Mohon tunggu...
Maratus Solikah
Maratus Solikah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Berusaha sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sosiologi Hukum dalam Melihat Urgensi Fenomena KDRT( Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

26 November 2021   13:20 Diperbarui: 26 November 2021   21:59 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan setelah menikah atau biasa disebut dengan rumah tangga merupakan sebuah keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari suami, istri, dan anak. Dalam kehidupan berumah tangga suatu keluarga sejatinya adalah kehidupan yang bahagia penuh dengan ketentraman dan kedamaian, walaupun terdapat permasalahan semestinya bisa diselesaikan secara kekeluargaan tanpa adanya emosi. Namun miris sekali rasanya, sampai saat ini masih saja ada kasus kekerasan di dalam rumah tangga. Fakta sosial ini telah lama terjadi bahkan berlanjut hingga saat ini. Perilaku tidak terpuji ini dapat menggoyahkan kehidupan berumah tangga, sehingga dalam hal ini dapat menyebabkan perceraian.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT sangat tidak dibenarkan dalam kehidupan berumah tangga dan telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia, Kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab 1 tentang Ketentuan Umum Pasal 1 bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangannya, ataupun terhadap anak-anaknya dan orang lain yang ada dalam ruang lingkup keluarga tersebut. Dalam hal ini ruang lingkup rumah tangga sebagaimana yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab 1 tentang Ketentuan Umum Pasal 2 meliputi a. suami, istri, anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan dengan suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau; c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Larangan kekerasan dalam rumah tangga seperti yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab III tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 5 meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran anggota rumah tangga, sebagai berikut :

  • Kekerasan fisik yang dimaksud adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan atau menimbulkan rasa sakit ataupun jatuh sakit dan luka berat pada anggota tubuh seseorang.
  • Kekerasan psikis yang dimaksud adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan dalam bertindak, timbulnya rasa tidak berdaya dan penderitaan berat pada pikiran seseorang.
  • Kekerasan seksual yang dimaksud adalah perbuatan pemaksaan pada saat melakukan hubungan seksual terhadap istri ataupun orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut.
  • Penelantaran anggota rumah tangga yang dimaksud adalah menelantarkan orang yang ada dalam ruang lingkup rumah tangga padahal menurut hukum yang berlaku  wajib memberikan kehidupan dan pemeliharaan kepada orang (anggota rumah tangga) tersebut.

Sedangkan hukuman bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga seperti yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab VIII tentang Ketentuan Pidana Pasal 44 sampai Pasal 50.

Penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga melalui perlindungan terhadap korban seperti yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab IV tentang Hak-Hak Korban Pasal 10 meliputi perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani.

Dalam sosiologi, KDRT dilihat sebagai fenomena yang ada dalam keluarga yang berhubungan dengan anggota keluarga dan masyarakat yang ada dalam lingkungan keluarga tersebut, seperti tetangga ataupun orang yang mempunyai hubungan khusus dengan keluarga tersebut. Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pengaruh dominasi dan kekuasaan pelaku terhadap korbannya, dominasi dan kekuasaan ini terbentuk karena pola pikir serta pandangan hidup berdasarkan lingkungan kebudayaan dan sistem nilai yang telah tertanam. Hasil analisis latar belakang keluarga dapat menjadi jawaban mengapa seseorang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga ini.  

Dalam masyarakat Indonesia, tidak KDRT jarang terungkap. Hal ini dikarenakan KDRT dianggap sebagai aib keluarga yang memalukan sehingga harus ditutupi. Hal ini membuat para korban KDRT hanya bisa diam saja ketika mengalaminya. Selain itu, dalam beberapa kasus KDRT yang telah terjadi menunjukkan bahwa tersangka adalah seorang suami, hal ini dapat diartikan bahwa kaum perempuan rentan mengalami tindak KDRT ini. Hal ini dapat dikarenakan masyarakat Indonesia cenderung memproduksi budaya patriarki yang menyebabkan laki-laki lebih dominan dalam segala hal sehingga seorang suami merasa mempunyai hak terhadap istrinya dalam hal apapun yang membuatnya menghalalkan segala cara untuk memenuhi emosinya termasuk menggunakan kekerasan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa seorang istri juga dapat melakukan KDRT kepada suaminya ataupun anaknya.

Dalam hal ini KDRT dapat disebabkan oleh banyak faktor yang dapat memicu permasalahan, seperti (1) Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri, dalam hal ini posisi suami lebih tinggi daripada istri ataupun sebaliknya sehingga memicu permasalahan yang membuat munculnya kekerasan dalam rumah tangga. (2) Ekonomi yang tidak stabil. (3) Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik. (4) Adanya hubungan yang tidak sehat antara anggota keluarga. (5) Adanya pengaruh psikis individu. 

Tindak KDRT tentu saja akan berakibat negatif dan menimbulkan kerugian bagi korbannya. KDRT juga dapat menimbulkan kerugian bagi korbannya, seperti menyebabkan cacat fisik, dan gangguan kejiwaan seperti depresi. Bukan hanya pada korban, namun juga orang yang berada dalam ruang lingkup rumah tangga tersebut.

Kasus tindak KDRT dapat menarik perhatian masyarakat luat serta menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, hal ini karena KDRT memang kasus yang membutuhkan penanganan khusus dari pihak berwajib. Masyarakat menganggap KDRT sebagai kejahatan yang ada dalam keluarga. Masyarakat cenderung akan menghakimi pelaku KDRT dengan mengucilkannya dari lingkungan sosial, dan masyarakat mempunyai simpati khusus terhadap korban KDRT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun