Mohon tunggu...
M Arief Pranoto
M Arief Pranoto Mohon Tunggu... lainnya -

nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, digdaya tanpa aji

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mitos Nyai Loro Kidul: Pola Kolonisasi Kaburkan Sejarah Nusantara!

31 Oktober 2013   13:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:47 1719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa tak kenal tokoh Ratu Pantai Selatan, atau Kanjeng Ratu Kidul, atau populer disebut Nyai Loro Kidul? Jangankan orang Jawa dan Sunda, bahkan suku Batak pun tampaknya mempercayai. Ia ditengarai sebagai penguasa lautan serta memiliki kekuatan mistik guna mengendalikan perairan di selatan Pulau Jawa (Samudra Hindia). Gambaran Ratu Kidul ialah sosok perempuan cantik, rambutnya panjang terurai, berpakaian dominan warna hijau ala wanita Jawa, ada mahkota di kepala sebagai tanda bahwa dia seorang raja/ratu pada sebuah kerajaan entah dimana.

Sejak kapan gaung klenik itu timbul lalu berkembang, belum dijumpai literatur secara pasti. Maka lazimnya legenda, kendati masih antara iya dan tidak ---hukumnya sunah--- boleh percaya boleh tidak. Namun sebagian besar warga, terutama yang hidup di sepanjang pantai selatan Jawa sangat mempercayai bahwa “barang” itu seolah-olah ada, seakan-akan nyata dan “hidup” di dalam benak masyarakat meski beragam versi.

Gaung di Mataram (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) misalnya, justru mensinyalir Nyai Loro Kidul adalah "istri spiritual" para raja kedua kraton dimaksud. Ketika acara “sedekah laut” digelar saat-saat tertentu di Pantai Parangkusuma, Bantul dan di Pantai Paranggupita, Wonogiri, selalu dikaitkan sebagai persembahan kepada si Nyai. Entah benar atau rumor belaka, panggung Sanggabuwana di Kraton Solo pun konon merupakan tempat pertemuan antara Sunan dengan Kanjeng Ratu.

Manakala lebih dalam lagi menelusuri legenda ini, Ratu Pantai Selatan itu sebenarnya terdiri atas dua orang. Pertama adalah Kanjeng Ratu Kidul itu sendiri, yang kedua merupakan pembantu setia Kanjeng yang bernama Nyai Lara (dibaca: Loro) Kidul. Konon si pembantu ini menyukai warna hijau dan kerap “mengambil” satu atau beberapa orang yang memakai atribut hijau sewaktu mereka berada di pantai untuk dijadikan pelayan atau pasukannya. Oleh karena itu, beredar himbauan kepada para pengunjung pantai di selatan Pulau Jawa, bila tidak ingin menjadi “korban” agar menghindari mengenakan pakaian hijau.

Legenda di Sunda ternyata berbeda dengan Jawa, bahwa Ratu Kidul versi Sunda malah diyakini sebagai titisan putri Pajajaran yang diusir keluarganya karena menderita penyakit yang membuat malu keluarga lainnya, karena putus asa ia pun bunuh diri di laut selatan. Akan tetapi, dalam kepercayaan Jawa, tokoh ini dianggap bukan Ratu Laut Selatan yang asli, melainkan Nyai Loro Kidul, pembantu setianya. Hal ini berdasar kepercayaan bahwa usia Ratu Kidul jauh lebih tua dan telah menguasai laut selatan jauh sebelum sejarah Pajajaran berdiri.

Versi lainnya, konon Panembahan Senopati adalah raja pertama yang menyunting Nyai Loro Kidul. Berbasis kepercayaan ini, diciptakanlah Tari Bedaya Ketawang oleh kraton Kasunanan Surakarta (era Sunan Pakubuwana I) sebagai penghormatan terhadap Kanjeng Ratu. Maka di setiap pagelaran tari tersebut, di sebelah (disamping) singgasana Sunan selalu disediakan kursi kosong. Entah kenapa. Konon kursi itu diperuntukkan bagi “istri”-nya ---tak kasat mata--- yang ikut menikmati sendratari di Kraton. Fenomena ini menimbulkan asumsi pengamat sejarah, bahwa keyakinan akan keberadaan Kanjeng Ratu Kidul sengaja digelorakan guna melegitimasi dinasti Mataram dahulu, atau bahkan hingga kini? Entahlah.

Ada pula versi lain. Bahwa Nyai Loro Kidul adalah Dewi Nawang Wulan, bidadari yang turun ke bumi serta pernah diperisteri Jaka Tarub. Semakin ragam saja cerita berkembang tentang si Nyai. Sebenarnya masih ada kisah-kisah lain yang tak secara spesifik menyebut asal muasal, kecuali ia merupakan puteri raja di Jawa, demikian seterusnya.

Lain legenda yang berkembang dalam masyarakat Jawa dan Sunda, lain pula mitos di Batak. Ada sinyalemen bahwa Kanjeng Ratu Kidul berasal dari Tanah Batak bukanlah tanpa alasan. Ini versi lain ceritanya.

Alkasih, perjalanan etnis Batak dimulai dari seorang raja yang memiliki dua putra. Putra sulung diberi nama Guru Tatea Bulan dan putra kedua diberi nama Raja Isumbaon. Putra sulungnya, Guru Tatea Bulan memiliki 11 anak (5 putera dan 6 puteri). Kelima putera bernama: Raja Uti, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Lau Raja. Sedangkan keenam puteri bernama: Biding Laut, Siboru Pareme, Paronnas, Nan Tinjo, Bulan dan Si Bunga Pandan.

Putri tertua yakni Biding Laut memiliki kecantikan melebihi adik-adik perempuan lainnya. Dia juga memiliki watak yang ramah lagi santun kepada orangtua. Karena itu, wajar bila Biding Laut menjadi anak yang paling disayang. Namun kedekatan orangtua terhadap Biding Laut menimbulkan kecemburuan saudara-saudaranya. Pada gilirannya mereka sepakat untuk menyingkirkan Biding Laut.

Singkat cerita, saudara-saudaranya Biding Laut yang terbakar oleh api iri dan dengki melalui berbagai siasat berhasil membawa Biding keluar, lalu meninggalkan sendirian di sebuah pulau saat ia tidur. Tetapi Biding tak berprasangka buruk kepada saudara-saudara yang hendak mencelakakan dirinya. Tanpa pikir panjang, setelah terbangun ia menaiki perahu kemudian mendayung menuju pantai Sibolga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun