Ayu Utami, penulis perempuan yang sering dibicarakan oleh para kkritikus sastra karena ciri khas atau gaya kepenulisannya yang bisa dibilang sangat berani dan "vulgar". Novel Saman merupakan salah satu karya yang melekat dengan nama Ayu Utami, Bahasa (2022) mengatakan bahwa novel ini telah memenangkan Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 dan dianggap sebagai pembaharu dalam dunia sastra Indonesia. Dalam novel ini Ayu Utami mengambil tokoh perempuan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya mengenai perempuan. Chairiyani (2012: 366) mengatakan bahwa para tokoh perempuan utama dalam cerita ini menjalani kehidupan seksual yang bebas dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang suci atau sakral. Mereka tidak memprioritaskan lembaga pernikahan dalam hidup mereka. Mereka adalah perempuan-perempuan yang merasa gelisah dalam berinteraksi dalam masyarakat, terutama dalam hal seksualitas. Guncangan dan ketidakpuasan seksual itu tercermin dalam Representasi Seksualitas yang ada dalam novel Saman.
Ada empat tokoh utama, yaitu Laila Gagarina (Laila), Yasmin Moningka (Yasmin), Cokorda Gita Magaresa (Cok), dan Shakuntala (Tala) yang memiliki alurnya masing-masing. Pertama, pada tokoh Laila yang menjadi selingkuhan dari Sihar. Putri, E. N., dan Yasnur Asri (2019) mengatakan bahwa budaya perselingkuhan dalam rumah tangga didukung oleh pemberontakan sebagian kaum perempuan penganut faham feminisme yang ingin menunjukkan bahwa tidak hanya lelaki yang bisa mencintai secara aktif dan memiliki objek lain untuk dicintai. Laila ini ingin menunjukkan bahwa perempuan juga bisa memilih siapa lelaki ingin dicintainya tanpa adanya batasan seperti pernikahan. Selain itu, di dalam keluarganya pun Laila merasakan adanya sistem patriarki yang mengekang. "Tidak letihkah kamu menjadi suami? Saya sendiri sudah lelah untuk takut pada ayah. Saya ingin istirahat sejenak" (Utami, 1998: 30). Keperawanan juga sering dijadikan tolak ukur dari perempuan dan kebanyakan lelaki hanya menginginkan hal itu, sehingga Laila menganggap bahwa musuh wanita adalah lelaki.
Laila melerai dengan usul menyisihkan dulu perkara itu, sebab menurut dia musuh kita adalah laki-laki.
"Apa salah laki-laki?"
Jawab Laila: "sebab mereka mengkhianati wanita. Mereka Cuma
menginginkan keperawanan, dan akan pergi setalah si wanita menyerahkan kesucian". (Utami, 1998: 152).
Banyak yang beranggapan bahwa perempuan tidak akan terlepas dari tugas dapurnya, memang hal itu benar adanya karena terikat oleh kedudukannya sebagai seorang istri atau seorang ibu, pada umumnya juga perempuan hanya merawat anak dan melakukan pekerjaan rumah. Saman telah mengubah perspektif itu dengan dibuktikan oleh tokoh Laila yang bekerja sebagai seorang fotografer, pekerjaan yang cenderung bersifat maskulin karena kebanyakan dilakukan di lapangan. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan "Laila fotografer. Toni, penulis." (Utami, 1998: 11). Dan juga kutipan berikut "Laila berkeliling untuk menemukan sudut gambar yang unik, atau yang menunjukkan kerasnya pekerjaan di rig." (Utami, 1998: 12).
Kedua, tokoh Yasmin yang telah menikah dengan Lukas, tetapi melakukan perselingkuhan dengan Saman, seorang pastor. Perselingkuhan tersebut tentu saja menjadi bentuk penyimpangan Saman sebagai pastor yang telah terikat janji suci dengan Tuhan dan seharusnya tidak melakukan hubungan seksual. Yasmin ini sebagai bentuk pemberontakan terhadap perspektif wanita hanya bisa menjadi pemuas hasrat lelaki, padahal wanita juga bisa menjadi subjek dan mengendalikan lelaki meskipun itu adalah lelaki "suci" sekalipun. Penonjolan karakter atau pemberontakan ini ditunjukkan oleh salah satu percakapan Yasmin kepada Saman "Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin dating ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu." (Utami, 1998: 200).
Ketiga, tokoh Cok yang gemar sekali dengan berganti-ganti pasangan. Ia digambarkan sebagai perempuan yang tidak peduli mengenai peraturan dan norma masyarakat (Indonesia). Sejak ia duduk di bangku sekolah menengah pun sudah sering melakukan hubungan seksual yang mengharuskannya pindah sekolah karena ketahuan di dalam tasnya terdapat kondom oleh ibunya sendiri. Ia dipindahkan dari Jakarta ke kampung dengan harapan kenakalannya dapat diredam, ternyata anggapan itu sia-sia saja, ia semakin liar dari sebelumnya.
Bagaimana dengan doimu yang di Jakarta? Gue enggak tahan pacaran jarak jauh, jawabnya, tapi gue juga enggak tahan enggak pacaran. Namun, semakin lama semakin ruwet cerita yang ia tuturkan, sebab semakin banyak nama yang dia sebut dalam surat-suratnya. Dan ia kencan dengan beberapa pria sekaligus dalam kurun waktu yang sama. Aku agak bingung membacanya. Jika terlewat satu surat saja, cerita sudah melompat ke babak baru, seperti sinetron sabun. Apakah kamu tidur dengan semua? Tidak, jawabnya. Sebagian saja. Dalam sehari kamu bisa pacaran lebih dari satu orang? Iya, tapi tidak setiap hari. Bagaimana dengan orangtuamu yang dulu membuangmu ke pelosok Republik Indonesia supaya menjadi bermoral? Mereka tak bisa marah lagi, katanya. Malah, mereka kadang terpaksa melindungi aku dari pacar-pacar yang mengamuk karena kukhianati. (Utami, 1998: 156).
      Ketiga, tokoh Tala yang memberontak dengan cara tidak bergantung pada orang tua terutama sang ayah sebagai kepala keluarga bahkan ayahnya dianggap sebagai musuhnya sendiri.