Gerakan 'laung bahenda' oleh Dayak Bakumpai tidak bisa dianggap remeh, sebab 'laung bahenda' adalah simbol yang membangkitkan semangat dan solidaritas sesama 'ije lebu' (penduduk sekampung) dan solidaritas sesama 'uluh ita' (sesama suku bangsa).
Buku ini ditulis sendiri oleh putra Dayak Bakumpai, Nasrullah. Ia lahir, besar, dan kemudian mengabdi jadi pendidik (dosen) di Universitas Lambung Mangkurat.
Apa yang ditulis pada buku ini yakni, GERAKAN LAUNG BAHENDA (Militansi Orang Bakumpai Mempertahankan Lahan Gambut dari Ekspansi Perusahaan Perkebunan Sawit di Kalimantan Selatan) hal yang cukup dekat. Sedekat apa?
Saat masih sama-sama menuntut ilmu di Pascasarjana UGM, Yogyakarta, sahabat saya ini suatu kali mendapat kabar dari kampung bahwa perkebunan kelapa sawit akan masuk ke desanya.Â
Ia mengajak saya mendiskusikan apa faedah dan mudarat jika perkebunan kelapa sawit dibagun di atas lahan zona livelihood Orang Bakumpai?
Ia sering menjadi tempat bertanya bagi orang kampung jika ada sesuatu hal masuk ke desa, seperti investasi pembangunan kelapa sawit tersebut. Mungkin karena orang kampung percaya dan bangga punya putra yang terdidik yang menuntut ilmu di Pulau Jawa.Â
Mungkin karena itu pula ada tanggung jawab moral hingga Ia terdorong untuk menulis artikel di harian lokal Banjarmasin kala itu yang pada pokoknya mengartikulasikan pandangan serta sikapnya sebagai anggota masyarakat Desa Jambu Baru jika perkebunan masuk ke kawasan penghidupan mereka.
Seperti apa lingkungan fisik dan pemanfaatan lingkungan fisik Orang Bakumpai? Baca di sini.
Berselang beberapa tahun kemudian, saat saya bekerja di perusahaan swasta nasional, saya diminta untuk melakukan studi sosial-ekonomi karena perusaan itu hendak dibeli.
Konflik batin pun muncul. Bagaimana tidak, perusahaan inilah yang dulu kami hajar habis-habisan lewat artikel di harian Bajarmasin. Sekarang, saya dalam posisi untuk menilai apakah perusahaan itu layak untuk dibeli atau tidak. Deja Vu!
Ini tidak segampang membuat rekomendasi: "layak dibeli' atau "tidak layak dibeli". Dasarnya apa? Harus jelas.
Selain pertimbangan betapa beratnyaa masalah 'teritorial' perusahaan ini jika dibeli, laporan dan rekomendasi saya juga mecantumkan faktor 'Nasrullah'.
Pendapatan dari kayu galam yang dipanen dengan cara suksesi alami pasti akan ditebang karena membangun perkebunan sawit perlu dilakukan landclearing terlebih dahulu.
Hasilnya menjadi sumber uang tunai mingguan yang rutin serta selalu habis terjual karena diserap oleh pasar di Kota Banjarmasin untuk pasar oleh-oleh maupun untuk penggunaan pribadi.Â
Kegiatan pertanian memang tidak tampak menyolok namun lahan di sepanjang aliran sungai adalah tanah aluvial yang menghasilkan banyak sayur mayur tanpa perlu menambah banyak pupuk. Â Â
Orang Bakumpai memanfaatkan banyak sumberdaya alam di ekosistem rawa itu, baik untuk tujuan pemenuhan hidup sehari-hari maupun hasil (mata pencaharian) yang berorientasi ke pasar.Â
Status kawasan ini adalah areal penggunaan lain (APL) dengan tutupan hutan sekunder dan padang rumput. Lahan-lahan seperti ini jika dilihat menggunakan kacamata "pembangunan" dianggap tidak produktif, lahan tidur, dan sebagainya.
Buku ini mengulas konfrontasi orang Dayak Bakumpai dengan perusahaan perkebunan di zona livelihood (areal penghidupan) mereka.Â
Jika konflik kemudian terjadi, sesungguhnya tidak mengejutkan saya. Namun, saya tidak menyangka sepuluh tahun kemudian, sahabat baik saya ini masih harus berjuang untuk itu.
Negosiasi dan konfrontasi masih terus berlangsung dalam perebutan ruang & sumberdaya alam antara koorporasi dengan orang Dayak Bakumpai di Barito Kuala.
Laung Bahenda adalah kain kuning yang diikatkan di kepala sebagai simbol perjuangan dalam melakukan aksi massa.
Setia Budhi seperti yang dikutip penulis buku ini menjelaskan lebih jauh makna ikat kepala kuning itu:
Laung Bahenda Dayak Bakumpai tidak bisa dianggap remeh sebab laung bahenda adalah simbol yang membangkitkan semangat dan solidaritas sesama 'ije lebu' (penduduk sekampung) dan solidaritas sesama 'uluh ita' (sesama suku bangsa).
Ini bukan hanya sebuah buku biasa, tapi sebuah manifesto perjuangan orang kampung melawan korporasi yang berotot kuat.
Bukan hal yang buruk jika Indonesia sudah memiliki banyak kebun sawit dan industri perkebunan ini menjadi salah satu dari 5 (lima) penyumbang devisi negara yang besar.Â
Hingga tahun 2019, luas kebun kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 16 juta hektar (Sawitindonesia.com). Sudah terlalu banyak, harus ada rem-nya, kalau tidak, akan memakan kebun karet, kebun kelapa, serta tanah-tanah yang kita perlukan untuk memproduksi makanan pokok.
Banyak orang terdidik di negeri ini tidak punya kesempatan untuk membela kaumnya sendiri. Buku Laung Bahenda ini menarik untuk dibaca sebagai respon kultural Orang Bakumpai terhadap investasi/pembangunan yang masuk ke wilayah penghidupan mereka. Diorganisir oleh orang kampung sendiri, putra dari mereka yang terdidik.