Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mufut, Piknik ala Dayak Punan

31 Desember 2019   22:49 Diperbarui: 5 Mei 2022   16:41 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dayak Punan (Foto Thomas Bolliger)

Mufut ditandai dengan perginya seluruh anggota keluarga meninggalkan pemukiman untuk berburu dan mencari buah-buahan. Tradisi ini berhubungan dengan rekreasi dan juga berfungsi ganda yakni, respon untuk situasi paceklik dan memelihara keseimbangan hubungan sosial diantara kerabat-kerabat terdekat.

**

Dayak Punan di Sungai Tubu dan Sungai Malinau---Kalimantan Utara, selalu ingin dekat dengan sumberdaya hutan. Hal tersebut membuat mereka disebut "pendatang terakhir" ke dunia modernisasi dibanding subetnik Dayak lainnya di Kalimantan.

Dayak Punan yang hidup lebih elusive menciptakan pola pemukiman yang unik. Contoh, pemukiman di Liu Mutai dan Long Nyom merupakan bagian dari Desa Pelancau yang berada di pusat Kecamatan Malinau Selatan. Padahal, jarak antara Liu Mutai dan Long Nyom dengan pusat desa sangat jauh bahkan diantarai oleh beberapa desa.

Contoh lain, pemukiman di Long Penai, penduduk ini tercatat sebagai penduduk Desa Long Titi. Padahal, jarak tempuh dari Long Penai ke Long Titi satu hari perjalanan. Demikian juga pemukiman di Kuala Rian, tersebar di sepanjang Sungai Tubu, jauh dari pusat desa.

Perkembangan desa/pemukiman ini menunjukkan dua kecenderungan berbeda--peleburan dan pemekaran. Desa-desa Punan di Malinau, yakni di Respen Tubu mengalami peleburan. Sepuluh desa yang dulunya eksis (Long Nit, Long Kendai, Long Agis, Long Lihi, Long Pangin, Mabung, Menabur Kecil, Menabur Besar, Payang dan Taram) pada tahun 2004 telah dilebur menjadi satu desa baru yang disebut Respen Tubu.

Hal sebaliknya terjadi di Malinau hulu, dimana dua desa baru terbentuk yakni Halanga dan Long Ranau yang sebelumnya bagian dari Desa Laban Nyarit. Jumlah penduduk desa umumnya kecil, hanya 190-300 jiwa.

Jumlah itu hanya setara dengan satu dusun di Sumatera Utara atau satu RT (rukun tetangga) di Pulau Jawa. Desa dengan karakter khas seperti itu akan sulit mengembangakan diri terutama desa/pemukiman di Sungai Ran dan Tubu

Akses dan area studi

Akses di Sungai Tubu yang sangat sulit karea arus sungai deras dan penuh 'giram' (Dok. KKI Warsi)
Akses di Sungai Tubu yang sangat sulit karea arus sungai deras dan penuh 'giram' (Dok. KKI Warsi)
Sistem transportasi utama adalah kendaraan air "ketingting" dan "longbot" yang berbahan bakar bensin. Jenis kendaraan tersebut merupakan kendaraan yang sesuai dengan Das Tubu yang bercirikan arus deras, berbatu, sertabanyak "giram" yang membuat transportasi air sangat sulit.

Semua desa berada pada muara sungai, namun kondisinya hampir sama dengan sungai Tubu, sehingga kendaraan air tidak dapat menjangkau desa.

Praktisnya, lalulintas manusia antar desa menggunakan jaringan jalan setapak yang terhubung melalui punggung bukit/gunung.

Komunitas Dayak Punan yang diteliti meliputi pemukiman Dayak Punan di hulu sungai; Desa Pelancau, Desa Tanjung Naga, Desa Metut/Long Uli, dan pemukiman Liu Mutai.

Punan di Sungai Ran sub Das Malinau, meliputi Desa Laban Nyarit, Desa Halangan/Ngga Lipi, Desa Long Mirau dan Desa Long Rat. Semua desa/pemukiman yang dikunjungi tersebut merupakan bagian dari Kecamatan Malinau Selatan.

Selanjutnya, desa/pemukiman Punan di Sungai Tubu meliputi; pemukiman di Kuala Avang dan atau Desa Long Pada, Desa Long Ranau/Lemunjung, pemukiman Long Tami dan atau Desa Long Titi, pemukiman Kuala Penai serta Desa Kuala Rian. Semuanya merupakan bagian dari Kecamatan Mentarang

 Mufut

Mufut adalah satu kebiasaan tahunan yang khas dari Suku bangsa Dayak Punan yang bermukim di Sungai Malinau dan Sungai Tubu-Kalimantan Utara.

Mufut ditandai dengan perginya seluruh anggota keluarga meninggalkan kampung untuk masuk ke hutan berburu dan mencari buah-buahan. Lamanya bisa 2-3 minggu.

Para informan mengemukan, tradisi ini berhubungan dengan rekreasi dan yang berfungsi ganda. Sebagai cara untuk menjaga/memelihara keseimbangan hubungan sosial diantara kerabat-kerabat terdekat karena di dalamnya terjadi aliansi dan distribusi makanan.

Bagi Orang Dayak Punan yang sudah tinggal di sekitar Kota Malinau, yakni Respen Tubu. Tradisi ini terasosiasi dengan kelompok Dayak Punan yang melakukan tradisi kolot. 

Orang Dayak Punan yang masih melakukan mufut dianggap masih tertinggal oleh bagian dari komunitas ini yang sudah dimukimkan pemerintah beberapa dekade yang lalu.

Pada beberapa grup pemukiman yang saya kunjugi, yang letaknya lebih terisolir, kebiasaan ini masih terus dilakukan dengan beberapa modifikasi. Dengan alasan keamanan kampung, maka hanya beberapa orangtua, khususnya laki-laki yang turut serta ke hutan. Pada beberapa kasus, ada juga beberapa pasang keluarga bersama kelompok mufut.

Di Ranau, penduduk mengemukakan bahwa mereka sudah menanam buah-buahan. Oleh sebab itu, mereka tidak lagi melakukan mufut. Tetapi pemukiman tetangga mereka Long Tami dan sebagian Long Titi masih melakukan mufut.

Kebiasaan ini sering dikombinasikan juga dengan aktivitas berburu. Namun, tidak semua peserta mufut menggambil bagian didalamnnya. Para perempuan dengan beberapa laki-laki pergi mendahului mereka dengan janji bertemu di suatu tempat, dimana hasil buruan kemudian didistribusikan.

**

Pada musim buah, terjadi migrasi babi (bavui nyatung) dari Malinau ke Tubu. Demikian sebaliknya. Dimana babi menjadi sangat mudah untuk dibunuh. Surplus lemak babi diolah menjadi minyak (lanyih) yang berfungsi sebagai pengganti minyak sayur. 

Pada musim ini penduduk dapat menyimpan minyak babi 5-25 kg per rumah tangga. Surplus ini sekaligus menjamin anjing peliharaan mereka mendapatkan makanan berkualitas tinggi.

Walau dekat dengan sumberdaya hutan, kondisi ekonomi penduduk Punan masih tergolong marjinal. Terutama karena mereka sedikit banyak merupakan bagian dari sistem ekonomi pasar. Kebutuhan seperti gula, rokok, tembakau, garam, obat, harganya cukup tinggi.

Hampir semua desa tidak memiliki warung yang dapat menyediakan kebutuhan barang. Ketersediaan barang disuplay oleh toke gaharu yang merangkap pedagang kebutuhan pokok, diantaranya berasal dari Singaterang.

Secara historis peran ganda ini dilakukan oleh orang Tidung dan Putuk/Lundayeh, dimana para pedagang mudik ke hulu sungai untuk menukar tempayan atau gong dengan gaharu, damar, geliga, serta hasil hutan lainnya yang berharga dimasa lalu. 

Pola ini sekarang sudah jauh berubah, namun masih berjalan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun