Mohon tunggu...
MAPPI
MAPPI Mohon Tunggu... -

MASYARAKAT PEDULI PANGAN INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bulog di Tengah Perjudian Kebijakan Perberasan

17 Desember 2018   16:06 Diperbarui: 18 Desember 2018   11:35 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Buntut dihapuskannya program rastra akhirnya turut merombak sejumlah kebijakan perberasan.  Kebijakan yang selama ini sudah"on the track", pada tahun 2019 akan mengalami banyak ujian dan goncangan yang sangat signifikan. Banyak dampak yang akan dirasakan baik Negara dan Bulog akibat imbas perjudian ini. Oleh karena itulah, Negara harus pandai berhitung terkait untung rugi perubahan kebijakan perberasan.

Konsep kebijakan perberasan yang sudah dijalankan pemerintah selama puluhan tahun sebenarnya sudah sangat terintegrasi. Telah terjadi keseimbangan antara dua sisi yaitu hulu dan hilir. Dari sisi hulu, pemerintah sudah menugaskan BULOG untuk membeli gabah beras petani sesuai dengan harga yang telah diatur dalam Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sedangkan di sisi hilir, beras yang sudah diserapkan kemudian dibagikan kepada masyarakat miskin melalui program rastra.

Lalu pertanyaannya, dimana bedanya kebijakan perberasan yang sekarang? Tulisan ini akan mengupas dan membandingkan perbedaan dua kebijakan yang diambil pemerintah sekarang serta bagaimana dampak lanjutan kedepannya.

Kebijakan Hulu

Kebijakan dari sisi hulu dengan menerapkan satu harga sebenarnya sudah membuat keseimbangan harga gabah dan beras di tingkat petani. Dikarenakan tidak adanya perbedaan harga antar daerah, maka aliran pergerakan beras antar daerah menjadi kondusif dan tidak terlalu liar. Namun kebijakan pemerintah terbaru yang membebaskan BULOG membeli beras pada tingkat harga berapapun tanpa terikat HPP patutlah diwaspadai.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dan patut diwaspadai dari kebijakan baru tersebut adalah:

a. HPP selalu dijadikan patokan

Kita harus ingat bahwa harga pembelian pemerintah yang dalam hal ini BULOG, selalu dijadikan patokan bagi pengusaha perberasan untuk membeli gabah beras petani. Mereka akan mengintip dulu berapa harga yang mau dibeli BULOG, lantas selanjutnya mereka juga akan membeli diatas harga tersebut.

Karena logikanya, jika harga pembelian mereka dibawah HPP maka sudah pasti akan bersaing dengan BULOG. Tentu BULOG mampu membeli banyak, karena terkait dengan kecepatan pembayaran serta sarana dan prasarana.

Cuma masalahnya sekarang adalah jika terjadi persaingan atau perang harga di tingkat petani, maka mau tidak mau dan secara otomatis akan menaikkan harga jual di tingkat konsumen.

Hal inilah yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Yang jelas dampaknya akan sangat terasa terutama bagi masyarakat lapisan bawah yang diperkirakan mencapai 15 juta kepala keluarga. Dan perlu dicatat, bahwa petani kita kebanyakan adalah petani gurem dengan peguasaan luas lahan rata-rata 0,3 hektar. Dimana, setelah 2-3 bulan panen selesai maka akan berbalik menjadi konsumen beras.

b. Nasib penggilingan kecil

Ketika BULOG dibebaskan membeli, maka sudah dapat dipastikan yang mampu berkompetisi adalah penggilingan besar dengan modal besar. Bagi BULOG dan penggilingan padi besar soal pendanaan tidak terlalu masalah, sehingga berapapun harganya BULOG mampu membeli.

Namun yang harus dipikirkan pemerintah adalah nasib penggilingan padi kecil.  Apakah mereka sanggup berkompetisi dalam merebutkan gabah dan beras di tingkat petani? Lalu pertanyaan selanjutnya, apa yang akan terjadi jika mereka kesulitan membeli bahan baku?

Oleh karena itulah, pemerintah seharusnya memberikan porsi yang besar pada titik ini. Harus ada kebijakan turunan yang mampu membuat semua pihak tidak dirugikan akibat kebijakan baru yang diambil.

c. Stok BULOG penentu impor

Harus juga diingat, bahwa stok yang dikuasai BULOG pada akhir tahun menjadi penentu perlu tidaknya impor beras dilakukan. Ketika BULOG tidak diberi target dalam penyerapan maka hal ini juga menjadi semakin salah kaprah lagi. Jika stock beras yang dikuasai sangat sedikit maka kedepannya akan sangat sulit melakukan kegiatan stabilisasi harga.

Akibatnya justru akan sangat berbahaya karena beras akan menjadi pemicu inflasi kenaikan harga pangan lain bahkan komoditas lainnya. Dan hal ini sangat riskan terutama bagi perekonomian bangsa pada umumnya.

Seharusnya dalam hal ini, pemerintah tetap mentargetkan penyerapan BULOG minimal 10 persen dari jumlah produksi nasional. Hal ini berdasarkan pengalaman panjang selama puluhan tahun terakhir selama ini.

Kebijakan Hilir

Transformasi rastra menjadi BPNT, sudah membuat peta kebijakan perberasan mengalami pergeseran yang berujung pada "keanehan-keanehan" yang bisa kita lihat belakangan ini. Hal tersebut seakan luput dari perhatian dan seolah tak terjawab baik para ahli maupun pemerintah.

Hal aneh itu adalah "mengapa stock beras operasi pasar Bulog sedikit yang terserap oleh pasar maupun konsumen. Padahal Bulog mentargetkan 15.000 ton beras per hari, namun nyatanya hanya terserap 1.000-2000 ton beras saja. Dampaknya adalah harga beras tidak juga kunjung turun. Selain itu juga menjadi aneh tatkala stock Bulog sekarang hamper diatas 2 juta ton beras.

Semua ini sebenarnya terjadi akibat pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalau atau sejarah yang ada. Pemerintah sudah lupa filosofi operasi pasar beras yang sudah terbentuk selama ini.

Kebijakan hilir yang sudah diterapkan pemerintah selama ini sudah tepat dengan menjalankan program bantuan beras sejahtera (rastra) kepada rakyat miskin. Operasi pasar beras merupakan aplikasi dari teori ekonomi yang sudah baku selama ini. Dimana efektifitas operasi pasar beras dapat berhasil karena dilakukan melalui dua sisi kurva, yaitu sisi penawaran dan sisi permintaan.

a. Sisi Permintaan

Sisi permintaan diintervensi dengan menyalurkan rastra sebanyak 15 kg/bulan/rumah tangga sasaran (RTS) selama 12 bulan. Jumlah penerima sebanyak 15,8 juta kepala rumah tangga dan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Dapat dibayangkan andaikan satu rumah tangga dihuni oleh 4 orang, maka dengan kata lain pemerintah sudah meredam kebutuhan beras sekitar 60 juta orang atau seperempat jumlah penduduk Indonesia. 

Walaupun katakanlah persediaan beras mereka masih ada, namun karena rastra merupakan jatah atau hak mereka, mau tidak mau mereka harus menerima. Dampaknya sudah pasti akan sangat terasa dalam meredam pergolakan kenaikan harga beras.

b. Sisi Penawaran

Pada sisi ini pemerintah mengintervensi pasar dengan apa yang sedang diakukan oleh Bulog sekarang yaitu operas pasar beras murni (OPM). Beras operasi pasar (OP) ditawarkan kepada pedagang beras dan masyarakat umum. Tujuan OP adalah untuk menjangkau masyarakat umum yang tidak mendapat jatah dalam program rastra.

Sehingga keberhasilan kegiatan OP ini dapat ditentukan oleh banyak factor yang antara lain: kualitas beras dan harga beras. Kualitas beras yang baik apalagi sesuai dengan selera konsumen akan menjadi daya tarik mereka memeutuskan untuk membeli. Apalagi jika harga beras yang dijual memiliki selisih harga yang jauh lebih murah dengan harga beras di pasaran.

Namun juga yang terjadi sebaliknya, jika beras OP memiliki kualitas beras yang tidak sesuai dengan selera serta ditambah harga yang tidak jauh beda dengan harga pasar maka faktor inilah menjadi pemicu utama dari kurangnya serapan beras OP bulog oleh kumsumen dan pedagang dipasaran.

Oleh karena itu, harus digaris bawahi bahwa keberhasilan OP beras selama ini dalam menurunkan harga beras di pasaran, karena ditunjang dengan program rastra. Operasi pasar beras selama ini selalu didahului dengan penyaluran rastra. Kombinasi dari dua sisi inilah sejatinya yang sangat signifikan dalam menurunkan harga beras.

Namun jika hanya operasi pasar beras saja yang dilakukan tanpa adanya program rastra, maka harga sulit turun dan bisa kita saksikan serta rasakan seperti yang terjadi sekarang.

Kebijakan hilir sekarang

Pemerintah sepertinya kurang banyak belajar, dari pengalaman yang sudah ada. Buktinya sudah ada dan dirasakan bersama ketika harga beras stabil pada tahun 2017 (bahkan diklaim paling stabil selama sepeuluh tahun). Sekarang 2018, jumlah rastra sangat sedikit (1/5 dari jumlah rastra pada tahun 2017), sudah membuat harga semakin naik apalagi jika dihapuskan sama sekali.

Kebijakan perberasan sisi hilir sekarang sudah tidak tahu arahnya mau kemana. Dengan dijalankannya program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), maka pemerintah mengakui sendiri bahwa pada mekanisme ini harga beras tidak bisa dikontrol karena masyarakat sebanyak 15,8 juta KPM dibebaskan memilih jenis beras dan sesuai dengan harga pasar. Oleh karena itu jangan heran jika kenaikan harga beras sulit diredam walaupun beras renceng sudah digelontorkan.

Lalu kebijakan stock beras BULOG yang maksimal 4 bulan harus tersalurkan, juga sepertinya tidak masuk akal. Bagaimana andaikan stock tersebut dijual pada saat panen raya, tentu akan sulit terjual dan dampaknya justru berpotensi rusak serta ujung-ujungnya malah merugikan perusahaan.

Jika BULOG hanya mengandalkan operasi pasar murni saja, tentu hasilnya tidak akan jauh beda dengan yang sekarang. Dimana target 15 ribu ton per hari namun hanya terserap 1.000 ton saja. Dan pada akhirnya, target stabilisasi harga akan menjadi sulit tercapai.

Oleh sebab itulah ada dua jalan keluar yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi gejolak kenaikan harga beras. Pertama, mempercepat pembentukan badan pangan nasional. Badan ini akan berperan besar dalam mensinkronkan semua kebijakan perberasan yang ada. Baik itu sifatnya koordinasi maupun sinergi antar kementerian dan lembaga.

Kedua, memberikan captive market kepada BULOG. Jaminan pasar beras dalam jumlah besar bagi BULOG sangat banyak faedahnya terhadap kestabilan harga beras. Stabilnya harga beras ditingkat petani dan konsumen merupakan jaminan roda perekonomian pemerintah supaya tetap terus berputar.

Captive market bisa ditempuh pemerintah dengan dua pola yang sudah pernah dijalankan yaitu mewajibkan kembali Aparatur Sipil Negara (ASN) mengambil jatah berasnya kembali atau memberikan rastra kepada masyarakat kurang mmapu.

Tidak ada jalan lain, jika pemerintah tetap menginginkan terjadinya kestabilan harga beras baik ditingkat produsen maupun konsumen. Dengan demikian kebijakan perberasan akan berjalan mulus dan sesuai dengan yang telah dicita citakan dalam nawa cita.

*) Masyarakat Peduli Pangan Indonesia (MAPPI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun