Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Batak, Perkawinan Lintas Budaya

30 Desember 2019   23:39 Diperbarui: 16 Januari 2020   03:44 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi di luar lingkungan tempat tinggalnya, seperti di perkotaan yang suku bangsa atau kelompok-kelompok sosialnya heterogen, orang Batak mengembangkan kategori sosial baru berdasarkan "kerabat" dan "bukan kerabat" [Edward Bruner, 1999].

Menurut Bruner, kategori sosial ini dikembangkan orang Batak ketika mereka bermigrasi ke kota Medan beberapa dekade yang lalu. Yang dimaksud dengan "kerabat" adalah kategori sosial bagi anggota-anggota semarga atau sesuku, sedangkan "bukan kerabat" adalah kategori sosial untuk orang-orang bukan semarga atau sesuku. Fenomena seperti ini umum dilakukan suku bangsa di Indonesia untuk memberi batas-batas sosialnya dengan orang lain.

Pada abad yang lalu, orang Batak telah menciptakan kategori sosial untuk bangsa asing yang tinggal di tanah Batak, mereka adalah pengawai pemerintah Hindia Belanda dan para misionaris.

Bangsa asing ini disebut 'si bottar mata' (si mata putih atau bangsa kulit putih), tanpa membedakan kewarganegaraannya. Nommensen yang Jerman dan Yves yang Belanda sama saja bagi orang Batak: mereka adalah 'si bottar mata'. Ketika Nommensen mengijil di tanah Batak, ia menemukan kesukaran dalam menyatukan marga dalam satu persekutuan gereja, karena masing-masing marga menuntut didirikan gereja untuk mereka sendiri. Masing-masing marga juga menuntut pendeta zendingnya masing-masing. Demikian Lother Schreiner [1999:46] mengutip Nommensen:

"Dengan adanya pos huta dame-pearaja, maka ditariklah marga-marga lumbantobing dan hutagalung, pos sipoholon untuk marga-marga Simanungkalit, Situmeang dan Hutauruk, dan pos Simarangkir untuk marga Simorangkir dan Hutabarat".

Karena begitu pentingnya peranan marga dalam hubungan sosial dan dalam usaha pengkristenan di tanah Batak, maka semua pendirian gereja pada awalnya didasarkan pada peta susunan marga-marga.

Sudah begitu banyak hal yang berubah dalam budaya Batak, tetapi marga tidak mengalami pergeseran fungsinya. Dahulu, huta [kampung, desa] dinamakan berdasarkan nama marga pendirinya, berikut dengan sumberdaya dilingkungan itu; tanah, hutan, atau danau, disebutkan berdasarkan marga.

Maka ada dikenal nama 'Tao Silalahi' [Danau Silalahi], Desa Silaen [sekarang ibu kota kecamatan] di Kabupaten Toba Samosir. Dewasa ini marga juga dipakai sebagai instrumen ekonomi-politik.

Seseorang yang ingin tampil sebagai kepala pemerintahan akan mengkonsolidasikan anggota-anggota marganya sebagai basis pemilih atau mesin politiknya. Hal ini akan berlanjut setelah yang bersangkutan menjadi, katakanlah seorang gubernur. Sang gubernur akan memberikan konsesi-konsesi ekonomi pada anggota marganya dan merekrut pegawai negeri dari anggota-anggota semarga. Maka pernah terkenal sebutan di Sumatera Utara 'Batak berekor'.

Profesor Usman Pelly [1994] yang menulis disertasi tentang urbanisasi dan adaptasi di kota Medan, melihat bahwa ikatan-ikatan primordial seperti atas dasar marga atau suku bangsa tetap dilestarikan dalam bentuk pemukiman bersama dan pola persebaran penduduk.

Hal ini juga mencerminkan batas-batas sosial antar suku bangsa di Medan. Narrol, seperti dikutip Koenjaranigrat [2000:330] menyebutkan bahwa batas-batas sosial budaya pada prinsipnya dapat dilihat berdasarkan [i] kesatuan masyarakat bersarkan desa atau lebih [ii] kesatuan masyarakat berdasarkan bahasa atau logat bahasa [iii] kesatuan masyarakat berdasarkan daerah politik-administratif [iv] kesatuan masyarakat yang batasannya rasa identitas penduduk itu sendiri [v] kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh wilayah geografis [vi] kesatuan masyarakat berdasarkan pengalaman sejarah yang sama [vii] kesatuan masyarakat berdasarkan ekologi [viii] kesatuan masyarakat berdasarkan frekuensi interaksi dan [ix] kesatuan masyarakat berdasarkan susunan yang seragam.

Tungku yang Tiga [dalihan na tolu]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun