Sebuah Kisah Praktik Baik Pemimpin Pembelajar
Pernahkah Anda, sebagai seorang guru, dihadapkan pada situasi dilematis seperti ini? Diprotes oleh murid karena merasa diperlakukan berbeda dengan kelas lain? Jika ya, selamat! Anda telah melangkah satu langkah lebih maju dalam perjalanan mengajar Anda.
Tahun 2013 menjadi tonggak sejarah bagi saya. Kala itu, saya mengajar di sebuah SMA di Jabodetabek dengan penuh semangat dan idealisme. Di kelas 10 dengan 6 kelas paralel, saya mencoba menerapkan metode belajar yang berbeda untuk setiap kelas. Ada kelas yang diajak keluar kelas untuk belajar dengan metode gamifikasi, sementara kelas lain belajar di dalam kelas dengan metode konvensional.
Niat baik saya untuk menyesuaikan metode belajar dengan karakteristik setiap kelas ternyata berujung pada protes dari salah satu kelas. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Hal ini tentu menjadi tamparan keras bagi saya. Namun, kejadian ini justru membuka mata saya tentang keragaman karakteristik murid. Setiap kelas, bahkan setiap murid, memiliki kebutuhan dan gaya belajar yang berbeda. Penerapan metode belajar yang seragam tidak akan optimal dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Pengalaman ini mengingatkan saya pada masa saya menjalankan live in (magang kuliah) di Sanggar Anak Akar pada tahun 2006. Di sana, saya melihat bagaimana anak-anak belajar dengan bebas dan mandiri, tanpa paksaan. Mereka tumbuh dengan luar biasa dalam lingkungan yang suportif dan penuh eksplorasi. Mereka mengembangkan potensi sesuai bakat dan minat mereka. Bahkan saat itu mereka menjadi komunitas anak jalanan pertama di Indonesia yang belajar musik menggunakan not balok? Luar biasa bukan?Â
Pengalaman ini, mendorong saya untuk menulis skripsi filsafat tentang "Tinjauan Filosofis Bebas dari Sekolah Menurut Ivan Illich". Sejak saat itu, saya mulai menerapkan prinsip-prinsip kemerdekaan belajar dalam proses mengajar saya.
Menginisiasi Asesmen Kolaboratif sebagai  Langkah Maju Menuju Merdeka Belajar
Jauh sebelum Kurikulum Merdeka menjadi wacana nasional, saya, sebagai Kepala Sekolah di sebuah SMP, telah  menerapkan asesmen kolaboratif lintas mata pelajaran. Kebijakan ini saya terapkan dengan penuh keyakinan bahwa pemahaman yang holistik tentang perkembangan murid tidak dapat diperoleh hanya dari penilaian dalam satu mata pelajaran saja.
Asesmen kolaboratif lintas mata pelajaran ini memungkinkan para guru dari berbagai bidang ilmu untuk bertukar informasi dan sudut pandang tentang perkembangan murid. Dengan demikian, tercipta gambaran yang lebih lengkap dan menyeluruh tentang potensi, bakat, dan tantangan yang dihadapi oleh setiap murid.
Kebijakan ini tidak hanya dijalankan di atas kertas, tetapi juga diimplementasikan secara nyata di sekolah. Para guru dilibatkan dalam pelatihan dan pendampingan untuk memahami konsep dan metodologi asesmen kolaboratif. Hasilnya, asesmen kolaboratif ini tidak hanya meningkatkan kualitas penilaian, tetapi juga memperkuat kolaborasi antar guru dalam merancang pembelajaran yang lebih berpusat pada murid.
Penerapan asesmen kolaboratif lintas mata pelajaran ini merupakan bukti nyata komitmen saya dalam mewujudkan pendidikan yang merdeka. Jauh sebelum Kurikulum Merdeka digaungkan, saya telah berjalan di depan dalam menciptakan pembelajaran yang bermakna dan holistik bagi para murid.
Bagi saya, merdeka belajar bukan sekadar konsep kurikulum, tetapi sebuah roh yang harus dihayati oleh guru. Guru yang merdeka belajar adalah guru yang berani keluar dari zona nyaman, berani mencoba hal baru, dan berani berinovasi. Paulo Freire, seorang pakar pendidikan ternama, mengatakan bahwa "pendidikan adalah sebuah praktik pembebasan". Guru yang merdeka belajar adalah agen pembebasan bagi muridnya. Mereka membebaskan murid dari belenggu metode belajar yang kaku dan monoton, dan mengantarkan mereka menuju pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, mengemukakan filosofi "Pendidikan yang memerdekakan". Beliau menekankan pentingnya kemandirian dan kreativitas murid dalam proses belajar. Guru harus berperan sebagai fasilitator yang membantu murid untuk mencapai potensi terbaiknya.Â
Merdeka belajar bukanlah tentang kebebasan tanpa batas, tetapi tentang tanggung jawab. Guru yang merdeka belajar harus bertanggung jawab atas pembelajaran muridnya. Mereka harus terus belajar dan mengembangkan diri agar dapat memberikan pembelajaran yang terbaik bagi muridnya.
Sebagai guru, marilah kita ciptakan kemerdekaan dalam diri agar mampu menjalankan Kurikulum Merdeka dengan baik.
Berikut beberapa tips untuk mencapai kemerdekaan dalam diri:
Refleksikan praktik mengajar Anda. Apakah Anda sudah menerapkan prinsip-prinsip merdeka belajar?
Beranikan diri untuk mencoba hal baru. Jangan takut untuk keluar dari zona nyaman Anda.
Berkolaborasi lah dengan rekan guru lain. Berbagi ide dan pengalaman dapat membantu Anda untuk mengembangkan praktik mengajar Anda.
Ikuti pelatihan dan seminar tentang merdeka belajar. Ada banyak sekali sumber daya yang tersedia untuk membantu Anda mempelajari lebih lanjut tentang merdeka belajar.
Yang terpenting, jangan pernah berhenti belajar. Dunia pendidikan terus berkembang, dan Anda harus terus belajar agar dapat mengikuti perkembangan tersebut.
Marilah kita bersama-sama mewujudkan pendidikan yang merdeka dan mengantarkan murid-murid Indonesia menuju masa depan yang gemilang.
Ingatlah, guru yang merdeka belajar adalah guru yang mampu membuat muridnya merdeka belajar. ***
Kunjungi juga di instagram tentang topik ini:Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H