Budaya memiliki peran sentral dalam membentuk karakter dan identitas bangsa. Namun, sering kali pendidikan nasional cenderung mengabaikan nilai-nilai lokal dan kearifan budaya yang dapat memperkaya proses belajar. Terutama bagi anak-anak yang miskin dan tinggal di daerah terpencil, pendidikan yang relevan dengan lingkungan mereka akan lebih mudah diterima dan dipahami.
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan asal Brasil, memperkenalkan konsep pendidikan yang membebaskan (liberation pedagogy). Menurut Freire, pendidikan harus berangkat dari realitas hidup peserta didik dan tidak boleh memaksa mereka untuk menerima konsep-konsep asing yang tidak sesuai dengan konteks kehidupan mereka. Dengan demikian, menghargai kearifan lokal dan memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan bagi anak-anak dari kelompok miskin akan memperkuat mata rantai budaya dan menjaga kesinambungan identitas nasional.
Perspektif Ekonomi: Investasi dalam Pendidikan sebagai Solusi Kemiskinan
Dalam ranah ekonomi, pendidikan sering dilihat sebagai investasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengatasi kemiskinan. Studi-studi menunjukkan bahwa negara-negara yang berhasil meningkatkan kualitas pendidikan bagi semua lapisan masyarakat, terutama kelompok miskin, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Konsep ekonomi pendidikan ini diperkuat oleh teori "human capital" dari Theodore Schultz, di mana investasi dalam pendidikan dipandang sebagai investasi dalam sumber daya manusia. Jika bangsa ini ingin maju, maka negara harus memperhatikan anak-anak yang miskin, yang merupakan elemen terlemah dalam rantai ekonomi bangsa. Anak-anak ini, jika diberdayakan melalui pendidikan yang layak, dapat tumbuh menjadi individu yang produktif dan berkontribusi secara signifikan bagi perekonomian bangsa.
Memperkuat Mata Rantai Terlemah: Refleksi Filosofis Pendidikan
Dari perspektif filsafat pendidikan, pendidikan adalah proses pembentukan manusia secara utuh, baik dari segi intelektual, emosional, moral, dan spiritual. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia---menciptakan individu yang mandiri, berdaya, dan mampu berpikir kritis. Hal ini selaras dengan prinsip bahwa memperhatikan komponen yang paling lemah dalam rantai masyarakat akan memperkuat bangsa secara keseluruhan.
Ketika kita memperhatikan anak-anak yang miskin dan memberikan mereka pendidikan yang memadai, kita tidak hanya menciptakan individu yang mampu memperbaiki kehidupan mereka sendiri, tetapi juga memperkuat fondasi bangsa ini. Filosofi ini juga didukung oleh pandangan Plato yang melihat pendidikan sebagai sarana untuk mencapai keadilan. Bagi Plato, pendidikan harus diberikan kepada semua orang secara adil, sehingga mereka bisa mencapai potensi tertinggi mereka dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Kesimpulan
Jika bangsa ini ingin maju dan menjadi kuat, maka kita harus memperhatikan anak-anak yang miskin dan kurang beruntung. Mereka adalah elemen terlemah dalam mata rantai bangsa yang jika diabaikan, dapat melemahkan seluruh sistem. Dari sudut pandang politik, sosiologis, budaya, dan ekonomi, perhatian terhadap kelompok ini melalui pendidikan yang inklusif dan adil merupakan investasi yang akan menghasilkan manfaat jangka panjang bagi bangsa. Seperti rantai yang kuat, kekuatan bangsa terletak pada perhatiannya terhadap elemen-elemen yang paling lemah, dan pendidikan adalah kunci untuk memperkuat elemen-elemen tersebut. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI