Sepekan terakhir, warga Tangerang Selatan diberitakan sedang diteror ulat bulu yang menyebabkan warga menderita gatal dan bentol-bentol. Hal yang sama diberitakan terjadi di Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur (Kompas.com-15/01/2020, 16:07 WIB).
Kemarin (14/01), berita yang sama mampir di halaman Facebook saya oleh seorang sahabat yang berada di Mamuju, Sulawesi Barat. Beliau menandai saya dalam berita yang dibagikan disertai dengan pertanyaan, "Fenomena apa ini Bang?"
Lokasi serangan ulat bulu yang diberitakan sebelumnya ternyata berbeda, yakni di Kompleks Perumahan Cipayung, Jakarta Timur (Kumparan-13 Januari 2020 16:04 WIB).
Sejauh ini penanganan yang dilakukan oleh warga yang dibantu oleh aparat pemerintah adalah mengumpulkan ulat bulu lalu dibakar dan atau seperti cara yang ditempuh oleh petugas pemadam kebakaran di Cipayung, menyemprot ulat bulu dengan foam (busa).
Terhadap pertanyaan teman di atas, hemat saya, semua spesies berpotensi untuk meledak. Alam ini memang bekerja dengan rumit, hilangnya salah satu unsur dalam rantai makanan akan berpengaruh pada aspek lain.
Contoh terbaik untuk ini barangkali "The Four Pests Campaign" atau "kampanye empat hama" yang dilakukan dalam rangka "Great Leap Forward" sekitar tahun 1958 oleh Mao Zedong, Pemimpin Republik Rakyat Tiongkok saat itu.
Burung gereja adalah salah satu dari empat yang dibantai hingga hampir punah. Hasilnya, bukan hasil panen tanaman pangan yang melimpah, justru kelaparan besar karena ulat dan serangga yang menjadi hama pertanian populasinya meledak, panen gagal.
Tragedi ini diingat dengan The Great Famine atau  'Wabah Kelaparan Besar' di mana terjadi kanibalisme (lebih jauh baca: mongabay.co.id).
Kembali ke topik di atas. Dalam kasus teror ulat bulu, kondisi berbiaknya mungkin ideal (musim penghujan), serta predator alami ulat bulu yakni burung-burung pemakan serangga--dalam rantai makanan alami, sudah jarang atau bahkan hilang dari lingkungan pemukiman warga perkotaan.
Senada dengan itu, menurut Ferry Hasudungan, senior biodiversity Perhimpunan Pelestarian Burung Liar di Indonesia yang berkantor pusat di Bogor mengatakan ada hubungan kuat antara hilangnya burung pemakan serangga dengan meningkatnya populasi ulat bulu dalam kasus teror ulat bulu di Jakarta dan Tangerang.
Disebutkan melalui komunikasi via WhatsApp, 15 Januari 2020, "Tentu ada kemungkinannya, ada beberapa jenis burung pemakan ulat, kupu-kupu, bahkan kepompong"
Beberapa jenis burung pemangsa serangga adalah; burung gereja erasia (Passer montanus), kutilang, ciblek, kepodang, dan burung jalak.
Teror ulat bulu di pemukiman warga mungkin tidak akan sampai menimbulkan korban jiwa, namun menimbulkan ketidaknyamanan. Rasa risih dan tidak nyaman mendapati ulat bulu ada di leher, kursi tamu, tudung saji makanan, atau mungkin di sprei tempat tidur yang menimbulkan gatal dan bentol-bentol seperti yang dialami warga.
Apa yang harus dilakukan?
Mengundang kembali burung-burung ke pekarangan kita
Apa yang terjadi di perkotaan berbeda dengan kasus yang diakibatkan oleh kampanye empat hama di Tiongkok. Kota-kota kita disesaki oleh populasi manusia yang terus bertambah.
Ruang terbuka hijau menyusut, pepohonan banyak hilang karena diubah menjadi hunian, perkantoran, infrastruktur, serta penggunaan ruang untuk fasilitas publik yang memakan banyak tanah atau ruang di perkotaan.
Jenis-jenis pohon atau tanaman yang dapat mengundang kembali burung ke pekarangan kita seperti pohon kersen. Tajuk pohon kersen sepeti payung yang menghadirkan kerindangan, buahnya menjadi sumber pakan bagi burung-burung di lingkungan perkotaan.
Jenis tanaman lain yang juga dapat menjadi tempat bertengger, bersarang (nesting), serta sumber pakan burung-burung agar burung hadir lagi ke lingkungan perkotaan dan pekarangan kita adalah pinang dan keluarga palem-paleman, pohon jambu, rambutan, srikaya, manga, asam, cemara laut, bunga tanjung, flamboyan, dan beringin.
Dari mana datangnya burung ke perkotaan? Burung-burung di perkotaan masih banyak, hanya saja sekarang tempatnya lebih banyak di sangkar-sangkar burung peliharaan warga. Atau burung-burung liar itu menepi, bertahan hidup di kantong-kantong lahan tersisa yang masih ada pepohonannya.
Burung Indonesia, salah satu organisasi non-pemerintah yang konsen terhadap pelestarian burung liar di Indonesia, telah mencanangkan "Bird Around Us" sejak tahun 2011, sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat urban akan pentingnya menjaga kelestarian ekosistem yang ada di sekitarnya.
Kegiatan yang dilakukan meliputi inventarisasi jenis burung, tanaman, dan satwa lainnya, serta rekomendasi pemilihan jenis tanaman untuk mempertahankan dan memperkaya jenis-jenis burung yang ada. Salah satu lokasi program ini adalah pemantauan Taman Kota Ahmad Yani serta survei burung di Kota Bogor (burung.org).
Komitmen itu diwujudkan dengan survey jenis burung di perkotaan melibatkan warga kampus, para aktivis, jurnalis, perhimpunan Burung Indonesia yang membawa serta keluarganya dalam acara merayakan keragaman burung di Indonesia.
Selain itu, komitmen UNG juga diwujudkan dengan cara memperkaya jenis-jenis pohon di lingkungan kampus yang dapat mengundang kembali burung ke lingkungan perkotaan. Burung adalah salah satu indikator untuk penilain cepat sehat tidaknya sebuah lingkungan. ***
Referensi:
Inisiatif Baru untuk Kota Ramah Burung (burung.org)
Bencana Terbesar di Bumi Ini Terjadi akibat Ulah Manusia Sendiri (mongabay.co.id)
Teror Ulat Bulu di Perumahan Hakiki Ciputat, Beberapa Warga Terserang (kompas.com)
Ulat Bulu Serbu Kompleks Perumahan di Cipayung, Jaktim (kumparan.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H