Pendidikan formal selama ini dianggap sebagai satu-satunya gerbang menuju kesuksesan. Pandangan ini didasari oleh anggapan bahwa ijazah sarjana merupakan prasyarat utama untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi dan gaji tinggi. Namun, realitanya tidak sesederhana itu. Biaya kuliah yang terus meningkat dan minimnya jaminan pekerjaan bagi lulusan sarjana, memaksa kita untuk mempertanyakan kembali paradigma ini.
Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki akses atau terkendala biaya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi? Apakah mereka ditakdirkan untuk tertinggal? Di sinilah letak urgensi transformasi pendidikan di tingkat SMA.
Transformasi Pendidikan di SMA: Sekolah untuk Hidup
Pepatah Latin mengatakan "Non scholae sed vitae discimus" yang berarti "kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup." Prinsip ini seharusnya menjadi dasar dari sistem pendidikan kita, terutama di tingkat SMA. Program bimbingan karir di SMA harus lebih dari sekadar membantu peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minat atau jurusan kuliah yang akan diambil. Program ini harus fokus pada latihan keterampilan yang menjadi fondasi bagi kehidupan peserta didik setelah lulus.
Alih-alih terpaku pada ijazah sarjana, perlu digaris bawahi bahwa pendidikan SMA harus berfokus pada pengembangan keterampilan hidup (life skills) yang membekali peserta didik dengan kemampuan yang dibutuhkan di dunia kerja. Hal ini sejalan dengan pendapat Ivan Illich dalam bukunya "Deschooling Society" yang mengkritik sistem pendidikan formal yang kaku dan tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat. Illich menekankan pentingnya pembelajaran mandiri dan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan.
Lebih jauh Ivan Illich berpandangan bahwa pendidikan formal menghambat pembelajaran sejati dan merugikan individu serta masyarakat. Illich berpendapat bahwa pendidikan seharusnya tidak terbatas pada institusi formal, melainkan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Ia menyarankan adanya desentralisasi pendidikan dan mendorong pembelajaran mandiri serta partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan.
Jika kita mengambil pandangan Illich, maka transformasi pendidikan di tingkat SMA harus mengarah pada model yang lebih fleksibel dan berorientasi pada keterampilan hidup. Ini berarti siswa harus dilibatkan dalam kegiatan yang langsung berhubungan dengan kehidupan nyata, seperti magang, proyek komunitas, dan pelatihan keterampilan praktis.
Urgensi Belajar Pendampingan Karir di SMA, Jika Tidak Kuliah
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2021 mencapai 6,49%. Banyak di antaranya adalah lulusan SMA yang tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja. Ditambah lagi, biaya kuliah yang terus meningkat menjadi penghalang utama bagi banyak siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang bekerja di bidang yang sesuai dengan jurusan mereka. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pendidikan formal dan kebutuhan pasar kerja. Oleh karena itu, transformasi pendidikan SMA menjadi krusial untuk mempersiapkan generasi muda dengan keterampilan yang adaptif dan fleksibel agar mampu bersaing di era disrupsi ini.
Dengan membekali peserta didik SMA dengan keterampilan hidup, mereka tidak hanya siap untuk memasuki dunia kerja, tetapi juga memiliki kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan. Hal ini sejalan dengan gagasan Yuval Noah Harari dalam bukunya "21 Lessons for the 21st Century" yang menekankan pentingnya keterampilan seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan belajar sepanjang hayat di abad 21.