Selain itu, kebijakan pemaafan terhadap koruptor menghilangkan efek jera yang seharusnya menjadi inti dari penegakan hukum. Dengan adanya pengampunan, muncul pandangan bahwa korupsi adalah risiko kecil dengan imbalan besar. Hal ini mendorong pelaku potensial untuk lebih berani mengambil langkah korupsi, terlebih jika mereka merasa hanya perlu mengembalikan sebagian hasil kejahatan tanpa menghadapi konsekuensi serius. Akibatnya, moralitas bangsa turut mengalami erosi, karena perilaku tidak etis mulai dianggap sebagai sesuatu yang biasa, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat umum.
Lebih jauh lagi, sistem hukum yang tidak konsisten terhadap koruptor justru melemahkan otoritasnya sebagai alat kontrol sosial. Foucault mengingatkan bahwa hukum hanya efektif jika diterapkan secara konsisten dan tanpa pandang bulu (Foucault, 1977). Ketika hukum menjadi fleksibel untuk pelaku tertentu, termasuk koruptor, integritasnya dipertanyakan. Hal ini tidak hanya menciptakan celah bagi pelanggaran hukum lainnya, tetapi juga merusak dasar moral masyarakat yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan. Dalam jangka panjang, kebijakan seperti ini mempertaruhkan masa depan bangsa, menciptakan preseden buruk, dan mengancam keberlangsungan tatanan sosial yang adil.
Catatan Akhir
Negara harus menunjukkan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu. Korupsi telah merampas hak masyarakat atas pendidikan, kesehatan, dan pembangunan yang layak. Langkah memaafkan koruptor, meskipun terlihat pragmatis, adalah sebuah kemunduran besar yang menggerus kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum dan pemerintahan. Sebuah bangsa yang berkomitmen pada kemajuan harus memastikan bahwa pelaku korupsi dihukum sesuai kesalahannya.
Untuk itu, Indonesia perlu memperkuat lembaga anti-korupsi seperti KPK, menerapkan hukuman tegas yang memberikan efek jera, dan membangun kesadaran masyarakat melalui pendidikan anti-korupsi sejak dini. Upaya ini bukan hanya soal memberantas kejahatan tetapi juga menegakkan integritas moral bangsa.
Seperti Michel Foucault menegaskan bahwa, "Power is not an institution, and not a structure; neither is it a certain strength we are endowed with; it is the name that one attributes to a complex strategic situation in a particular society" (Foucault, 1977). Kekuatan negara tidak hanya terletak pada sumber daya atau kekuasaan politiknya, tetapi juga pada kemampuannya menjaga integritas moral dan kepercayaan rakyatnya. Dengan demikian, menolak memberikan pengampunan kepada koruptor adalah wujud nyata dari keberanian sebuah bangsa untuk mempertahankan masa depannya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H