Jika kita bertanya apakah tujuan utama belajar adalah untuk hidup atau sekadar memenuhi persyaratan akademis, kita mungkin tiba pada kesimpulan paradoksal: belajar untuk hidup tidak memerlukan nilai-nilai ujian yang kaku.Â
Jika hidup adalah fokus utama pendidikan, maka penilaian yang menekankan pada hafalan atau latihan soal belaka tidaklah cukup. UN mendorong siswa untuk menghafal pola jawaban agar mencapai nilai tertentu, tetapi ia gagal memupuk keterampilan berpikir kritis, kreativitas, atau kemampuan kolaborasi yang dibutuhkan dalam kehidupan nyata.
Sebagai pembawa perubahan, pendidikan harusnya memberi ruang bagi pengembangan diri dan kemampuan adaptif. Dalam kehidupan nyata, yang lebih penting adalah kemampuan menyelesaikan masalah, berinovasi, serta memahami dan menghargai perspektif orang lain. Drilling soal mungkin bisa mempersiapkan siswa untuk sebuah ujian, namun tidak menyiapkan mereka menghadapi tantangan kehidupan yang lebih kompleks dan tak terstruktur.
Fritjof Capra, melalui teorinya tentang jejaring kehidupan, menggambarkan bahwa kehidupan adalah jaringan yang saling terkait, mirip seperti kehidupan sosial manusia. Belajar tidak seharusnya menjadi aktivitas yang terisolasi dan individualistik, tetapi sebaliknya, menjadi proses kolaboratif di mana siswa saling belajar dan tumbuh bersama.
UN, dengan fokus individualistiknya pada capaian nilai, berpotensi mengabaikan prinsip ini. Jika kita ingin siswa memahami hidup dalam jejaring sosial yang dinamis, pendidikan yang kolaboratif lebih penting daripada sekadar latihan soal.
Pendidikan Seharusnya Membentuk Pribadi yang Berkualitas
Jika pendidikan ditujukan untuk membentuk pribadi yang berkualitas, maka sistem yang menekankan pada nilai akhir semata patut dipertanyakan. Sistem pendidikan harus mengembangkan aspek kreatif, pemecahan masalah, berpikir kritis, dan kolaborasi. Hal ini juga mencakup kemampuan mengendalikan diri, empati, dan menghargai keberagaman.
Dalam konteks ini, UN---yang menekankan pengukuran kinerja siswa secara seragam---tampaknya berseberangan dengan tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Seharusnya, belajar mengarah pada pembentukan pribadi yang mampu berpikir mandiri, berinovasi, serta menjadi pembawa damai di masyarakat.Â
Pembelajaran yang berpusat pada pengembangan keterampilan hidup akan mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai agen perubahan, bukan sekadar peserta dalam kompetisi akademik yang berbasis nilai.
Sekolah yang berfokus pada pengembangan karakter dan potensi diri akan memprioritaskan pendidikan yang inklusif, kolaboratif, dan relevan dengan kehidupan. Hal ini membutuhkan guru yang senantiasa belajar, melakukan refleksi, dan mengadopsi pendekatan pengajaran yang adaptif.Â
Seorang guru yang gemar belajar akan menumbuhkan budaya belajar di sekolah yang menular kepada siswa, membangun iklim di mana semua orang merasa nyaman untuk belajar tanpa rasa takut gagal.