelas bahwa penolakan organisasi yang dipimpinnya bukan karena ide berasal dari tokoh Muhammadiyah tetapi semata mata bertitik tolak dari kepentingan madrasah dan juga kepentingan anak didik untuk memperoleh ilmu agama Islam yang memadai. Sebagaimana dimaklumi, di masa lalu terasa adanya perbedaan yang tajam antara NU-Muhammadiyah di bidang fiqh seperti jumlah rakaat sholat tarawih,cara menentukan awal ramadan atau syawal. Juga berbeda pandangan tentang tahlilan, talqin di kuburan, ziarah kubur dan perbedaan lainnya yang disebut sebagai masalah-masalah khilafiyah.
Tetapi terlihat beberapa waktu belakangan ini hubungan kedua ormas Islam terbesar di negeri ini sudah semakin mesra dan harmonis. Hubungan mesra ini  terasa juga di daerah.
Umat Islam tidak lagi terlalu mempersoalkan rakaat sholat tarawih apakah dua puluh seperti yang dianut oleh NU atau hanya delapan rakaat sebagaimana dianut oleh Muhammadiyah. Di perkotaan sudah banyak juga terlihat warga NU yang mengikuti shalat tarawih delapan rakaat. Malahan sudah muncul semacam "kesepakatan" antara warga NU dan Muhamnadiyah untuk tidak terjebak dalam masalah khilafiyah tentang jumlah rakaat sholat tarawih tapi yang lebih penting adalah bagaimana mendorong umat Islam untuk melaksanakan sholat tarawih tersebut.
Hubungan mesra NU-Muhammadiyah juga terasa di Sumatera Utara. Beberapa bulan yang lalu Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara mengundang Ketua Pengurus Wilayah NU Sumatera Utara dan Ketua Al Jami'atul Washliyah Sumatera Utara untuk menghadiri pengajian Muhammadiyah di Gedung Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara di Medan. Pada kesempatan tersebut Ketua NU Sumatera Utara dan Ketua Al Jami'atul Washliyah Sumatera Utara diberi kesempatan untuk berbicara.
Selanjutnya Muhammadiyah-NU dan Al Washliyah bersepakat untuk meningkatkan kerjasama dan bersinerji terutama dalam peningkatan amal usaha untuk umat. Dengan suasana keharmonisan yang demikian maka sangat sayang lah apabila hubungan harmonis NU-Muhammadiyah terganggu karena kebijakan lima hari sekolah dalam seminggu.Â
Mengingat sekarang penanganan kebijakan lima hari sekolah sudah berada di tangan presiden, maka diharapkan kearifan kepala negara untuk mencegah terjadinya benturan diantara kedua organisasi besar tersebut. Kebijakan presiden untuk menunda berlakunya Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2017 dinilai sudah tepat. Dengan penundaan tersebut maka tersedia waktu untuk mengkaji ulang kebijakan menteri tersebut sekaligus dapat meredam gejolak sosial yang mungkin muncul.
Apabila memang menurut kajian akademik wacana lima hari sekolah akan meningkatkan kualitas siswa negeri ini tetapi diperlukan juga kajian bagaimana mengatasi ekses yang muncul terhadap eksistensi madrasah.
Kita berharap Presiden Jokowi beserta timnya sudah punya konsep yang matang tentang hal ini sehingga apapun nantinya kebijakan yang ditempuh Presiden tidak mengakibatkan retaknya hubungan NU-Muhammadiyah.
Salam Persatuan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H