Gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia sedang berada di persimpangan penting. Di bawah pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Prabowo, pemberantasan korupsi menunjukkan intensitas yang tinggi. Namun, gagasan tentang pemberian amnesti kepada koruptor, bahkan dengan syarat pengembalian aset, memunculkan perdebatan tajam. Isu ini menyentuh aspek yang lebih dalam daripada sekadar politik, yakni sisi edukasi dan filosofi yang mempertimbangkan dampak moral serta sosial dari kebijakan tersebut.
Korupsi adalah kejahatan terencana yang dilakukan dengan kesadaran penuh, mirip dengan pembunuhan berencana. Tindakan ini merampas hak masyarakat secara sistematis dan merusak struktur sosial. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, memaafkan koruptor tidak hanya ironis tetapi juga mencederai cita-cita keadilan yang seharusnya menjadi pijakan utama bangsa.
Selain itu, korupsi tidak dapat dilihat hanya dari perspektif ekonomi atau kerugian finansial. Dalam banyak kasus, dampak psikologis dan sosial dari korupsi jauh lebih besar. Kejahatan ini melahirkan ketidakpercayaan yang meluas terhadap institusi negara dan menurunkan standar moral masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan memaafkan koruptor merupakan langkah mundur yang mempertaruhkan masa depan bangsa.
Korupsi dan Prinsip Keadilan
Aristoteles dalam Nicomachean Ethics berpendapat bahwa keadilan adalah memberikan apa yang seharusnya diterima seseorang sesuai dengan perbuatannya (Aristotle, 2009). Tindakan korupsi, yang merampas hak masyarakat, secara langsung melanggar prinsip dasar keadilan distributif. Koruptor tidak hanya mencederai hak individu, tetapi juga merusak struktur kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Memberikan amnesti kepada mereka berarti mengabaikan nilai keadilan itu sendiri. Lebih dari sekadar pengembalian uang hasil korupsi, hukuman terhadap koruptor adalah perwujudan efek jera dan penegakan legitimasi hukum yang mencerminkan keadilan sosial.
Filsuf Yunani, Plato, dalam The Republic menekankan bahwa keadilan bukan hanya soal menghukum, tetapi juga soal mendidik masyarakat agar tidak mengulangi kesalahan yang sama (380 SM). Namun, pemaafan terhadap koruptor yang melangkahi proses hukum menciptakan preseden buruk dalam tatanan masyarakat. Dalam konteks modern, Michel Foucault melalui Discipline and Punish (1977) menjelaskan bahwa hukuman memiliki peran dalam pembentukan disiplin sosial dan mekanisme kontrol moral. Jika koruptor dimaafkan tanpa hukuman setimpal, maka masyarakat kehilangan rasa hormat terhadap hukum sebagai alat pengendalian moral. Konsekuensinya, legitimasi hukum tergerus, dan keadilan menjadi konsep yang rapuh dalam praktik.
Negara-negara maju menunjukkan bagaimana pendekatan tegas terhadap koruptor dapat menjaga stabilitas hukum dan kepercayaan masyarakat. Di Korea Selatan, mantan presiden Park Geun-hye dijatuhi hukuman penjara 22 tahun karena korupsi, menunjukkan bahwa tidak ada yang kebal terhadap hukum, bahkan pemimpin negara. Singapura, dengan komisi anti-korupsi yang efektif dan mekanisme pencegahan yang ketat, berhasil mempertahankan tingkat korupsi yang sangat rendah. Contoh lainnya adalah China, yang meski sistem hukumnya kontroversial, memberlakukan hukuman berat bagi pejabat tinggi yang terbukti korupsi, termasuk hukuman mati dalam beberapa kasus.
Sejarah juga mencatat bagaimana korupsi dan hukuman terhadapnya menjadi pelajaran bagi masa depan. Pada abad ke-17 di Inggris, kasus korupsi dalam pemerintahan Cromwell menyebabkan reformasi besar dalam sistem administrasi dan pengawasan keuangan negara. Sementara itu, pada era Romawi Kuno, kekuasaan tidak jarang diwarnai praktik korupsi, tetapi kaisar seperti Augustus berusaha menegakkan aturan yang lebih ketat terhadap pejabat yang menyalahgunakan wewenang. Melalui sejarah, terlihat bahwa ketegasan terhadap koruptor bukan hanya soal menghukum individu, tetapi juga menciptakan stabilitas politik dan kepercayaan rakyat.
Pendekatan yang konsisten terhadap koruptor adalah bagian penting dalam menegakkan keadilan dan melindungi tatanan sosial. Negara-negara seperti Norwegia, Denmark, dan Swedia, yang dikenal dengan indeks persepsi korupsi rendah, menerapkan sistem hukum yang tegas sekaligus transparan untuk mencegah dan menindak korupsi. Upaya ini tidak hanya melibatkan hukuman, tetapi juga membangun budaya kepercayaan dan integritas sejak dini. Ketegasan seperti ini menunjukkan bahwa pemberian amnesti kepada koruptor tidak dapat diterima, karena berpotensi melemahkan prinsip keadilan yang menjadi dasar bagi keberlangsungan masyarakat yang sehat dan bermartabat.
Memaafkan Koruptor: Mempertaruhkan Masa Depan Bangsa
Kebijakan memaafkan koruptor memiliki dampak serius yang jauh melampaui sekadar pengembalian uang negara. Ketika hukuman terhadap koruptor tidak ditegakkan secara tegas, kepercayaan publik pada pemerintah dan sistem hukum menjadi taruhannya. Masyarakat mulai meragukan legitimasi negara sebagai pelindung keadilan, menciptakan persepsi bahwa korupsi adalah pelanggaran yang dapat dinegosiasikan. Hilangnya rasa percaya ini berdampak sistemik, melemahkan hubungan antara pemerintah dan rakyatnya serta membuka peluang bagi praktik korupsi yang lebih meluas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!