Beberapa dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta, tahun 2012 mengisyaratkan, bakal ada geopolitical shift atau pergeseran geopolitik ---dalam konflik global--- dari Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara) menuju Asia Pasifik, bahkan “titik sentral”-nya, atau lokasi konflik pun telah ditandai oleh GFI berada di Laut Cina Selatan. Dan tampaknya, proses dimaksud kini sedang berlangsung. Selanjutnya alasan pokok kenapa pergeseran terjadi, tak sedikit diulas oleh para penulis di website www.theglobal-review.com dan beberapa buku terbitan GFI, terutama Journal Kedua yang bertajuk: “Merobek Jalur Sutera Menerkam Asia Tenggara” (2 Januari 2013). Penulis tak ingin mengulang-ulang bahasan kecuali sekilas untuk menyambung paragraf saja. Catatan ini hanya memotret fenomena sehubungan perubahan “titik sentral”-nya secara fokus. Dengan kata lain, mencoba mengurai (breakdown) anatomi “ruh”, ataupun penyebab utama kenapa sentral (pemicu) geopolitical shift seolah-olah berpindah ke Laut Cina Timur, lepas dari prakiraan GFI sebelumnya. Inilah ulasannya. Dalam perspektif asymmetric warfare (peperangan asimetris), pergeseran geopolitik akan membawa konsekuensi logis pada perubahan unsur, elemen maupun tahapan suprastruktur politik (pendukung)-nya. Maksud unsur atau tahap suprastruktur disini ialah isue, tema dan skema. Pada tataran isue (permulaan) misalnya, pola kolonial di Laut Cina sekarang tak lagi menyoal kepemimpinan tirani, bukan pula perihal isue genocida, atau korupsi, tidak juga soal demokratisasi, atau isue nuklir, dan lain-lain. Isuenya kini tunggal, yakni “sengketa perbatasan”. Itulah yang saat ini tumbuh semarak di Laut Cina. Masih dalam koridor asimetris, lazimnya “tema” kolonial yang bakal diletuskan pasca isue ditebar ialah konflik terbuka, baik bersifat intrastate (konflik internal dalam negara) maupun interstate (konflik antar negara). Ini pola berulang, kecuali isue dimaksud terkontra sendiri, atau dikontra secara langsung oleh pihak-pihak ter-“target” dan yang ditarget. Sedangkan “skema” penjajahan sebagaimana kerapkali saya katakan di berbagai tulisan, hampir-hampir tak pernah berubah sepanjang zaman, yaitu penguasaan ekonomi serta pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di negeri koloni. Sering keduanya, baik penguasaan ekonomi maupun pencaplokan SDA berjalan simultan dengan intensitas berbeda, atau acapkali justru “satu tarikan nafas” (serentak) pada sebuah kolonisasi melalui pintu tata ulang kekuasaan ---ganti ‘boneka’--- semacam tata ulang (Arab Spring) yang sedang berproses namun out of control di Jalur Sutera (Silahkan baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung, di www.theglobal-review.com), dan lainnya. Dokumen Project for the New American Century and Its Implication, 2004 (PNAC)-nya Pentagon, jelas menyiratkan, bahwa salah satu “misi” Paman Sam ---jika tidak boleh disebut tujuan--- ialah membendung gerak laju Cina. Tak bisa dielak. Penyerbuan NATO dkk ke Mali dan invasi militernya ke beberapa negara (kecil) Afrika berdalih terorisme, radikalisme Islam, dll adalah potret aktual terkait upaya-upaya Barat membendung pengaruh Cina di Afrika. Pertanyaanya sederhana: apakah Mali akan diserbu NATO bila ia cuma penghasil singkong belaka? Maka pemahaman what lies beneath the surface dan kajian strategis Deep Stoat if you would understand world geopolitic today, follow the oil barangkali merupakan jawaban atas (setiap) agresi militer Barat ke berbagai negara. Minyak, emas dan gas bumi. Ini cuma gambaran selintas, betapa banyak contoh-contoh lainnya. Kenapa Laut Cina Selatan Kunci daripada isue-isue sengketa perbatasan di Laut Cina Selatan sesungguhnya berada di dua kepulauan, yaitu Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Inilah pemetaan konflik (saling klaim) atas beberapa negara di sekitar kepulauan dimaksud: (1) Kepulauan Spratly. Ya, selain menyimpan konflik antara Cina versus beberapa negara seperti Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam, Brunai Darussalam, dll bahkan di antara sesama anggota ASEAN sendiri terdapat endapan sengketa atas Spratly, saling mengklaim kepemilikan. Itulah fakta-fakta yang nyata; yang ke (2) Kepulauan Paracel. Dalam konteks ini, sengketa Paracel melibatkan Cina, Vietnam serta Taiwan. Dan Cina pun, masih berseteru dengan Philipina terkait Karang Scarborough, yang sempat memanas dekade 2012-an lalu. Dari mapping sengketa, konflik Kepulauan Spratly mungkin paling menarik, karena melibatkan sejumlah negara Asia Tenggara seperti diurai sekilas di atas. Kenapa ia diperebutkan oleh banyak negara, memang ada takdir leverage atas geopolitik dan geo-posisi daripadanya. Artinya, selain letaknya strategis di jalur perairan internasional, juga paling utama potensi SDA berupa minyak dan gas alam yang melimpah di Kepulauan tersebut. Aspek geostrategi sudah jelas, barangsiapa menguasai Spratly maka identik mengendalikan jalur pelayaran bagi kapal-kapal yang hilir mudik antara Lautan Pasifik - Lautan Hindia. Itulah geopolitical leverage yang diperebutkan para adidaya dunia. Apa boleh buat. “Nasib”-nya mirip Syria, meski ia tak sekaya minyak seperti Libya, Irak, Iran, dll tetapi Syria toh diperebutkan para adidaya Timur dan Barat karena faktor geopolitic of pipeline dan geostrategy position di Jalur Sutera (Baca: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria, di www.theglobal-review). Prakiraan kandungan minyak di Spartly sekitar 10 milyar ton (International Herald Tribune, 3 Juni 1995), namun The Geology and Mineral Resources Ministry of the People’s Republic of China memperkirakan kandungannya 17,7 miliar ton. Masih simpang siur, tetapi jika merujuk lembaga geologi Cina tadi, data-data ini menempatkan Spratly sebagai kawasan dengan cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Luar biasa. Sudah barang tentu, dari perspektif hegemoni yang kini tengah dirajut oleh Negeri Tirai Bambu, menguasi kepulauan tersebut identik mengurangi ketergantungan impor minyak baik dari Kawasan Afrika, Timur Tengah, maupun Asia Tengah, dan lain-lain. Lain Spratly lain pula leverage Kepulauan Paracel. Bagi Tirai Bambu, selain dalam konflik hanya berhadapan dengan Vietnam dan Taiwan ---ex provinsinya---, urgensi Cina terhadap kepulauan tersebut tidak kalah penting dibanding Spratly. Oleh karena dari sisi geostrategi, menguasai Kepulauan Paracel bisa mengawasi gerak navigasi di bagian utara Laut Cina Selatan, kendati dari sisi SDA, hanya gundukan batu karang. Akan tetapi kuat disinyalir, Paracel juga memiliki kandungan minyak dan potensi gas alam yang besar, meski belum didukung data-data secara resmi. Secara geopolitik, menguasai dua kepulauan dimaksud, otomatis mengendalikan perairan internasional, menguasai kekayaan (potensi) SDA-nya, juga dapat dijadikan “batu loncatan” jika kelak berhasrat menyerang Daratan Asia. Untuk leverage terakhir, mungkin baru sebatas dugaan extreem penulis. Abaikan! Mengapa Laut Cina Timur Jika titik sengketa di Laut Cina Selatan ialah Kep Spratly dan Paracel, untuk konflik di Laut Cina Timur “titik”-nya berada di Kep Diaoyutai/Diaoyu versi Cina, atau Senkaku versi Jepang, atau Kep Tiaoyutai versi Taiwan. Seperti halnya dua kepulauan di Laut Cina Selatan, kepulauan ini pun layak disebut “Kepulauan (Kep) Sengketa”. Ada tiga negeri saling klaim kepemilikan. Mungkin selain sejarah, faktor jarak juga kuat mempengaruhi. Sekali lagi, istilah “Kep Sengketa” pada paragraf ini maksudnya ialah Diaoyu (Cina), atau Senkaku (Jepang), atau Tiaoyuti (Taiwan) itu sendiri. Sepintas “Kepulauan Sengketa” Kepulauan ini seluas 7 km. Terdiri atas lima pulau besar (Diaoyu Dao atau Uotsuri Jima, Chiwei Yu atau Taisho Jima, Huangwei Yu atau Kuba Jima, Bei Xiaodao atau Kita Kojima dan Nan Xiaodao atau Minami Kojima) dan tiga karang (Bei Yan atau Kitaiwa, Nan Yan atau Minamiiwa dan Fei Jiao Yanatau Tobise). Ia terletak di sebelah timur Cina, atau di sebelah selatannya Jepang, atau di sebelah utara Taiwan. Adapun jarak masing-masing negara dengan obyek sengketa, terlihat bervariasi. Antara Cina – “Kep Sengketa” misalnya, jaraknya 330 km dari Wenzhou; sedang Jepang – “Kep Sengketa” berjarak sekitar 420 km, dekat Kep Ryukyu; sementara jarak Taiwan – “Kep Sengketa” justru lebih dekat lagi, cuma 170 km. Itulah mapping awal dari sisi jarak. Dari aspek histori lain lagi, oleh karena bila merujuk catatan perjalanan para leluhur Cina dan beberapa referensi, baik catatan Liang Zhong Hai Dao Zhen Jing (1403 M); atau catatan Chen Kan, utusan Dinasti Ming (1534 M); atau artikel Diaoyu/Senkaku Islands Dispute: Japan and China, Oceans Apart-nya William B. Heflin, maupun buku East Asia Before The West: Five Centuries of Trade and Tribute (New York: Columbia University Press, 2010)-nya David C Kang, sepakat menyebut bahwa “Kep Sengketa” yang kini diklaim tiga negara dengan berbagai nama, sejatinya merupakan bagian teritorial Cina tempo doeloe. Perubahan atas kepemilikan terjadi era 1894-an tatkala Cina kalah perang melawan Jepang. Traktat Shimonoseki yang ditandatangani Cina-Jepang, mencantumkan Taiwan dan Korea menjadi bagian wilayah Jepang. Sudah barang tentu, pengambil-alihan Jepang atas Taiwan termasuk juga legal administrasi dari Kep Senkaku. Roda pun berputar. Ketika Jepang kalah perang pada Perang Dunia (PD) ke-2, namun kendali atas Kep Senkaku tidak seketika dikembalikan ke Cina seperti halnya ia mengambil-alih Taiwan, melainkan diserahkan kepada Amerika Serikat (AS). kemungkinan inilah titik awal kerancuan dalam kepemilikan. Kenapa demikian, oleh karena kontrol administrasi atas Kep Senkaku telah diubah. Artinya sewaktu dalam penguasaan Jepang, kontrol administrasi Kep Senkaku oleh Taiwan, namun tatkala dikuasai AS, kontrol berubah di bawah Okinawa. AS mengendalikan Kep Senkaku/Diaoyu semenjak tahun 1945 hingga 1972-an. Menurut harian Renmin Ribao berjudul “China's Diaoyu Islands Sovereignty is Undeniable”, bahwa Kep Diaoyu atau Senkaku adalah milik Cina di bawah Provinsi Taiwan. Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, maka “Perjanjian Postdam” (1945) resmi diterima oleh Jepang. Isi perjanjian tersebut termaktub perihal kekuasaan Jepang dibatasi pada Kep Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku dan pulau kecil lain yang akan ditentukan oleh negara-negara sekutu. Makanya Cina protes pasca keputusan AS tahun 1971 yang menyatakan bahwa Kep Diaoyu itu wilayah Jepang, sebab ia sendiri negara yang ikut menandatangani “Perjanjian Postdam”. Sumber lain mengatakan, sebenarnya Cina tidak keberatan ketika Paman Sam menyerahkan Senkaku (1971) kepada Jepang sesuai pasal 1 perjanjian antara Jepang - AS yang ditandatangani tanggal 17 Juni 1971. Klaim dan protes keras Cina muncul ketika survey Jepang mengatakan bahwa terdapat potensi sumber daya minyak. Sekali lagi, akankah Cina mengklaim Senkaku bila Kep tersebut hanya gundukan karang belaka? Jawabannya sederhana: “apa yang terkandung di bawah permukaan”, atau istilahnya what lies beneath the surface! Implementasi Asumsi GFI dan KENARI Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa memanasnya suhu politik beberapa negara di sekitar perairan Cina, selain tak lepas akibat “isue” dan “tema” yang ditebar (asymmetric strategy) kolonialisme Barat terkait geopolitical shift dari Jalur Sutera ke Asia Pasifik, juga silahkan simak rumusan GFI, Jakarta (2013), pimpinan Hendrajit, perihal garis besar konflik-konflik yang terjadi di dunia. Inilah asumsinya: "Bahwa mapping konflik dari kolonisasi yang dikembangkan oleh Barat, hampir dipastikan segaris/satu route bahkan pararel dengan jalur-jalur SDA terutama bagi wilayah (negara) yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam”. Demikian pula sesi-sesi diskusi di Forum Kepentingan Nasional RI (KENARI), Jakarta, pimpinan Dirgo D. Purbo, pakar perminyakan, kerapkali memetik pointers yang hampir identik dengan rumusan GFI di atas, yaitu: “conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow”. Bila mencermati konflik-konflik di Tanah Air, lalu mencoba menselaraskan dengan asumsi GFI dan KENARI, bahwa penanganan konflik oleh Tim Terpadu baik di pusat maupun daerah oleh Kementerian Polhukam selaku leading sector, seyogyianya tak cuma mengkedepankan model penanganan dan pengelolaan konflik atas hal-hal yang timbul di permukaan semata, namun wajib mencermati secara jeli what lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan. Ada asumsi lagi: “konflik lokal merupakan bagian konflik global”. Artinya, konflik di suatu kawasan bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri, tetapi seringkali merupakan bagian dari skema besar para adidaya. Maka meramu beberapa asumsi di atas, seyogyianya Tim Terpadu harus mengantongi jawaban atas pertanyaan: adakah kepentingan geopolitik asing terkait minyak, emas, gas bumi, dan/atau bagaimana upaya pihak luar menguasai geostrategi kawasan tertentu di Bumi Pertiwi? Konflik Sampang contohnya, jangan cuma dilihat dari sisi pertentangan budaya antara Syiah-Sunni yang dipenuhi virus takfiri (mengkafir-kafirkan kelompok lain), aroma sektarian, bener e dewe, dan lain-lain. Tim Terpadu hendaknya menelusur hingga ke dasar masalah di hulu persoalan --- bukannya akar persoalan di permukaan (hilir) saja. Adakah geopolitik Madura cq Sampang terkait kepentingan asing; berapa perusahaan luar beroperasi dan adakah persaingan di antara mereka sendiri; bagaimana pola perluasan area suatu perusahaan jika rencananya menabrak lokasi kelompok tertentu yang mutlak harus ‘diungsikan’? Atau pada wilayah konflik lain baik di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dll mutlak harus dipertanyakan dahulu: adakah potensi SDA-nya; bagaimana leverage geostrategi kawasan tersebut dari perspektif geopolitik global? Sekali lagi, conflict is protection oil flow! Asumsi GFI dan KENARI jelas menyiratkan makna, bahwa konflik manapun yang meletus di “jalur basah”, kuat indikasi ia diciptakan terkait kepentingan geopolitik para adidaya. Sudah tentu, hal ini selain pararel dengan kajian Deep Stoat (if you would understand world geopolitic today, follow the oil), juga sebenarnya tergantung insight (menyelam)-nya survey serta ketajaman Tim dalam menganalisa untuk mengurai masalah, lalu menyelesaikan konflik yang muncul secara tuntas. Lihatlah ethnic cleansing di Rohingya, Myanmar; tengoklah bentrokan antar suku di Balinuraga, Lampung; cermati benturan antara Syiah-Sunni di Madura, dst kenapa selalu dipicu oleh pola yang sama yaitu pelecehan seksual, berlanjut bentrok massa dan selalu berujung program relokasi penduduk (‘terusir’) yang hidup di atasnya. Sejauh ini, adakah kajian menyelam hingga di bawah permukaan? Geopolitical Leverage Untuk daya lenting, kemanfaatan atau leverage sebuah geopolitik yang layak disimak ialah kedahsyatan Papua dari aspek geostrategi. Catatan kecil dalam Perang Dunia (PD) ke-2 mengajarkan, bahwa ia memiliki nilai strategis bagi militer AS. Masa-masa PD dahulu, letak dan “posisi geografis”-nya sangat mendukung taktik lompat katak (leap frog)-nya Jenderal Douglas MacArthur, Panglima AS, sehingga dalam PD mampu unggul daripada tentara Jepang. Inilah kedahsyatan geopolitical leverage jika dimaksimalkan. Termasuk dalam hal ini ialah Selat Hormuz di Iran, Selat Malaka bagi Singapura, atau mungkin juga Selat Sunda, Selat Lombok, dll. Kendati untuk dua Selat terakhir (Selat Sunda dan Lombok) masih “terlantar“, artinya selama ini tak pernah diberdayakan oleh para pengambil kebijakan di republik ini guna kepentingan yang lebih besar. Dengan demikian, telah bisa dibaca bahwa hasrat Barat (AS dan sekutu) terhadap Papua selain kepentingan what lies beneath the surface (hal-hal terkandung di bawah permukaan) juga tak kalah penting ialah penguasaan geostrategy position dalam konstelasi geopolitik global. Tampaknya, Paman Sam ingin mengulang kembali kesuksesan PD ke-2 apabila geopolitical shift yang tengah berlangsung bermuara serta berubah menjadi perang (militer) secara terbuka. Kembali ke Laut Cina Selatan. Entah siapa memulai, siapa duluan memancing. Ketegangan politik di perairan Asia Pasifik terpantau hampir memuncak. Retorika pun muncul: apakah penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) oleh Negeri Tirai Bambu di Kep Diaoyu atau Senkaku ---kepulauan sengketa--- ujud dari ‘kegenitan’ Cina ingin segera tampil menjadi superpower? Atau insiden kecil tanggal 5 Desember 2013 di Laut Cina Selatan, dimana Kapal USS Cowpens (mengabaikan peringatan) menerobos tempat latihan Armada Laut Cina merupakan isyarat, bahwa Paman Sam pun sejatinya ingin cepat-cepat bertempur? Shock and Awe Masih ingat, apa dan bagaimana shock and awe berlangsung? Tak pelak, ia merupakan salah satu metode pertempuran. Hampir di setiap perang militer (symmetric warfare) yang dilakukan oleh Barat, sering didahului dengan modus menggertak, menggebrak, “menakut-nakuti” dan lainnya, baik secara fisik maupun non fisik. Tujuannya melemahkan target atau pihak lawan sebelum pertempuran sesungguhnya dihamparkan momentum. Melalui metode tersebut, si target sengaja dibuat tidak berdaya terlebih dulu ---dari sisi internal--- kemudian setelah dianggap “lumpuh”, ia akan diserang habis-habisan. Itulah shock and awe! Dalam praktek, modus tersebut banyak memetik kesuksesan, namun tak sedikit yang gagal. Perang Irak versus Koalisi Barat (AS dan sekutu) misalnya, sebelum penyerbuan pasukan koalisi pimpinan AS (2003), Pemerintahan Saddam Husein diembargo (ekonomi) selama kurang lebih 10-an tahun hingga kondisi negeri porak poranda. Rakyat menjadi miskin kekurangan pangan, kriminalitas meningkat, maupun menjalar aneka penyakit di tengah-tengah warga Irak. Ketika tiba hari “H” dan jam “D”penyerbuan, hampir-hampir tidak ada perlawanan yang berarti dari pasukan Saddam. Akhirnya dengan mudah Irak pun diduduki oleh Barat. Inilah salah satu ujud shock and awe yang relatif berhasil. Contoh lain ialah Perang Gaza (2008-2009). Tanggal 27 Desember 2008 awal Gaza porak-poranda, karena tatkala operasi militer bersandi Cast Lead digelar oleh Israel, bangsa Palestina sebenarnya sudah dalam keadaan lemah. Betapa lemahnya Palestina, selain disebabkan oleh konflik internal (Hamas versus Fatah) berkepanjangan, juga akibat blokade ekonomi Rezim Zionis yang sudah berjalan sekitar 18 bulan di Gaza. Maka di awal-awal operasi, tentara Israel terlihat berjaya atas Hamas. Muncul fenomena menarik. Menginjak hari ke-10 (7/1/2009), tiba-tiba ada beberapa kota Israel ganti diserbu roket-roket entah darimana. Luar biasa! Mesir, Syria dan Lebanon pun dituduh membantu Hamas, dkk tetapi tidak terbukti. Bermingu sudah, berhari-hari lamanya. Dan ribuan pasukan Israel tewas bersimbah darah. Tak sedikit tentara gila. Asrama, gudang logistik, pusat komando, infrastruktur (lapangan terbang), pabrik dan ratusan peralatan militer terutama tank (helikopter, steel dst) babak-belur diterjang peluru entah siapa punya. Tiga kapal perang karam. Tiga jenderal Israel luka-luka (14/1/2009). Ada beberapa fakta tidak nyambung (rancu) terkuak. Israel mengaku menang perang, tetapi kenapa ia meminta gencatan senjata? Aneh. Lalu, memohon back up kepada "sobat-sobat"-nya berdalih mengawasi supply senjata ke Hamas. Uni Eropa (Inggris, Perancis dan Jerman) pun berjanji mengirimkan kapal perang di perairan Mediterania. Soal gencatan, awalnya Hamas menolak tetapi akhirnya mengumumkan hal yang sama/gencatan senjata (19/1/2009). Namun luncuran roket dan rentetan senjata terus menggema. Gencatan tidak memiliki makna apa-apa. Mereka lupa siapa yang gencatan, siapa pula angkat senjata (Baca: Pesta Kabaret di Gaza di www.theglobal-review.com). Merujuk paragraf di atas, penulis hanya ingin mengabarkan kegagalan shock and awe-nya Israel, dan kenyataannya memang berakibat pula terhadap kegagalan Cast Lead-nya Zionis di Jalur Gaza. Luar biasa. Tentara profesional Israel dikalahkan oleh Hamas yang sekelas “ormas” di Indonesia. Dengan demikian, metode “gertakan” di awal peperangan tak selamanya mampu membuahkan keberhasilan. Tambahan catatan disini, bahwa shock and awe tidak mutlak harus blokade (ekonomi), atau embargo peralatan yang pernah diterapkan oleh AS terhadap Indonesia dalam hal suku cadang F-16, akan tetapi ia juga sering berupa “perang kata-kata”, atau tindakan coba-coba, dll. Intinya meningkatkan aura perang, sebagaimana pernah terjadi ketegangan politik di Selat Hormuz (2012) antara Iran melawan AS kemarin (Baca: Perang di Selat Hormuz: Kegagalan yang Direncanakan, www.theglobal-review.com). Jujur saja, khusus soal Iran, shock and awe Barat selama ini, baik embargo ekonomi maupun perang kata-kata, bukannya membuat Iran melemah ataupun ketakutan, justru sebaliknya, ia malah berani, independen, banyak mengalami kemajuan di berbagai bidang dan Negeri Para Mullah kini pun disegani baik kawan maupun lawan di dunia internasional. Ketika menengok goro-goro di Laut Cina, sekali lagi, pertanyaannya ialah: apakah penetapan ADIZ di Kep Diaoyu, Laut Cina Timur, ataupun insiden kecil di Laut Cina Selatan, tanggal 5 Desember 2013 lalu merupakan kemasan lain shock and awe oleh kedua negara yang memang “gatal” ingin segera berlaga? Lautan (Asia) Pasifik: “Kawasan Masa Depan” bagi Amerika Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times, menyatakan: “politik praktis itu bukan yang tersurat melainkan apa yang tersirat”. Tatkala Obama, terutama Leon Panetta ---sewaktu masih Menhan AS--- mengatakan akan menggeser 60% armada angkatan lautnya ke Asia Pasifik hingga tahun 2020, maka yang mereka maksud ialah (rencana) penguasaan Lautan Pasifik. Tak bisa tidak. Itulah wilayah perairan seluas sepertiga bumi (179,7 juta km) atau 69,4 juta mil dengan panjang 15.500 km (9.600 mi), terdiri atas 25.000-an kepulauan yang majoritas terletak di selatan khatulistiwa. Ia membentang di antara Laut Sulawesi, Laut Korea, LAUT CINA TIMUR, Laut Jepun, LAUT CINA SELATAN, Laut Sulu, Laut Tasman, Laut Kuning, dan lain-lain. Dalam hal ini, Selat Malaka hanya merupakan celah menuju Lautan Hindia di sebelah barat, sedang Selat Magellan adalah akses penghubung antara Lautan Pasifik dan Lautan Atlantik di sebelah timur. Inilah mapping umum daripada Lautan Pasifik. Selanjutnya kenapa Paman Sam mengalihkan mayoritas armada laut ke Pasifik, terbukti bagian strategi barunya di Asia, selain upaya "steady, deliberate" dalam rangka meningkatkan peran di suatu wilayah yang dianggap penting untuk masa depannya. Pada perkembangan selanjutnya, semakin tampak, bahwa Asia Pasifik memang dinilai sebagai “kawasan masa depan” bagi Paman Sam. Entah kenapa, besar kemungkinan karena faktor geopolitik. Selanjutnya membahas geopolitik Asia Pasifik dan Timur Jauh, tidak boleh lepas dari tiga paradigma politik luar negeri yang berkembang. Pertama, Asia Pasifik dan Jepang. Kedua, Asia Pasifik dan Cina. Dan ketiga, Asia Pasifik dan AS. Lalu, dimana Rusia berada? Mari keluar sejenak namun masih koridor (topik) Asia Pasifik. Alasan Rusia menggelar KTT APEC di Vladivostok (2012), sesungguhnya merupakan strategi Beruang Merah membangun kembali kesadaran tradisi terhadap Asia Pasifik, terutama semenjak diterbitkan “Vladivostok Consensus”-nya Gorbachev dekade 1986-an dulu. Kenapa dipilih Vladivostok, selain karena geostrategi pada pintu masuk ke Asia Pasifik melalui lautan, Vladivostok itu sendiri, dalam bahasa Rusia artinya "menguasai timur", sama seperti nama Vladikavkaz di daerah pengunungan Kaukasus, yang berarti "menguasai Kaukasus". Tak boleh dielak, ini daerah memang digadang-gadang para pengambil kebijakan sebagai calon ibukota Rusia di Timur Jauh. Ibukota Rusia ada di Moskow, tetapi pusat kekuasaan Rusia kuno sebenarnya di Ukraina dimana St Petersburg sebagai ibukota. Namun kelak, ibukota ekonomi terletak di Vladivostok. Itu sebabnya, mengapa momentum sebagai tuan rumah KTT APEC 2012 begitu diidam-idamankan para petinggi Rusia, karena pagelaran tersebut dianggap batu loncatan guna meraih hegemoni di bidang ekonomi dan perdagangan. Kembali ke topik awal. Demikian pula agaknya di jalur pelayaran pada alur perairan Cina. Apabila Asia Pasifik diibaratkan sebuah rumah, maka Laut Cina Timur sebagai beranda depan ---semacam pintu masuk--- menuju Samudera Pasifik, sedangkan Laut Cina Selatan merupakan bagian ‘dalam’ (isi) rumah. Retorikanya: bukankah membuka pintu bisa dimaknai bakalan masuk ke dalam rumah sebagai tujuan? Ini penafsiran lain terkait penyikapan atas panasnya hubungan antara Jepang versus Negeri Tirai Bambu yang dipicu penetapan ADIZ-nya Cina di Senkaku/Diaoyu. Meliuk lagi. Masih ingat doktrin Alfred Mahan? Dogma pakar kelautan AS tadi masih sangat disakralkan sampai sekarang oleh angkatan laut Paman Sam. Ini kredonya: “Barangsiapa menguasai Lautan Hindia maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”. Jujur harus diakui, bahwa implementasi doktrin tersebut telah optimal diterapkan oleh militer AS di kawasan tersebut. Adanya pangkalan militer AS terbesar Diego Garcia, di Kep Chargos; atau pangkalan milter di Pulau Socotra, pintu masuk ke Laut Merah; berdirinya USAFRICOM; atau cengkramannya terhadap wilayah tak bertuan di Somalia, dll, hampir semua infrastruktur militernya berjajar dan melingkar pada jalur perairan menuju Lautan Hindia, termasuk akses masuk dari Laut Cina Selatan melalui Selat Malaka pun bercokol pangkalan militer Paman Sam, dan lainnya. Dalam hegemoni AS, menguasai perairan Cina (baik Laut Cina Timur maupun Cina Selatan), identik dengan menguasai dua jalur perairan strategis dunia yaitu Lautan Hindia dan Lautan Pasifik, karena akses penghubung kedua lautan tadi, yakni Selat Malaka pun telah bertengger pangkalan militer Amerika di Singapura, dan beberapa negara persemakmuran lainnya. Pointers Simpulan Menyudahi tulisan sederhana ini, sekaligus menjawab judul: “Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur?”, jawabannya singkat: “sangat mungkin sekali”. Ada beberapa pointers yang barangkali bisa dijadikan pertimbangan awal dalam membaca konstalasi geopolitik global kedepan. Inilah butirannya: Pertama, kendati ada beberapa faktor penyebab mengapa geopolitical shift berubah dari Jalur Sutera menuju Asia Pasifik, bahwa Asia Pasifik memang dinilai sebagai “masa depan” Paman Sam, itulah alasan dan faktor utama; Kedua, dalam hegemoni AS, entah Laut Cina Timur atau Laut Cina Selatan, itu sama saja ---satu tarikan nafas--- oleh karena tujuan pokok pergeseran geopolitik ialah melenggangkan cengkraman armada lautnya di perairan Cina hingga ke Lautan Hindia melalui pintu Selat Malaka; Ketiga, jika Laut Cina Timur dijadikan titik proxy war, bagi AS, peristiwa tersebut seperti mengulang modus “utang dibayar bom” yang pernah ia terapkan di Libya, karena pada titik dimaksud niscaya bakal berhadapan Cina versus Jepang, dimana kedua negara justru pemegang surat utang terbesar milik Paman Sam; Keempat, selaras dengan tiga paradigma luar negeri di muka, maka menghancurkan Cina dan Jepang dengan modus adu domba di Laut Cina Timur, adalah cara yang paling jitu agar Paman Sam melenggang sendirian di Asia Pasifik; Kelima, seirama dengan PNAC-nya Pentagon pada prolog catatan ini, bahwa mengendalikan jalur pelayaran di sepanjang Laut Cina, selain identik membendung gerak laju Cina, juga menguasai geopolitiknya. Artinya, selain menjadi pengendali jalur pelayaran, sekaligus mencaplok SDA di wilayah tersebut. Dengan demikian, asumsi geopolitical shift dari Jalur Sutera ke Asia Pasifik, terutama di Laut Cina (Timur dan Selatan) ialah keniscayaan yang tak terelakkan. Wait and see! Bacaan dan link: - The Global Review, Merobek Jalur Sutera Menerkam Asia Tenggara, The Journal of International Studies, Januari 2013 – - The Global Review, Rusia, Indonesia dan G-20, The Journal of International Studies, Mei 2013 – - Washington’s “Asian Pivot” and China’s Air Defense Identification Zone (ADIZ). US-China Power Play in the South China Sea, http://www.globalresearch.ca/washingtons-asian-pivot-and-chinas-air-defense-identification-zone-us-china-power-play-in-the-south-china-sea/5362329 - Sengketa nama Laut Cina Selatan atas Kepulauan Spartly dan Paracel ungkap konflik yang lebih dalam, http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/09/13/name-the-sea - China dan Jepang memperuncing konflik Kepulauan Senkaku http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2013/08/23/senkaku-conflict-continues - Memanasnya Eskalasi Konflik Perebutan Senkaku/Diaoyu, http://mikeportal.blogspot.com/2013/02/memanasnya-eskalasi-konflik-perebutan-senkaku-diaoyu.html - China dan Jepang memperuncing konflik Kepulauan Senkaku, http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2013/08/23/senkaku-conflict-continues - Perimbangan kekuatan militer dalam konflik senkaku/diaoyu cina-jepang (posisi amerika serikat sebagai balance of power), http://saritristiana.blogspot.com/2012/12/perimbangan-kekuatan-militer-dalam.html - http://zh-tw.ebookcn.com/book/134495, http://www.hawaii.edu/aplpj/articles/APLPJ_01.2_heflin.pdf - http://english.people.com.cn/200305/25/eng20030525_117192.shtml, - Samudra Pasifik, http://id.wikipedia.org/wiki/Samudra_Pasifik - Laut Cina Timur, http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_China_Timur - Laut Cina Selatan, http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_China_Selatan - Perang Pasifik, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Asia_Timur_Raya - Perang Cina – Jepang Pertama, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Cina-Jepang_Pertama -Perang Cina - Jepang Kedua, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Cina-Jepang_Kedua - Lautan Pasifik, http://ms.wikipedia.org/wiki/Lautan_Pasifik - http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/06/02/m4z1gu-wah-as-pindahkan-armada-angkatan-laut-ke-pasifik - Vladivostok, http://id.wikipedia.org/wiki/Vladivostok Tulisan ini pernah diterbit secara berseri di www.theglobal-future.com pada 17 Desember 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H