Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia di Era Liquid Modernity: Dari Peziarah Menuju Turis

9 Januari 2025   21:00 Diperbarui: 9 Januari 2025   11:29 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar dari generative AI by Maran

Dunia modern bergerak dengan ritme yang semakin cepat. Seiring arus perubahan yang sulit diprediksi, kita sering kali kehilangan pijakan dalam mencari tujuan hidup. Zygmunt Bauman, seorang sosiolog terkemuka, menyebut fenomena ini sebagai Liquid Modernity. Dalam realitas ini, segala sesuatu menjadi cair, fleksibel, namun kehilangan substansi dan stabilitas. Alih-alih berperan sebagai "peziarah" yang mencari makna, manusia kini lebih mirip "turis" yang hanya mengejar kenikmatan sesaat.

Secara etimologis, istilah liquid berasal dari bahasa Latin liquidus, yang berarti sesuatu yang mengalir, tidak memiliki bentuk tetap, dan mudah menyesuaikan diri dengan wadahnya. Bauman menggunakan istilah ini sebagai metafora untuk menggambarkan kondisi masyarakat modern yang tidak lagi memiliki pondasi kuat dan cenderung berubah-ubah mengikuti arus. Dalam situasi ini, keterikatan manusia terhadap nilai-nilai tradisional, komunitas, atau identitas menjadi semakin rapuh. Kehidupan modern menjadi seperti air yang mengalir: dinamis, tetapi juga tanpa bentuk yang kokoh.

Bauman menggambarkan bahwa Liquid Modernity menghapus fondasi tradisional kehidupan. Semua menjadi sementara dan rapuh. "Dalam dunia yang cair, setiap ikatan mudah putus, setiap komitmen ditinggalkan," kata Bauman (2000). Manusia tidak lagi menjalani hidup sebagai perjalanan penuh kesadaran, tetapi sebagai rangkaian pengalaman instan yang kosong. Setiap aspek kehidupan, mulai dari relasi personal hingga kehidupan profesional, dikendalikan oleh prinsip fleksibilitas yang berlebihan.

Implikasi dari kondisi ini begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antar manusia, misalnya, menjadi lebih transaksional daripada emosional. Teknologi dan media sosial mempercepat proses ini dengan menciptakan konektivitas yang instan tetapi dangkal. Individu modern merasa bebas secara teknologis, tetapi di sisi lain terjebak dalam keterasingan yang mendalam. Kehidupan kehilangan makna karena tidak lagi dijalani dengan kesadaran penuh, melainkan sekadar mengikuti arus perubahan yang tak tentu arah.

Kehidupan Tanpa Akar: Kehampaan di Era Liquid Modernity

Dalam Liquid Modernity, nilai-nilai yang dulu membentuk tatanan sosial kini mengalami erosi. Tradisi, norma, dan struktur sosial yang dahulu memberikan arah dan makna bagi kehidupan manusia kini kehilangan relevansinya. Seiring dengan hilangnya landasan yang kokoh, individu dipaksa untuk terus-menerus beradaptasi dengan perubahan yang tak menentu. Zygmunt Bauman (2000) menyatakan bahwa kehidupan modern bersifat cair, di mana segala sesuatu tidak memiliki bentuk tetap dan cenderung mudah berubah. Kondisi ini menciptakan kebingungan eksistensial yang memengaruhi cara manusia membangun identitas dan relasi.

Identitas, dalam pandangan Bauman, menjadi sesuatu yang cair dan reflektif. Anthony Giddens (1991) menyebut kondisi ini sebagai "proses refleksif," di mana individu dipaksa untuk mendefinisikan ulang dirinya secara terus-menerus. Dalam proses ini, manusia modern mengalami tekanan psikologis akibat ketidakstabilan yang mengitarinya. Alih-alih menemukan kepastian, individu malah berhadapan dengan kebingungan yang berlarut-larut. Kebebasan untuk memilih identitas, meskipun tampak sebagai kemajuan, sering kali menjerumuskan manusia ke dalam kecemasan karena tidak ada titik akhir yang pasti.

Fenomena ini terlihat nyata dalam relasi antarmanusia di era modern. Keterikatan personal yang bersifat mendalam dan bermakna semakin tergantikan oleh hubungan yang dangkal dan cepat berlalu. Bauman (2005) mengkritik realitas ini dengan menyatakan, "Kita hidup di zaman di mana konektivitas lebih penting daripada keintiman yang bermakna". Konektivitas yang dimungkinkan oleh perkembangan teknologi digital menciptakan ilusi hubungan yang luas, tetapi sering kali kehilangan kedalaman emosional. Media sosial, sebagai contoh, memfasilitasi ribuan koneksi dengan mudah, tetapi hubungan yang terjalin cenderung bersifat permukaan dan sementara.

Interaksi di media sosial, meskipun terlihat dinamis, justru memperparah keterasingan individu. Teknologi memungkinkan seseorang untuk memiliki banyak teman virtual, namun tidak memberikan ruang bagi keintiman sejati yang melibatkan komitmen dan kerentanan. Ritzer (2010) memperkenalkan konsep McDonaldization sebagai analogi, di mana hubungan manusia menjadi serba cepat, efisien, dan instan, tetapi kehilangan kualitas yang autentik. Akibatnya, individu modern terjebak dalam jaringan koneksi yang luas, namun merasakan kehampaan yang mendalam karena miskin relasi yang bermakna.

Pada akhirnya, kehidupan di era Liquid Modernity ditandai oleh hilangnya akar yang kuat dalam identitas dan relasi sosial. Individu tampak bebas untuk memilih jalan hidup mereka, tetapi kebebasan ini justru membawa beban ketidakpastian dan keterasingan. Kehampaan eksistensial menjadi konsekuensi dari hidup tanpa pondasi yang jelas. Pertanyaannya, apakah kebebasan yang kita miliki hari ini benar-benar memerdekakan, atau justru membuat kita semakin terisolasi? Pertanyaan ini memerlukan refleksi mendalam di tengah perubahan zaman yang semakin tak menentu.

Peziarah vs. Turis: Pergeseran Makna Hidup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun