Sebenarnya saya menghitung cermat logistik yang kami bawa dalam ekspedisi Polahi ke interior Hutan Nantu, Suaka Marga Satwa Nantu (Pengunungan Boliyohuto) empat tahun yang lalu.Â
Ditambah dengan ikan sogili (sidat) yang kami beli dari keluarga Tahilu untuk dimakan bersama, mustinya logistik kami cukup. Nyatanya logistik itu cepat menipis.
Lebih jauh tentang komunitas Polahi di Gorontalo dapat dibaca pada artikel saya pada Kompasiana.
Namun kami punya alternatif. Bisa makan ubi kayu, labu, daun ubi kayu, membuat perangkap ikan, barangkali jamur dicari jika keadaan terpaksa. Ikan kaleng sarden, mie instan, roti, itu adalah jenis logistik yang cepat lunas.
Berangkat dari pondoknya di tepi Sungai Hatibi, Tahilu mempersilakan kami berjalan duluan. Dia sendiri akan menyusul dengan anak bininya. Dua anaknya masih cukup kecil, sedangkan dua orang lagi sudah beranjak remaja (2 pria dan 2 perempuan).
Mungkin ada sekitar satu jam kami mendahului mereka. Nyatanya, mereka dapat menyalip kami di tengah perjalanan, padahal ada anak kecil berjalan bersama mereka.
Menjelang pendakian bukit terakhir, sebelum jalan menurun yang monoton hampir vertikal serta licin, kami bersitirahat di sebuah anak sungai.
Ada lapangan kecil di sekitar tempat itu, bekas bivak kami sebelumnya. Dalam hitungan saya, selambatnya-lambatnya kami sudah ada di desa sore hari. Maka saya mengeluarkan "jimat" buah kurma itu untuk dimakan bersama.
Saya mengeluarkan buah kurma dari tas dan membaginya rata. Buah kurma itu bukan buah kurma yang terbaik, permukaan bijinya sudah keriput.Â
Saya memberikan beberapa butir ke tangan Tahilu, Ia sedikit menyelidiki buah itu dengan memandanginya sebelum menyuapkannya ke mulut. Kelihatannya ia tidak jatuh cinta pada pandangan pertama pada tampilan buah itu.
Saya membual sedikit tentang buah kurma itu agar dia mau menyicipnya. "Buah ini dari padang gurun zajirah arab, kampungnya Nabi Muhammad. Buah ini dibawa oleh pesawat terbang dari negeri yang jauh di sana, makanya kita dapat beli dan memakan di sini"- kelewatan bangat kan saya, buah kurma yang sudah keriput itu saya kait-kaitkan pula dengan Nabi Muhammad, tidak salah tapi berlebih-lebihan, bukan?
Akhirnya, Ia dan semua anggota keluarganya mencicipnya juga, testimoni mereka rasanya "enak". Menurut Tahilu, ini kali pertama mereka menyicip buah kurma.
Satu jam kemudian, anjing yang dibawa oleh porter dan pemandu lokal kami menyalak babi hutan, anak babi hutan yang malang itu berhasil diringkus anjing kampung jagoan itu.
Anak babi malang ini terus diapain?
Saya menguji kembali pernyataan Tahilu tentang kebenaran apakah mereka sungguh tidak makan daging babi, hampir tidak ada masyarakat pemburu peramu di Indonesia setahu saya yang tidak makan babi hutan.Â
Saya coba tawarkan anak babi hutan malang itu kepadanya, tapi Tahilu menolak memakannya, Ia mengulang kata-katanya beberapa hari sebelumnya, bahwa mereka tidak makan babi hutan, alasannya mereka mengalami gatal-gatal.
Makanan yang cukup sayang untuk dilewatkan namun membawa daging babi hutan ke perkampungan yang mayoritas penduduknya muslim adalah tindakan yang tidak patut serta dapat mendatangkan masalah bagi saya. Biarlah itu hidangan daging segar untuk anjing kampung itu.
Kemarin, saya mendapat kabar dari anggota tim ekspedisi Polahi bahwa Leni (laki-laki yang duduk dekat tungku) telah meninggal dunia setahun yang lalu.
Kesan saya pada anak ini sangat baik, penurut, pekerja keras, dan ini tipe informan yang baik kalau kita ingin hidup di hutan bersama komunitas Polahi. Ada perasaan sedih tapi tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. **
Tulisan ini saya persembahkan untuk mengenang Leni. In memoriam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H