Mohon tunggu...
Mappa Sikra
Mappa Sikra Mohon Tunggu... Jurnalis - One Life, live it

pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nilai Seni Kesabaran Sang Pengukir

15 September 2020   22:39 Diperbarui: 15 September 2020   22:49 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SUDAH ada belasan tiang yang berdiri kokoh. Ketika tiang pertama didirikan, saya ikut menyaksikan. Disebuah tanah lapang berdekatan dengan hutan. Terpisah dari perkampungan. 

Ratusan warga dengan semangat yang sama, mendirikan tiang kayu ulin yang sudah diukir. Prosesi awal pembangunan balai adat Lepau Kenyah, kampung Tepian Buah, Kecamatan Segah, kabupaten Berau.

Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana megah dan besarnya balai adat yang dibangun itu. Ukurannya 58 m x 36 m. Rencananya akan  ada perhelatan akbar  akan dilaksanakan,  Mubes Dayak Kenyah Lepoq Jalan  dengan undangan yang ratusan bahkan ribuan orang.  Karenanya itu, balai adat ini dibangun bersama infrastruktur lain disekitarnya.

 Seperti bangunan lama yang masih terlihat di beberapa kampung (Lamin) yang masih tetap kokoh. Dengan bahan kayu ulin yang diameter besar untuk tiang utamanya dan beberapa tiang lainnya, diyakini balai adat yang dibangun kelak selain dinikmati generasi sekarang,  generasi berikutnya akan menikmatinya.

 Membangun rumah adat, sama dengan mengukirkan sejarah bagi generasi berikutnya. Ditempat ini pula, akan terus dipertahankan nilai luhur yang ada dan tumbuh dimasyarakat dayak Kenyah khususnya, yang tidak akan tergerus arus budaya yang masuk. Disadari, perlu monumen abadi yang dipersembahkan dalam bentuk balai adat.

 Dan, saya kembali lagi berkunjung ke lokasi itu, beberapa pekan setelahnya,  sudah ada belasan tiang pohon ulin utuh yang telah berdiri. Tegak dengan formasi teknologi tradisional dayak dalam membangun rumah adat mereka. Tiang itu tak lagi mulus seperti yang saya saksikan sebelumnya. Semua sudah berukir.

Suku dayak kenyah dan suku dayak umumnya, dikenal sebagai pemahat dan pembuat ukiran mempunyai nilai seni yang tinggi serta mengandung makna filosofis dalam kerajinan tangan termasuk ukiran. Setiap ukiran, menurut kepercayaan memiliki makna simbol tersendiri dan dipercayai ada roh pelindung.

Saya mencermati, tiang yang sudah dirikan dengan jarak yang sama. Ada aura dari setiap goresan ukiran hingga ke ujung paling atas tiang. Tak ada warna dipoleskan.  Semua memanfaatkan warna alami kayu ulin kecoklatan.

Tak jauh dari lokasi bangunan utama, ada dua orang asyik mengerjakan proses pengukiran kayu dari pohon ulin dalam posisi rebah. Dengan sabar mengerjakan motif dalam satu tiang itu. Saya berfikir, dua seniman itu orang hebat.

Bayangkan, dalam satu batang pohon ulin yang diketahui keras dan berserat, bisa diselesaikan hanya dalam tempo dua hari. Saya tidak berani mengganggu konsentrasi dua orang pengukir itu. Sebab, salah sedikit saja, motif dan simbol yang sedang dikerjakan bisa salah.

Mereka hanya mengatakan, setiap batang bisa diselesaikan selama dua hari, baik dengan motif yang sama maupun motif lainnya. Saat itu, mereka sedang mengerjakan 'tiang lima'.  Tidak banyak tahu arti 'tiang lima' yang dimaksud. Apakah di luar bangunan utama atau tiang yang akan ditempatkan dibagian depan atau samping bangunan utama.

Kalau hanya dikerjakan berdua, hari itu saya beruntung mendapat pelajaran yang sangat berharga. Bagaimana sebuah kesabaran yang diperlihatkan, dalam memahat dari bawah hingga ke ujung tiang. Sebab, saya percaya motif dari ukiran yang dibuat, menggambarkan pula bagaimana kehidupan keseharian mereka.

Apa yang tergambar dalam ukiran disetiap tiang, meberikan pelajaran betapa pentingnya kesadaran dalam hidup.  Utamanya penghargaan pada alam sekitar. Ukiran menjadi lambang identitas yang terpateri kuat pada suku dayak kenyah akan keahlian mereka dalam seni kriya, dimana motif, ukiran dan lukisan mewakili banyak makna filosofis dalam tradisi budayanya.

Irama pukulan palu pada ujung pahat, terdengar merdu berirama. Menjelang senja, wibawa tiang berukir yang sudah tegak berdiri, semakin nampak jelas. Rasanya saya tak ingin meninggalkan tempat itu. Berdiri dari kejauhan, sambil membayangkan megahnya bangunan itu kelak.

Dan, saya sangat beruntung.  Mendapat pelajaran, bagaimana kesabaran dua lelaki yang tinggal di Nyapa Indah, menyelesaikan tugas mulianya. Hanya dengan kesabaran yang kuat, mampu menciptakan nilai seni yang tinggi.

Kelak, saya juga bisa berceritera, bahwa ketika balai adat itu dibangun saya menyaksikan bagaimana mendirikan tiang utamanya.  Bagaimana bersatunya warga dayak di kampung Tepian Buah,kecamatan Segah, dan bagaimana komunitas adat membangun balai yang akan dipersembahan bagi generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun