Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Satu "Temenggung" Cukup, Tujuh Alangkah Banyaknya

6 Oktober 2020   07:21 Diperbarui: 8 Oktober 2020   20:17 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Rimba dengan rotan manau di kawasan Bukit Duabelas Jambi (Aulia Erlangga)

Temenggung adalah gelar pemimpin tertinggi (kepala adat besar) di komunitas Orang Rimba. Dahulu, hanya ada satu temenggung, paling banyak dua, untuk mengepalai kelompok-kelompok kecil yang berada di sebuah sungai, dari hulu ke hilir, populasi sekitar 500-600 orang. 

Sekarang, jumlah temenggung cukup banyak dengan populasi yang relatif sama. Bukan empat atau lima. Di Sungai Kejasung saja ada tujuh temenggung.

Tidak ada gaji seorang temenggung, apalagi anggaran yang dapat digunakan seperti halnya pemimpin sebuah desa. Upahnya penghulu---begitu mereka menyebutnya, adalah bagian dari hewan buruan yang tidak dapat dipastikan akan selalu ada tiap hari, minggu, atau setiap bulannya.

Hewan buruan yang wajib diberikan kepada penghulu pun jenisnya tertentu saja, yakni hewan yang bermakna dalam adat, seperti; rusa, kijang, dan tapir.

Babi jantan berukuran besar, kepalanya bisa diberikan kepada penghulu. Tetapi, babi yang ukuran kecil atau sedang boleh dibagi di kalangan orang yang ikut berburu saja.

Demikian halnya jika hewan buruan itu berupa; kancil, landak, biawak, napu, musang, cinciher, jenis jenis burung dan ikan. Lazimnya untuk lauk pauk rumah tangga atau keluarga si pemburu saja, tidak harus dibagikan.

Terang bahwa tidak ada privilege (hak istimewa) seorang penghulu baik yang tertinggi hingga terbawah yakni; temenggung, wakil temenggung, depati, mangku, debalang batin, menti, anak dalam, serta tengganai dalam kedudukan mereka sebagai pemimpin sebuah kelompok atau beberapa kelompok.

Sedikit tambahan tentang tengganai. Tengganai tidak persis dapat diletakkan dalam urutan gelar atau pangkat-pangkat pemimpin adat di atas. Seorang tengganai pada dasarnya adalah "tua kampung' yang memberi tunjuk-ajar (penerang) kepada anggota kelompok agar tidak sampai salah melangkah, salah berperilaku dalam koridor hukum adat, terutama untuk kaum muda.

Namun, seorang tengganai bisa juga mantan temenggung. Ia jadi tengganai karena sudah sepuh dan kondisi fisiknya sudah berkurang yang membatasinya untuk menjalankan tugas-tugas sebagai seorang temenggung. Misalnya, pendengarannya sudah berkurang, matanya sudah mulai rabun, pergerakannya sudah terbatas karena menderita penyakit rematik (entak tulang)--hal-hal semacam itu.

Seseorang yang demikian, jika ikut dalam memutus suatu perkara, cukup disegani. Wibawanya bisa lebih tinggi dari temenggung. Biar "cuma" pangkat tengganai namun karena mantan temenggung, Ia bisa mengalahkan seorang temenggung dalam hal perkara adat; mengkaji hukumnya dalam serta lengkap. Jika menimbang suatu perkara bijaksana, sehingga dapat diterima semua orang.

Bagian yang tidak terpisahkan dari ini adalah kemampuan retorikanya, satu dari beberapa jenis kualitas yang diperlukan oleh seorang pemimpin di kalangan Orang Rimba.

Retorika penting dalam suatu perkara adat karena landasan utama pembuktian hukum adat bukanlah barang buktinya, melainkan nalarnya. Bahkan dalam sistem peradilan moderen hal subyektif semacam itu sesungguhnya masih dipakai juga yakni, "keyakinan hakim" dalam memutus suatu perkara di pengadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun