Ngemong, sebagaimana diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, bukan sekadar tentang memberikan kasih sayang kepada murid, tetapi juga menyiratkan dinamika otoritas dalam pembelajaran. Filosofi ngemong menempatkan guru sebagai sosok pengasuh yang lembut, menciptakan rasa aman bagi murid dalam proses belajar. Namun, di balik niat baik ini, terdapat tantangan besar terkait bagaimana guru menyeimbangkan peran sebagai fasilitator tanpa menjadi figur yang terlalu mengontrol. Konsep ngemong, meskipun berakar pada nilai-nilai luhur kebudayaan Indonesia, membutuhkan refleksi mendalam ketika diterapkan dalam konteks pendidikan modern yang menekankan kemandirian murid.
Di sisi lain, konsep self-directed learning (SDL) menjadi model pembelajaran yang mendapat sorotan global. SDL, yang dipopulerkan oleh tokoh seperti Malcolm Knowles, berfokus pada kemandirian murid dalam mengarahkan pembelajaran mereka. Knowles menggambarkan pembelajaran mandiri sebagai proses di mana individu mengambil inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang lain dalam mendiagnosis kebutuhan belajar, merumuskan tujuan, dan mengevaluasi hasilnya. Dalam konteks ini, SDL berusaha membebaskan murid dari ketergantungan pada otoritas guru. Filosofi ini menawarkan kebebasan, tetapi juga mengandaikan bahwa murid memiliki rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri yang tinggi---sebuah tantangan yang tidak selalu sesuai dengan budaya ngemong yang sangat protektif.
Ketika ngemong dan SDL dibandingkan, muncul pertanyaan besar: apakah ngemong masih relevan di era pembelajaran yang menekankan kemandirian? Filosof kontemporer seperti Paulo Freire menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan, bukan yang mengontrol. Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, Freire menyebut bahwa pendidikan harus memberdayakan murid untuk berpikir kritis dan tidak hanya menjadi penerima pasif dari informasi. Jika ngemong diterapkan tanpa kesadaran kritis, maka pendekatan ini bisa berisiko menghambat murid untuk berpikir mandiri dan bertindak kreatif. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pendidik Indonesia untuk mengintegrasikan nilai kasih sayang ngemong dengan tuntutan zaman yang memerlukan kemandirian belajar.
Model Ngemong: Antara Pendekatan Humanis dan Risiko Otoritas Halus
Dalam filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, ngemong adalah pendekatan yang berakar pada nilai humanis, di mana guru berperan sebagai pembimbing yang penuh kasih. Filosofi ini menekankan pentingnya menciptakan suasana belajar yang nyaman, bebas tekanan, dan sesuai dengan potensi individu murid. Dalam ngemong, guru diibaratkan seperti pengasuh yang memfasilitasi tumbuh kembang murid secara alami, tanpa paksaan. Pendekatan ini mencerminkan falsafah among Ki Hadjar, yang terdiri dari prinsip ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), ing madyo mangun karso (di tengah membangun semangat), dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Prinsip ini bertujuan untuk membangun suasana pembelajaran yang mendukung murid berkembang dengan kebebasan bertanggung jawab.
Namun, ngemong memiliki potensi risiko jika diterapkan tanpa refleksi kritis. Seorang guru yang ngemong sering kali berusaha melindungi murid dari kesalahan atau kegagalan, dengan niat baik untuk menciptakan suasana belajar yang aman. Akan tetapi, tanpa disadari, sikap ini dapat mengarah pada protektivitas berlebih. Guru menjadi figur otoritas yang mengatur setiap langkah murid, dari cara berpikir hingga bagaimana bertindak dalam pembelajaran. Hal ini justru bisa menciptakan ketergantungan murid pada guru, yang bertolak belakang dengan tujuan pendidikan berpusat pada murid. Seperti yang diungkapkan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan yang mengontrol secara halus dapat membuat murid menjadi pasif, sekadar "mengisi gelas kosong," alih-alih memberdayakan mereka untuk berpikir kritis dan mandiri.
Implikasi lebih lanjut dari pendekatan ngemong yang tidak sadar adalah pergeseran fokus pembelajaran kembali ke guru. Dalam upaya melindungi murid, guru sering kali mendikte alur pembelajaran, meskipun secara teori menyatakan bahwa pembelajaran berpusat pada murid. Eleanor Duckworth, seorang ahli pendidikan progresif, memperingatkan tentang bahaya guru yang terlalu mendominasi proses belajar. Dalam esainya, The Having of Wonderful Ideas, Duckworth menegaskan bahwa pembelajaran sejati terjadi ketika murid merasa memiliki kontrol terhadap proses belajarnya. Jika guru terus-menerus mengatur langkah murid, pengalaman ini tidak akan tercapai. Oleh karena itu, meskipun ngemong membawa nilai-nilai luhur, penerapannya harus didampingi kesadaran untuk tidak mengambil alih peran murid dalam mengarahkan belajarnya.
Self-Directed Learning: Tantangan Baru dalam Konteks Pendidikan
Self-directed learning (SDL) membawa filosofi pembelajaran yang menekankan kemandirian murid untuk mengarahkan proses belajarnya sendiri. Konsep ini bertujuan membebaskan murid dari ketergantungan pada guru, memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi, mencari jawaban, dan memikul tanggung jawab penuh atas hasil belajar mereka. SDL sejalan dengan visi merdeka belajar yang ingin menghapus pembelajaran berbasis paksaan, menggantinya dengan pendekatan yang mendorong murid menjadi kreatif dan aktif. Malcolm Knowles, seorang tokoh pendidikan dewasa, menggambarkan SDL sebagai proses di mana individu secara mandiri menentukan kebutuhan, tujuan, dan cara belajar mereka, menciptakan pengalaman yang relevan dan bermakna.
Namun, SDL tidak dapat diadopsi begitu saja tanpa mempertimbangkan konteks budaya. Di negara-negara Barat, nilai-nilai kemandirian telah ditanamkan sejak dini, sehingga SDL dapat berkembang secara alami. Anak-anak terbiasa mengambil keputusan kecil, seperti memilih pakaian sendiri, menyelesaikan tugas tanpa banyak bantuan, atau tidur sendiri sejak bayi. Budaya ini memberikan dasar yang kuat bagi SDL untuk diterapkan di sekolah, di mana murid dianggap siap untuk bertanggung jawab atas proses belajar mereka. Filosofi ini mencerminkan nilai-nilai individualisme dan kebebasan yang menjadi ciri khas masyarakat Barat.
Sebaliknya, di Indonesia, budaya ngemong telah mengakar kuat dalam sistem keluarga dan pendidikan. Anak-anak cenderung dibesarkan dalam lingkungan yang protektif, di mana orang tua atau guru sering kali mengambil alih tanggung jawab untuk memastikan segalanya berjalan lancar. Dalam konteks ini, membiarkan anak terlalu mandiri sejak dini dapat dianggap sebagai kurangnya perhatian atau kasih sayang, bahkan menimbulkan kritik sosial. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan SDL di Indonesia membutuhkan pendekatan adaptif yang mempertimbangkan nilai-nilai lokal. Sebagaimana dicatat oleh psikolog budaya Geert Hofstede, perbedaan nilai-nilai kolektivisme dan individualisme antara budaya Timur dan Barat memengaruhi cara pendidikan diterapkan. Oleh karena itu, SDL harus dirancang dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip kemandirian tanpa mengabaikan konteks budaya ngemong yang menonjolkan kasih sayang dan kebersamaan.