Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Saya Menjadi Guru? Mengolah Feeling Menjadi Strategi

26 Desember 2024   10:43 Diperbarui: 26 Desember 2024   10:43 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa saya memilih menjadi seorang guru? Pertanyaan ini bukan hanya tentang profesi, melainkan tentang perjalanan panjang yang melibatkan rasa dan cita. Dua hal yang tampaknya berlawanan, namun saling melengkapi dalam perjalanan hidup saya. Rasa, karena saya merasa tidak memiliki latar belakang formal untuk menjadi seorang guru. Cita, karena impian almarhum Bapa yang mengharapkan ada anaknya yang melanjutkan semangatnya dalam dunia pendidikan. Di sini, saya akan mengungkapkan bagaimana kedua elemen ini, rasa dan cita, membentuk perjalanan saya dan mengubahnya menjadi sebuah strategi.

Seperti yang dikatakan Simon Sinek dalam bukunya Start With Why, "People don't buy what you do; they buy why you do it." Begitulah filosofi yang saya adopsi dalam perjalanan saya menjadi guru. Bukan semata-mata karena profesi ini, tapi karena alasan yang lebih dalam. Alasan yang bukan hanya berhubungan dengan apa yang saya lakukan, tetapi lebih kepada why---kenapa saya memilih jalan ini. Perjalanan ini diawali oleh rasa ragu dan ketidakpercayaan diri. Saya, yang tidak memiliki gelar pendidikan formal dalam bidang pendidikan, merasa jauh dari harapan untuk menjadi seorang guru. Namun, saya tahu, seperti yang diajarkan oleh Sinek, jika kita memulai dengan why, kita akan menemukan kekuatan yang lebih besar untuk mengatasi segala keterbatasan.

Saya ingin berbagi perjalanan saya, dari "Kelas Kambing" yang menjadi "Kelas Unggul". Sebagai seorang anak yang tumbuh di keluarga sederhana di Lamboleng, Solor---sebuah desa terpencil di NTT---saya merasa harus membuktikan diri. Saat pertama kali masuk sekolah, saya bukan langsung masuk ke kelas 1. Saya diminta untuk berada di kelas pendengar, atau yang sering disebut "kelas kambing". Alasannya sederhana namun memalukan: tangan saya belum bisa melingkar kepala untuk menggapai telinga. Mungkin bagi banyak orang, ini adalah sebuah kegagalan awal. Namun bagi saya, itu adalah titik awal untuk menemukan cara bertahan dan berjuang. Saya menyadari, rasa malu dan ketidakpercayaan diri itu tidak bisa dibiarkan menguasai diri. Di situlah saya belajar bahwa rasa itu bisa diubah menjadi strategi untuk maju. Saya mengubah keterbatasan saya menjadi kekuatan untuk belajar lebih giat dan menunjukkan kepada dunia bahwa saya bisa lebih.

Sebagai anak yang terlahir dengan impian besar dari seorang ayah yang tak memiliki ijazah namun berhasil mendirikan sekolah pertama di kampung halaman, saya merasa ada warisan yang harus saya lanjutkan. Seperti kata Simon Sinek, "The goal is not to be perfect by the end, the goal is to be better today." Dengan semangat itu, saya memulai perjalanan saya untuk terus berusaha, meskipun jalannya tidak mudah. Saat berada di sekolah, saya merasakan kemenangan yang luar biasa ketika berhasil meraih posisi peringkat pertama dari kelas 1 hingga kelas 6. Namun, kemenangan itu ternyata tidak membawa kebahagiaan yang saya harapkan. Hadiah-hadiah yang saya terima terasa sama dan monoton. Keberhasilan itu justru membawa rasa bosan dan akhirnya demotivasi. Saya belajar bahwa hadiah bukanlah tujuan akhir. Rasa bangga karena menjadi yang terbaik haruslah didorong oleh sesuatu yang lebih besar: sebuah makna yang mendalam.

Pengalaman saya di SMP juga membentuk cara pandang saya terhadap pendidikan. Bekerja sambil belajar adalah pengalaman berharga yang membuat saya lebih mandiri dan memiliki ketangguhan yang lebih besar. Saya tinggal dengan orang lain selama masa SMP karena masalah keluarga. Suatu ketika, saya diusir dari rumah, dan saya harus mencari penginapan baru. Pengalaman ini memberi saya pelajaran berharga: kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana, namun kita harus tetap berjuang untuk apa yang kita percayai. Saya belajar bahwa pendidikan bukan hanya tentang belajar di dalam kelas, tetapi juga tentang bagaimana kita menghadapi hidup yang penuh tantangan.

Saat melanjutkan studi di seminari menengah, saya mulai merenungkan apa yang sesungguhnya saya inginkan dalam hidup. Di sana, saya belajar untuk hidup bukan untuk nilai, tetapi untuk tujuan yang lebih besar---mewujudkan impian almarhum Bapa saya yang selalu mengingatkan saya untuk melanjutkan semangat pendidikan meskipun tanpa ijazah. Motivasi ini menjadi pendorong utama dalam perjalanan saya sebagai seorang guru. Saya tidak hanya ingin mengajar, tetapi juga ingin menginspirasi. Ingin menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya tentang teori atau sertifikasi, tetapi tentang bagaimana seorang guru dapat memberi dampak nyata dalam kehidupan siswa-siswanya.

Bebas dari Sekolah---ini adalah ide yang saya kembangkan saat kuliah pada program studi Ilmu Filsafat. Skripsi saya berfokus pada pendidikan yang tidak terikat pada sistem yang terlalu kaku dan formal. Saya ingin membuat perubahan. Pendidikan, bagi saya, harus fleksibel dan mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Jika ingin menciptakan perubahan besar, kita harus berani keluar dari zona nyaman dan memulai dengan sebuah visi yang jelas. Inilah yang membuat saya berani memilih untuk menjadi guru. Saya ingin menjadi bagian dari perubahan itu.

Sebagaimana yang diajarkan oleh Simon Sinek, why adalah pendorong utama dari semua tindakan kita. Ketika kita tahu mengapa kita melakukan sesuatu, kita akan lebih memiliki ketahanan untuk menghadapinya, meskipun segala tantangan datang menghadang. Bagi saya, menjadi guru bukan hanya tentang mendidik anak-anak, tetapi juga tentang mewujudkan cita-cita yang lebih besar---melanjutkan perjuangan Bapa, menginspirasi generasi baru, dan menciptakan dampak yang lebih luas. Inilah yang mendorong saya untuk tetap menjadi seorang guru, meskipun tanpa ijazah formal, dan dengan segala keterbatasan yang ada.

Catatan Akhir

Keputusan saya menjadi seorang guru bukanlah keputusan yang mudah. Itu adalah perjalanan yang penuh perjuangan, dari rasa tidak percaya diri hingga menemukan makna yang lebih dalam dalam setiap langkah saya. Saya percaya bahwa, seperti yang dikatakan oleh Simon Sinek, why adalah fondasi yang kokoh untuk membangun masa depan. Dan bagi saya, why itu adalah melanjutkan semangat Bapa untuk memberikan pendidikan yang bukan hanya mengandalkan ijazah, tetapi pada dampak nyata yang dapat diberikan kepada generasi berikutnya. Menjadi guru bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga tentang menginspirasi dan memberi dampak. Inilah alasan saya memilih untuk menjadi guru. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun