Mohon tunggu...
M Arief Pranoto
M Arief Pranoto Mohon Tunggu... lainnya -

nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, digdaya tanpa aji

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mitos Nyai Loro Kidul: Pola Kolonisasi Kaburkan Sejarah Nusantara!

31 Oktober 2013   13:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:47 1719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akan tetapi ombak besar tidak pernah membawa Biding Laut ke tanah kelahiran. Selama beberapa hari terombang-ombang di pantai barat Sumatera. Entah sudah berapa kali ia pingsan akibat kelaparan serta terpaan hawa panas dan dingin udara. Penderitaan berakhir ketika perahunya terdampar di Tanah Jawa, sekitar daerah Banten. Seorang nelayan melihat, lalu menolong Biding Laut. Di rumah nelayan tadi, Biding memperoleh perawatan. Ia merasa bahagia berada di tengah-tengah keluarga baru. Dalam sekejap, keberadaannya telah menjadi buah bibir masyarakat sekeliling, terutama selain keramahan juga karena pesona kecantikannya.

Syahdan. Suatu ketika kampung nelayan tersebut kedatangan seorang raja dari Jawa Timur. Agaknya sang Raja tertarik akan pesona Biding Laut, lalu raja pun meminang dan memboyongnya ke Jawa Timur.

Biding Laut hidup berbahagia bersama suami. Tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, sebab muncul intrik di istana yang menuduh Biding berselingkuh dengan pegawai kerajaan. Hukum kerajaan pun diterapkan, ia harus dihukum mati. Keadaan ini menimbulkan kegalauan Raja. Ia tidak ingin isteri yang sangat dicintainya dihukum mati, raja lalu mengatur rencana untuk mengirim kembali Biding Laut ke Banten melalui lautan. Maka dengan menggunakan perahu, Biding dan beberapa pengawal raja berangkat menuju Banten. Mereka menyusuri Samudera Hindia atau yang dikenal dengan Laut Selatan.

Namun sungguh malang nasib mereka, dalam perjalanan perahunya tenggelam diterjang gelombang besar, dan Biding beserta pengawalnya tenggelam di dasar Laut Selatan. Itulah sekelumit legenda perihal asal muasal Nyai Loro Kidul di Batak. Apakah masih ada versi lainnya? Silahkan diurai sendiri.

Retorikanya sekarang: warga kini mempercayai keberadaan Nyai Loro Kidul yang mana; Nyai yang dari Batak; dari Sunda; Nyai Jawa; atau Nawang Wulan, bidadari yang turun ke bumi? Retorika memang tidak membutuhkan jawaban. Namun ditemui beberapa fakta menarik, bahwa manajemen hotel di sepanjang pantai selatan Jawa dan Bali hampir semua menyediakan ruang serta kamar khusus bagi Ratu Pantai Selatan. Luar biasa!

Betapa kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach sangat terkenal. Oleh karena kamar 327 merupakan satu-satunya ruangan yang tak tersentuh api tatkala terjadi kebakaran besar Januari 1993-an. Sehingga pasca renovasi, kamar 327 dan 2401 terus dirawat, diberi hiasan warna-warna hijau, diberi suguhan (sesaji) setiap hari, tetapi tak boleh dihuni oleh siapapun karena dipersembahkan untuk Nyai Loro Kidul. Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu pun demikian. Kamar 308 sengaja dikosongkan buat si Nyai. Di dalam ruangan dipajang beberapa lukisan Kanjeng Ratu Kidul karya Basoeki Abdullah. Di Yogyakarta juga ada. Hotel Queen of The South, dekat Parangtritis mereservasi kamar 33 buat Ratu Pantai Selatan.

Sekali lagi, retorika yang kembali muncul ialah: kepada siapa kamar-kamar tersebut akan dipersembahkan; apakah untuk Nyai Loro Kidul jelmaan Dewi Nawang Wulan; atau buat Nyai yang titisan putri Pajajaran; atau reinkarnasi Biding Laut; atau barangkali dipersiapkan bagi Nyai ---istri spiritual para raja--- di Tanah Jawa?

“Jangankan hanya legenda atau mitos, bahkan sejarah pun selayaknya tak sekedar dibaca dan ditelan bulat-bulat, tetapi mutlak harus dikritisi, dianalisa, dan jika perlu dibuat sejarah baru yang masuk akal bila alur cerita sebelumnya ternyata bagian dari muslihat kaum kolonial”. Inilah premis atau titik awal yang menguat sebelum melanjutkan catatan sederhana ini.

Sekurang-kurangnya ada beberapa rujukan yang mendukung premis di atas. Pertama, statement Juri Lina, penulis Swedia dalam buku "Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry" (2004). Ia berasumsi, bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri. Antara lain: (1) kaburkan sejarahnya, (2) hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya, (3) putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.

Tak kurang, pointers diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta (17/1/2013), pimpinan Hendrajit, cenderung menebalkan asumsi Lina. GFI mensinyalir, terdapat pola yang berulang dalam setiap kolonisasi yakni “pengaburan atau pembengkokan sejarah leluhur di negara koloni (terjajah)”. Itu skema besarnya.

Adapun langkah pengaburan sejarah bangsa menurut GFI, melalui beberapa tahapan antara lain: pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menyaksikan bukti-bukti kejayaan nenek moyangnya, otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah; kedua, diputus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa leluhurnya itu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain; ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun