Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dikit-Dikit Kesal, Kesal Koq Dikit-Dikit

12 Desember 2024   19:27 Diperbarui: 12 Desember 2024   19:38 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia kerja, ketegangan dan gesekan antar individu adalah hal yang wajar. Namun, dalam beberapa kasus, ada fenomena menarik yang muncul: kecenderungan sebagian orang untuk mudah merasa kesal terhadap hal-hal kecil, terutama dalam konteks relasi kerja. Misalnya, teguran dari atasan dianggap serangan pribadi, atau perbedaan pendapat dalam rapat berubah menjadi konflik emosional. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada individu yang bersangkutan, tetapi juga mengganggu dinamika tim dan produktivitas organisasi.

Apa yang sebenarnya terjadi ketika "dikit-dikit kesal" menjadi pola perilaku? Apakah ini sekadar masalah kepribadian, atau ada faktor psikologis dan budaya yang berperan? Artikel ini akan membahas fenomena tersebut dari sudut pandang psikologi manajemen dan mencoba memberikan solusi.

Fenomena "Dikit-Dikit Kesal" dalam Dunia Kerja

Rasa kesal yang berlebihan dan berulang sering kali berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk memisahkan aspek pribadi dari profesionalitas. Dalam psikologi, istilah yang relevan dengan fenomena ini adalah low frustration tolerance (LFT), yaitu rendahnya toleransi seseorang terhadap ketidaknyamanan atau frustrasi. Orang dengan LFT cenderung bereaksi secara emosional terhadap situasi yang sebenarnya dapat diatasi dengan logika atau diskusi yang tenang.

Beberapa faktor yang memicu LFT dalam dunia kerja antara lain:

  1. Kurangnya Keterampilan Komunikasi Miskomunikasi adalah akar dari banyak konflik di tempat kerja. Ketika pesan tidak disampaikan atau diterima dengan jelas, mudah bagi seseorang untuk merasa kesal atau tersinggung. Misalnya, kritik konstruktif dapat dianggap sebagai serangan pribadi jika cara penyampaiannya kurang tepat.

  2. Ego yang Sensitif Dalam tim kerja, perbedaan pendapat adalah hal yang biasa. Namun, individu dengan ego yang sensitif sering kali sulit menerima perbedaan ini. Mereka merasa bahwa ketidaksepakatan adalah bentuk penolakan terhadap diri mereka secara keseluruhan.

  3. Kurangnya Kematangan Emosional Kematangan emosional berperan penting dalam dunia kerja. Ketika seseorang kurang mampu mengelola emosi, mereka lebih cenderung merasa kesal terhadap hal-hal kecil yang sebenarnya tidak penting.

  4. Budaya Kerja yang Tidak Sehat Lingkungan kerja yang tidak mendukung, seperti kurangnya penghargaan, persaingan yang tidak sehat, atau ketidakjelasan peran, dapat memicu frustrasi dan rasa kesal.

Dampak pada Relasi Kerja dan Profesionalitas

Fenomena "dikit-dikit kesal" memiliki dampak signifikan pada relasi kerja. Beberapa dampak yang sering terlihat meliputi:

  1. Hubungan yang Tegang Orang yang mudah kesal sering kali menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman. Rekan kerja mungkin merasa enggan untuk berinteraksi dengan mereka, yang pada akhirnya menghambat kolaborasi.

  2. Menurunnya Produktivitas Ketika konflik emosional mendominasi, fokus pada tugas dan target kerja cenderung terganggu. Energi yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan malah habis untuk mengelola emosi.

  3. Profesionalitas yang Kabur Ketika seseorang terlalu sering bereaksi emosional, batas antara hubungan profesional dan personal menjadi kabur. Teguran profesional sering kali dianggap sebagai serangan pribadi, sehingga sulit untuk mempertahankan objektivitas.

Untuk mengatasi fenomena ini, pendekatan psikologi manajemen menawarkan beberapa solusi praktis:

  1. Mengembangkan Keterampilan Komunikasi Komunikasi yang jelas dan efektif adalah kunci untuk mencegah miskomunikasi. Pelatihan komunikasi asertif dapat membantu individu menyampaikan pesan dengan cara yang tidak menyinggung, sekaligus belajar menerima kritik dengan lebih konstruktif.

  2. Meningkatkan Kematangan Emosional Program pelatihan emotional intelligence (EI) dapat membantu individu memahami dan mengelola emosi mereka dengan lebih baik. Kematangan emosional mencakup kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri, memahami perspektif orang lain, dan merespons secara bijaksana.

  3. Membangun Budaya Kerja yang Sehat Organisasi perlu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, dengan menghargai kontribusi setiap individu dan mengelola konflik secara konstruktif. Misalnya, menerapkan kebijakan penghargaan atas kerja sama tim dapat mendorong suasana kerja yang lebih positif.

  4. Memberikan Dukungan Psikologis Dalam beberapa kasus, rasa kesal yang berlebihan bisa jadi merupakan gejala dari masalah psikologis yang lebih dalam, seperti stres atau kecemasan. Memberikan akses kepada konselor atau psikolog perusahaan dapat membantu individu menangani masalah ini.

Membangun Profesionalitas: Antara Rasa dan Logika

Profesionalitas dalam dunia kerja menuntut keseimbangan antara rasa dan logika. Seseorang perlu memahami bahwa tidak semua interaksi di tempat kerja bersifat personal. Teguran atau kritik sering kali ditujukan untuk meningkatkan kinerja, bukan untuk menyerang individu secara pribadi.

Untuk mencapai keseimbangan ini, beberapa langkah yang dapat diambil adalah:

  • Latih Kemampuan Berpikir Kritis: Alih-alih bereaksi emosional, cobalah untuk memahami alasan di balik suatu teguran atau keputusan. Apakah ada hal yang bisa dipelajari dari situasi tersebut?

  • Pisahkan Emosi dari Fakta: Ingatlah bahwa kritik terhadap pekerjaan tidak sama dengan kritik terhadap kepribadian.

  • Beri Ruang untuk Refleksi: Ketika merasa kesal, ambil jeda untuk merenung sebelum merespons. Hal ini dapat membantu meredakan emosi dan mencegah konflik yang tidak perlu.

Fenomena "dikit-dikit kesal" mencerminkan pentingnya pengelolaan emosi dan komunikasi dalam dunia kerja. Dengan meningkatkan toleransi terhadap frustrasi dan membangun keterampilan komunikasi, individu dapat menghadapi situasi kerja dengan lebih profesional. Pada akhirnya, keseimbangan antara rasa dan logika adalah kunci untuk menciptakan relasi kerja yang sehat dan produktif. Sebagai pesan penutup, mari kita renungkan: Apakah kita ingin menjadi bagian dari solusi atau justru menambah masalah di tempat kerja? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun