Perlindungan hutan pada aras politik-pembagunan hemat saya dapat di address melalui komite pembangunan daerah yang terdiri dari satuan-satuan perangkat daerah terkait guna mensinkronisasikan investasi atau pembagunan yang akan masuk ke suatu kawasan.Â
Bantuk konkritnya bisa provinsial streering comitee (PSC) yang mana unsur-unsurnya terdiri dari representasi para pihak yang dinilai perlu: perguruan tinggi, pemerhati lingkungan, organisasi non pemerintah (LSM), dan perangkat satuan daerah dari unsur pemerintah terkait.
b. Dinamika bentang alam
Dinamika bentang alam masih cukup jarang dilihat sebagai bagian dari strategi perlindungan hutan. Apa yang saya maksud dengan dinamika bentang alam di sini adalah, pertumbuhan populasi manusia di suatu daerah. Setiap populasi manusia yang bertambah, ia akan mengkonsumsi energi. Butuh lahan pertanian, butuh kayu untuk membuat rumah, butuh pangan, dll.
Sebagai contoh, berkembangnya industri primer pengolahan kayu dan meubel untuk kebutuhan rumah tangga di suatu daerah pasti akan menekan hutan karena bahan baku kayu untuk kebutuhan industri mereka ada di hutan. Terutama jika tidak ada ijin pemanfaatan hasil hutan kayu yang legal tempat pemilik usaha kayu mendapatkan bahan bakunya.
Maka, kemungkinnnya adalah mengambil kayu dari kawasan hutan yang terdekat, langsung maupun melalui pasar gelap menggunakan tangan pihak ke tiga.Â
Lokasi pengambilan kayu bahan baku ini bisa ke cagar alam, taman nasional, cagar biosfer, suaka marga satwa, hutan lindung, ke hutan produksi dan kawasan hutan dengan fungsi lainnya -yang terdekat.
Selain kayu, pesatnya pertumbuhan populasi di suatu daerah pasti akan menekan hutan. Hutan bagi masyarakat miskin adalah tempat memperoleh lahan pertanian yang murah dengan cara cepat.
Banyak kasus kehutanan di Indonesia adalah akumulasi dari pembukaan lahan oleh masyarakat dalam kawasan hutan yang dalam kebijakan terakhir diakomodasi dalam TORA (tanah obyek reforma agraria) dan PS (perhutanan sosial).
TORA dan terutama PS, sesungguhnya ini tidak ideal kalau dimaksudkan pemerintah sebagai cara untuk redistribusi aset dan legalisasi akses. Dalam kasus hutan yang sudah dirambah duluan, banyak kasus yang saya dampingi justru lahan tersebut lebih banyak dimiliki oleh orang yang mampu di desa. Dengan kata lain, tidak sepenuhnya bisa dipakai sebagai cara untuk membagi "tanah untuk rakyat miskin".Â
Kebijakan ini, walaupun tidak diakui pemerintah, sebenarnya ibarat "orang yang sudah hamil duluan baru diberi surat nikah". Artinya, kurang lebih lahan dalam kawasan hutan itu sudah jadi kebun masyarakat, lalu dilegalisasi dengan mengeluarkan ijin perhutanan sosial dalam bentuk: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan tanaman rakyat, dan atau kemitraan kehutanan.