Mudik saya ke kampung halaman pada liburan semester yang lalu (bulan juli) kumanfaatkan sebagai momentum mengabdi kepada masyarakat. Bersama teman-teman mahasiswa yang lain, kami membentuk komunitas bahasa inggris di Desa Kadacua, Kecamatan Kulisusu, Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Senyumdan canda tawa mereka belum hilang diingatanku. Masih selalu terbayang dan berharap bisa berkumpul, bercengkrama lagi dengan mereka. Mereka adalah anak-anak yang penuh dengan semangat dan optimisme. Mereka memiliki segudang cita-cita. Mereka dengan lantang menyebutkan cita-cita itu dan saya pun mengamininya dalam hati. Saya terkesima dengan tekad mereka. Meskipun hidup di pelosok, jauh dari akses pendidikan lantas tak mengurung niat mereka untuk bersekolah dan belajar. Semangat dan optimisme itu yang menggugah hati saya membentuk komunitas bahasa inggris di Desa Kadacua sebagai kontribusi saya untuk negeri ini. [caption id="attachment_288318" align="aligncenter" width="300" caption="Berporse bersama anggota Kadacua English Club"][/caption]
Kadacua adalah desa kecil yang belum lama dimekarkan yang terletak di pinggiran Kota Ereke, Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Mayoritas masyarakat di sana bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Letaknya dekat dengan pantai sehingga kedepannya kadacua berpotensi sebagai desa wisata. Belajar dari desa wisata yang ada di pulau Jawa, khususnya Yogyakarta, masyarakat setempat sudah seharusnya memiliki kemampuan berbahasa. Sebab, wisatawan yang berkunjung bukan hanya dari domestik tapi juga wisatawan dari luar negeri. Bersama teman-teman mahasiswa lain yang juga baru pulang dari mudik di liburan semester kemarin (15/7), kami menggagas konsep komunitas bahasa inggris di Desa Kadacua. Berbekal pengalaman saya sewaktu di Pare, Kediri – yang di kenal sebagai kampung bahasa inggris – saya memberikan ide agar komunitas ini harus berbeda dengan konsep di lembaga kursus. Kegiatan di komunitas harus lebih menarik. Sehingga kami pun memutuskan dengan mengambil konsep “Belajar dan Bermain”. Semangat dan Motivasi Tantangan pertama kami dalam merintis komunitas ini adalah sikap skeptis masyarakat yang melihat komunitas ini sebagai lembaga kursus yang memungut biaya. Kami pun terus melakukan sosialisasi melalui pendekatan tokoh masyarakat setempat dan menjelaskan bahwa komunitas bahasa inggris ini tak memungut biaya sepersen pun. Tempat belajarnya juga di rumah bapak Sauli, S.Sos, salah satu tokoh masyarakat di Desa Kadacua. Bapak Sauli adalah tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dan dari beliaulah kami mensosialisasikan komunitas bahasa inggris ini. Beliau sangat menyambut baik niat baik kami. Bapak Sauli ini juga merupakan alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) sehingga beliau paham dan sangat sepakat dengan ide komunitas bahasa inggris. “Saya sudah lama menunggu dari anak-anak di sini yang kuliah di kota untuk membuat kegiatan-kegiatan seperti ini”, ungkap beliau saat pertama kami ke rumahnya. [caption id="attachment_288319" align="aligncenter" width="300" caption="Saya dan Teman Mahasiswa Lain ( kanan, Kemeja Kotak-kotak"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H