Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Agrobisnis dan Kemakmuran Subsisten di Merauke

1 September 2021   00:02 Diperbarui: 1 September 2021   13:52 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padi telah di perkenalkan pemerintah Hindia-Belanda ke Merauke sejak abad ke-20, di mana pusat pengembangannya berada di homeland-nya orang Marind. Namun, hingga saat ini pertanian padi belum banyak memikat hati Orang Marind dan orang asli Papua (OAP) lainnya.

Agrobisnis di Merauke

Merauke telah berjumpa dengan agribisnis sejak awal abad ke-20, saat Pemerintah Kolonial Belanda mengembangkan Koembe Food Estate atau Koembo Paddy Project di kawasan Sungai Bian yakni Kumbe dan Salor. 

Sebuah proyek penyediaan pangan skala besar untuk memenuhi kebutuhan pangan utamanya untuk menghadapi pecahnya perang dunia ke-2.

Proyek pembukaan sawah ini mendorong sejumlah rumah tangga dari Jawa di tempatkan untuk mendukung pertanian sawah. Orang Jawa dikenal sebagai petani yang ulet serta sabar serta memiliki pengalaman yang panjang dalam pertanian padi dan palawija, cocok untuk tujuan ini.

Beras di Merauke (Marahalim Siagian)
Beras di Merauke (Marahalim Siagian)

Pada tahun 80-hingga tahun 90-an, penempatan migran baru ditingkatkan untuk mendukung pencetakan sawah baru. Selain dari Pulau Jawa, penduduk dari sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur juga ditempatkan di Merauke dan populasinya telah berkembang menjadi urutan nomor dua terbesar setelah suku Jawa (Jawa Timur dan Jawa Tengah).

Data tahun 2020 menunjukkan total luas panen tanaman padi di Kabupaten Merauke mencapai 48.130,04 Ha atau 91,31% dari luas panen tanaman padi di Provinsi Papua dan 80,04% dari luas panen tanaman padi di Pulau Papua. 

Dengan produktivitas 3,91 ton/ha, memberikan hasil produksi padi (GKG) sebanyak 188.274,19 ton, yang berarti mencapai 91,58% total produksi padi di Provinsi Papua dan 81,34% di Pulau Papua (Kabupaten Merauke Dalam Angka, 2020).

Penggilingan padi di Merauke (Marahalim Siagian)
Penggilingan padi di Merauke (Marahalim Siagian)

Beras yang diserap penggilingan dari petani (Marahalim Siagian)
Beras yang diserap penggilingan dari petani (Marahalim Siagian)

Area eksisting pengembangan agribisnis padi dan palawija di Merauke adalah Distrik Semangga, Distrik Tanah Miring, Distrik Malind, Distrik Kurik, dan Distrik Jagebob. Selain padi dan palawija, daerah disebut di atas juga sentra peternakan terpenting untuk Kabupaten Merauke.

Varietas padi yang dikembangkan sangat beragam didukung dengan mekanisasi pertanian, sistem irigasi dan drainase yang rumit serta mendapat subsidi dan fasilitas kredit dari perbankan.

Dalam hiruk-pikuk agribisnis di Merauke, penduduk lokal yakni Orang Marind dan Orang Asli Papua (OAP) lainnya belum banyak terlibat dalam agribisnis. Mengapa?

Padi di salah satu rumah transmigran asal Jawa di Distrik Semangga, Merauke (Marahalim Siagian).
Padi di salah satu rumah transmigran asal Jawa di Distrik Semangga, Merauke (Marahalim Siagian).

Kemakmuran subsisten

Kemakmuran subsisten adalah di mana tekanan penduduk pada sumber daya alam relatif ringan, produktivitas per unit tenaga kerja sangat tinggi dan sebagian besar petani subsisten mampu memproduksi sebanyak yang mereka bisa konsumsi serta mampu untuk mempertahankan tingkat hidup yang memadai menurut standar tradisional mereka.

Anak Marind berburu babi di Kampung Mimi Baru, Distrik Jagebob (Dokpri)
Anak Marind berburu babi di Kampung Mimi Baru, Distrik Jagebob (Dokpri)

Alam Papua umumnya dan lingkungan hidup di mana Orang Marind tinggal, berlimpah dengan sagu yang tumbuh di ekosistem rawa pasang surut. Kawasan dimaksud adalah ekosistem rawa pasang surut dan sabana yang dikandung oleh Sungai Maro, Bian dan Kumbe. 

Pada kawasan kampung Orang Marind dari hulu ke hilir adalah:

  1. Orang Marind di Kali Maro berada di desa atau kampung: Maro, Mbuti, Kuper, Kuprik, Semangi, Tambat, Sermayam Kampung, Soa Senayu, Poo, Toray, Rambu Kweit, Tanas, dan Bupul. 
  2. Orang Marind di Kali Bian berada di desa atau kampung: Domande, Boipe, Kaptel, Wan Kolomb, Boha, Pahas, Muting, Kindiki, dan Selil.
  3. Orang Marind di Kali Kumbe berada di desa atau kampung: Kumbe, Salor, Wapeko, Wayau, Koa, dan Kaisa

Hasil laut di komintas Marind pantai (Marahalim Siagian)
Hasil laut di komintas Marind pantai (Marahalim Siagian)

Ikan melimpah di sungai dan laut belum sampai tahap over fishing. Ekosistem rawa dan sabana membuat rusa berkembang biak dengan baik, buaya, saham (kangguru kecil), kangguru (besar), babi, kasuari, biawak, dan beberapa jenis burung dapat memberikan mereka jumlah daging yang cukup bahkan surplus.

Orang Marind pantai yakni mereka yang hidup di sepanjang garis pantai Merauke mengembangkan sistem mata pencaharian ganda. Sebagian sistem mata pencaharian mereka mengarah ke laut dan hutan bakau dan pertanian kecil-kecil di sekitar rumah dan kebun pekarangan dengan tanaman utama kelapa, sagu, pisang, keladi, ubi jalar, dan 'kumbili'.

Pasar Mopah, Merauke (Marahalim Siagian)
Pasar Mopah, Merauke (Marahalim Siagian)

Pada kawasan yang masih baik kondisi bakaunya, sejumlah jenis siput dan kerang-kerangan dapat diambil untuk makanan, kepiting bakau dipanen dari alam untuk kebutuhan makanan keluarga dan sebagian dapat dijual untuk memperoleh uang tunai harian.

Di Pasar Mopah, Kota Merauke, kita dapat menjumpai dengan mudah daging babi hutan yang masih segar digelar di pasar, daging rusa, kasuari, kangguru, 'saham' serta ikan dengan bobot jumbo. 

Gastor (ikan gabus) di Merauke bisa sebesar betis orang dewasa, ikan gurami bobotnya bisa hingga 3 kilo gram per ekor, kakap sungai bisa mencapai 10 kilo gram per ekor, semuanya berasal dari alam (bukan budidaya).

Ikan gastor (gabus) karena begitu melimpahnya telah diolah menjadi ikan asin dan menjadi produk makanan khas dari Merauke disamping dendeng rusa.

Seorang ibu sedang memanggang daging babi (Marahalim Siagian)
Seorang ibu sedang memanggang daging babi (Marahalim Siagian)

Pertanian yang dikembangkan orang Marind tidak memerlukan banyak input modal dan curahan tenaga kerja. Pisang tidak membutuhkan perawatan banyak dan bahkan tidak perlu ditanam kembali setelah hasilnya di panen. 

Demikian juga halnya dengan kumbili, batatas/ubi jalar, dan keladi menghasikan tuaian yang banyak tanpa harus memupuknya. Tanah tidak lekas jenuh atau merosot kesuburannya karena bentuk pemanfaatannya tidak begitu intensif.

Dalam kerangka pengembangan perekonomian lokal yang tertinggal jauh dari kehidupan ekonomi yang dicapai oleh penduduk migran saat ini, pemerintah perlu mendukung memangkas gap (jurang) pendapatan antara penduduk lokal dengan migran. Hal ini penting untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara migran dan penduduk lokal.

Produk pangan lokal di maksud adalah pengembangan sagu, pisang, ubi jalar, "kumbili', dan keladi hingga taraf yang surplus dengan cara perluasan areal tanam, pengembangan varietas unggul, pengolahan bahan baku, serta konektivitasnya dengan pasar/ industri. 

Orang Marind dan OAP lebih dekat secara budaya dan kultur kerja dengan komoditi ini dibanding padi.

Kecuali itu, gerakan petani milenial yang dicanangkan baru-baru ini oleh pemerintah mungkin akan dapat mengubah cara produksi masyarakat Papua. Lahan masih cukup luas di Merauke dan cukup untuk semua agar dapat tumbuh dan berkembang dengan caranya masing-masing. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun