Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghidupkan Kembali Esensi Sekolah di Tengah Wacana UN - Belajar untuk Hidup Bahagia

7 November 2024   06:37 Diperbarui: 7 November 2024   06:53 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar https://pixabay.com/

Wacana pemberlakuan kembali Ujian Nasional (UN) telah mengundang perdebatan luas di masyarakat. Di satu sisi, ada yang melihatnya sebagai cara untuk menjaga standar pendidikan nasional; namun, banyak pula yang mempertanyakan dampaknya terhadap esensi sekolah sebagai ruang belajar yang seharusnya penuh makna dan kebahagiaan. Seiring dengan wacana ini, kita dihadapkan pada pilihan: apakah pendidikan kita ingin berfokus hanya pada hasil akhir berupa nilai dan kelulusan, atau kita ingin kembali kepada esensi sekolah sebagai tempat belajar untuk hidup? Seperti yang tersirat dalam adagium Latin non scholae, sed vitae discimus --- "kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup."

Pemikiran ini juga sejalan dengan konsep pendidikan kebahagiaan yang diperkenalkan oleh Nel Noddings, seorang filsuf pendidikan terkemuka. Dalam pandangannya, pendidikan yang baik tidak hanya berfokus pada pencapaian akademis, tetapi juga pada kebahagiaan dan kesejahteraan peserta didik. Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana peserta didik dapat berkembang secara utuh---mengembangkan keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, dan kebahagiaan sebagai bagian integral dari proses belajar.

Sekolah: Dari Waktu Luang ke Ruang Berkembang

Secara etimologis, kata "sekolah" berasal dari bahasa Latin schola, yang berarti "waktu luang." Kata ini mencerminkan konsep sekolah di zaman Yunani Kuno sebagai tempat untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan belajar yang menyenangkan. Para pria Yunani Kuno berkumpul di tempat-tempat tertentu untuk berdiskusi, menggali ilmu, dan mencari pemahaman baru. Saat itu, sekolah bukanlah institusi formal seperti saat ini, tetapi lebih sebagai ruang untuk eksplorasi bebas, di mana belajar adalah aktivitas yang diisi dengan antusiasme dan rasa ingin tahu, bukan kewajiban yang terbatas pada kurikulum ketat atau tuntutan nilai.

Namun, seiring berjalannya waktu, konsep ini berubah menjadi lebih terstruktur. Sekolah kemudian menjadi institusi formal di mana kegiatan belajar diatur sedemikian rupa untuk memenuhi target-target tertentu. Meski begitu, esensi asli sekolah sebagai tempat untuk mengembangkan kebebasan berpikir, minat, dan bakat tetap penting untuk kita pertahankan.

Tantangan Wacana Ujian Nasional terhadap Esensi Pendidikan

Kembali diberlakukannya Ujian Nasional berpotensi menggeser fokus pendidikan dari pengembangan diri ke orientasi nilai dan kelulusan. Dalam sistem pendidikan yang sangat bergantung pada ujian standar, peserta didik sering kali belajar demi hasil ujian, bukan demi pemahaman yang lebih mendalam atau pengembangan keterampilan hidup yang sebenarnya. Hal ini berpotensi merusak semangat belajar yang penuh rasa ingin tahu dan kebebasan.

Ujian Nasional juga berisiko mendorong metode pengajaran yang berpusat pada latihan soal dan hafalan, yang dapat menumpulkan kreativitas dan kemampuan kritis peserta didik. Sekolah berubah menjadi tempat di mana peserta didik "dilatih" untuk lulus ujian, bukan untuk belajar menghadapi tantangan nyata dalam kehidupan. Jika ini terus berlangsung, maka kita kehilangan makna asli sekolah sebagai tempat untuk belajar menjadi manusia seutuhnya.

Pendidikan Kebahagiaan Menurut Nel Noddings

Nel Noddings mengemukakan bahwa salah satu tujuan utama pendidikan adalah untuk membantu peserta didik mencapai kebahagiaan. Pendidikan, dalam pandangannya, bukan hanya tentang hasil akademis atau nilai ujian; pendidikan yang baik harus membantu peserta didik merasakan kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kesejahteraan emosional. Menurut Noddings, pendidikan yang berorientasi pada kebahagiaan memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan inklusif, di mana peserta didik merasa dihargai sebagai individu dengan minat dan kebutuhan unik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun