Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Ngemong": Antara Kasih dan Tantangan Otoritas dalam Pendidikan

20 November 2024   20:02 Diperbarui: 20 November 2024   20:25 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jebakan Dalam Model Ngemong

Tanpa disadari, model ngemong sering kali memperkuat pola ceramah atau dikte dalam pembelajaran. Hal ini terjadi karena ngemong bekerja di bawah alam sadar guru yang merasa perlu "mengontrol" anak-anak demi memastikan mereka berada di jalur yang benar. Dalam pengalaman saya sebagai guru aktif maupun kepala sekolah yang melakukan supervisi, pola ceramah sering muncul secara otomatis, meskipun guru memiliki segudang metode pembelajaran kreatif di kepalanya.

Guru yang berusaha ngemong cenderung:

  1. Kurang Memberikan Kepercayaan pada Murid
    Murid dianggap belum mampu mengambil keputusan sendiri sehingga guru merasa perlu mengarahkan segala sesuatu. Akibatnya, murid kehilangan kesempatan untuk mencoba dan belajar dari kesalahan.

  2. Menghindari Tantangan untuk Murid
    Dalam filosofi ngemong, guru sering kali merasa harus "melindungi" murid dari kegagalan. Padahal, tantangan dan kegagalan adalah bagian penting dari proses belajar.

  3. Mengutamakan Proses yang Terlihat Rapi dan Terkontrol
    Guru sering kali lebih nyaman dengan pembelajaran yang tampak teratur, meskipun itu berarti murid hanya menjadi pendengar pasif. Proses yang berantakan, yang sering kali menjadi ciri khas pembelajaran mandiri, dianggap tidak efektif.

  4. Menjadikan Guru sebagai Sumber Kebenaran
    Meskipun niatnya untuk membantu, guru sering kali tanpa sadar menempatkan dirinya sebagai otoritas tunggal. Hal ini menghambat murid untuk berpikir kritis dan mencari perspektif lain.

Mengapa Self-Directed Learning Tidak Bisa Langsung Diadopsi?

Meskipun konsep self-directed learning menarik, penerapannya di Indonesia memerlukan adaptasi yang sangat hati-hati. Budaya Indonesia yang mengedepankan kekeluargaan, kebersamaan, dan pola asuh protektif membuat murid cenderung bergantung pada guru. Mengharapkan mereka tiba-tiba mandiri seperti anak-anak di Barat adalah hal yang tidak realistis.

Contoh sederhana: Di Barat, bayi yang tidur sendiri dianggap biasa, tetapi di Indonesia, hal ini bisa memicu perdebatan keluarga. Jika cara asuh seperti ini sudah menjadi kebiasaan sejak lahir, wajar jika anak-anak di Barat tumbuh dengan kemandirian lebih tinggi.

Daripada mempertentangkan model ngemong dan self-directed learning, kita perlu mencari jalan tengah yang sesuai dengan konteks Indonesia. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
    Lihat Pendidikan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun