TAK banyak informasi yang bisa didapatkan, tentang keberadaan makam tua yang ada di wilayah Gunung Tabur, Berau. Siapa saja yang melintasi alur sungai menuju muara, pastilah melihat makam tersebut. Asal muasalnya, hanya didapatkan informasi dari penuturan warga.
Saya juga termasuk orang yang baru pertama kali berkunjung ke lokasi makam tersebut. Â Padahal, setiap melintasi sungai Segah atau melewati kawasan Pasarakan (Pertemuan Sungai Segah dan Sungai Kelay), perhatian pasti tertuju ke makam tersebut.
Dari bentuk dan kompleks makam, dipastikan makam tua ini adalah makam warga Tionghoa. Kawasannya tidak terlalu luas, masih terawat dengan baik. Ada pendopo ytang dibangun. Â Dan, disalah satu tembok bertuliskan tanggal pembangunan kompleks tersebut, yakni 1 April 1973. Artinya, usia perbaikan kawasan sekitar 46 tahun silam.
Saya mencermati dua nisan dari makam yang ada. Sangat kesulitan membacanya. Saya yakin, bila bisa membacanya, akan ada informasi awal yang bisa saya dapatkan. Â Ada teman saya dari Surabaya, usianya sekitar 40 tahun. Ketika saya perlihatkan tulisan di nisan itu, langsung geleng-geleng kepala.
Termasuk pemilik warung kopi Hoky, juga saya tanyakan arti tulisan Cina di nisan makam, juga tidak tahu. Dan, beberapa lagi warga Tionghoa yang ada di warung kopi Hoky, Kemarin ()3/4), kompak menyebut tidak. Andai saja, tetangga saya biasa dipanggil Guru Pendek, masih hidup tidak sulit menterjemahkan. Â Beliau adalah guru bahasa Cina.
Tapi, ada dua makam yang bisa saya jadikan petunjuk. Â Yang satu makam atas nama Kam Bun Seng tertulis wafat 10 Desember 1902. Nisan yang satunya lagi, tertulis atas nama Liem Dan Tui wafat pada 20-Nopember-1901. Saya meraba-raba saja, karena posisinya berdampingan, mungkin makam tersebut suami isteri. Tanggal wafatnya selang setahun.
Melihat tahun wafatnya inilah, saya menyimpulkan kawasan makam ini sudah terbilang tua.  Sebab, bila dihitung sekarang usianya sekitar 118 Tahun. Tapi, siapakah pemilik makam tersebut.  Atau, siapapakah keluarga sepasang suami isteri yang dimakamkan disitu. Wafat dan dimakamkan seabad  silam. Lebih dari 4 makam.  Lainnya, hanya berupa nisa kayu, dan yang lainnya nisan terbuat dari batu dan belum bersemen.
Dan, mengapa memilih tempat itu untuk dimakamkan. Bisa jadi, atas seizin kesultanan Gunung Tabur, sebab kawasan itu masih masuk wilayah Gunung Tabur. Mengapa harus ditepi sungai ? tentu ada pertimbangan dan alasan yang jelas. Tapi, lagi-lagi, saya kekurangan informasi akan hal itu.
Ada ceritera, bahwa selain makam tersebut, kabarnya ada keluarga asal Belanda atau Perancis yang pernah menjelajah di Berau untuk mencari makam keluarganya. Sebab, dalam salah satu Novel diceriterakan lokasi kematiannya. Â Dan, itulah yang dijadikan petunjujuk. Akhirnya ditemukan dalam kawasan itu. Katanya dipinggir sungai, tapi saya cermati tak ada makam lainnya.
Sayangnya, makam Kam Bun Seng dan Liem Dan Tuij, tidak tertera tanggal lahirnya. Tapi, saya percaya bahwa ke dua makam tersebut, merupakan bagian dari sejarah pertama masuknya warga Tionghoa di Berau. Apakah datang sebagai pedagang atau datang karena alasan lainnya.
Waktu itu, pasti belum ada angkutan bermotor. Â Sebab, menurut Pak Oetomo Lianto (Pak Aliang) warga Tionghoa yang masuk ke Berau dulu hanya menggunakan perahu layar. Â Sebelum masuk ke Tanjung Redeb, mampir dulu di Pulau Balikukup, menyusuri Biduk Biduk dan masuk ke Tanjung Redeb. Mungkin saja Kam Bun Seng juga demikian, proses tibanya di Berau.
Walaupun saya kesulitan mencari kerabat ataupun keturunan dari makam yang ada ditepi sungai itu, makam ini bagian dari sejarah di Berau. Ketika beberapa tahun menetap di Berau,. Saya juga masih sempat melihat keluarga Tionghoa yang usianya lebih dari 100 tahun. Sudah di atas kursi roda, karena ukuran kaki yang kecil.
Setiap puncak perayaan Ceng Beng, kompleks makam ini juga menjadi salah satu kunjungan warga Tionghoa untuk melakukan sembahyang bagi para leluhur. Sementara saya juga terus mencari tahu, tentang kisah dari makam tersebut. Â Mungkin saja, pada saat puncak Ceng Beng nanti, ada anak ataupun cicit yang datang untuk sembahyang bagi leluhur di makam ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H