.
Semua ketakutan -dan perasaan negatif lainnya- itu berasal dari kemelekatan kita dengan hal-hal duniawi. Engkau merasa punya ini dan itu, dan merasa yakin bahwa identitasmu melekat pada status ini dan benda itu. Kemelekatan ini membuatmu takut kehilangan ini dan itu, dan kau yakin lenyapnya ini dan itu akan membuat engkau bukan lagi dirimu. Bila awalnya hanyalah kemelekatan dan rasa takut kehilangan, selanjutnya semua ini berkembang menjadi rasa takut pada perubahan dan transformasi... (Betapa malangnya dunia ini ketika kemelekatan membuat seseorang merasa takut pada perubahan ! Karena dampak dari keputusan-keputusan yang dibuat penganut Mediokriti ini begitu meluas, hingga menyentuh mereka yang tak tahu apa-apa !)
Engkau mungkin berkata : “Ah, aku adalah penempuh jalan Tuhan. Aku menuntut ilmu dan melakukan kebaikan sepanjang hidupku, serta memperoleh hikmah dari seluruh upayaku.” Berhati-hatilah pada bisikan semacam ini, karena pencuri manapun selalu tertarik pada rumah yang dipenuhi kekayaan. Dan ketertarikannya semakin besar, ketika berbagai bentuk kebajikan surgawi itu menurun derajatnya menjadi duniawi, gara-gara engkau sibuk melekatkan semua itu sebagai bagian dari identitas keakuanmu. Tentu saja mereka tidak akan mencuri amal, ilmu dan hikmah yang kau peroleh; mana ada yang bisa mencuri pemahaman yang telah berjejak dalam batinmu ? Yang bisa dicuri oleh pencuri itu adalah sebuah kekayaan luar-biasa bernama “rasa aman berada di dalam Tuhan”. Rasa aman ini tercuri, saat engkau terlalu sibuk menjaga kemelekatan antara semua amal dan pemahaman yang kau peroleh dengan struktur identitas yang -kau kira- menentukan siapa dirimu. Padahal rasa aman yang hilang adalah dunia remang-remang, dan kau tahu siapa yang akan muncul ketika menemukan kesempatan untuk memainkan bayang-bayang kecemasanmu ! [caption id="attachment_198598" align="aligncenter" width="240" caption="TARRRAAAAA ! (untuk keterangan lebih lanjut : gerakkan kursor pada gambarku ya !)"]
[/caption]
... ... ... Karena itu, mari kita belajar pada (atau menjadi) ulama tersembunyi. Dia mungkin 'tak terlihat' olehmu, karena penampilan lahiriah itu tidak terlalu penting baginya. Selama ini dia begitu sibuk mengenyahkan -dan mendisiplinkan- setan-setan kecil yang mencemari hatinya, seakan meneladani Nabi Muhammad yang pernah mengenyahkan berhala-berhala dari dalam Ka’bah. Dia tahu, hati manusia diciptakan untuk menjadi semacam Ka’bah atau rumah Tuhan, sebagaimana Tuhan berkata :
“Tak satupun dari Surga maupun dunia ini yang mampu mewadahiKu. Namun hati lembut seorang hamba yang beriman mampu mewadahiKu” ****). Dan hamba yang kukisahkan ini rela berlelah-lelah mendisiplinkan nafsunya, karena tidaklah patut membiarkan rumah Tuhan yang dipercayakan kepadanya itu menjadi tempat yang kumuh, keruh, hingga menjadi arena keisengan para setan untuk membuat permainan bayangan !
Dia memang bersembunyi, karena tak ingin memberi kesempatan pada setan-setan kecilnya untuk membanggakan diri. Dia melatih dirinya untuk merasa tak punya apa-apa, tapi anehnya dia merasa kaya karenanya ! Engkau mungkin memergoki raganya sembahyang sekali-sekali, tetapi sesungguhnya hatinya sembahyang setiap saat. Namun tahukah engkau apa artinya hati yang melakukan sembahyang setiap saat ? Yaitu hati yang mampu memimpin setan-setan kecil yang pernah bermain-main di dalamnya, untuk bersama-sama menyerahkan diri pada kepemimpinan Tuhannya. Tak ada yang benar-benar tahu kapan dia melakukan perjuangan internalnya ini, karena ini merupakan rahasia terdalam antara seorang hamba dengan Tuhannya. Namun engkau selalu bisa mengenali jejak “Satrio Piningit’ ini, karena :
Barang siapa mampu menaklukkan setan-setan kecilnya, ia bisa menaklukkan setan-setan manapun.
Barang siapa tahu cara membuka hatinya sendiri, ia pasti tahu cara menyentuh hati orang lain.
Barang siapa mengenali dimensi batinnya sendiri, ia pasti memahami lekuk-liku batin orang lain.
Dan kau akan menyadari semua pertanda kearifan, kekhalifahan, juga jejak perjuangan dalam diri mereka, jika engkau sendiri seorang pejuang yang tak pernah berhenti mendisiplinkan diri. [*] .
.
*) Dalam versi lainnya, Muslim dijabarkan sebagai 'berserah diri'. (Kisah ini dikutip dari Sheikh Ragip, nama Muslim dari Robert Frager) **) Salah satunya adalah Emha Ainun Najib. ***) Metafor ini dikisahkan oleh Sheikh Tosun Bayrak, dan dikutip dari Sheikh Ragip (Robert Frager). ****) Dari Al Gazali, kitab Ihya Ulumuddin. *****) Semua sumber gambar tertera pada gambar, kecuali dua disain kaligrafi, yaitu : graphics.elysiumgates.com ******) Gerakkan kursor Anda di gambar. Barangkali Anda beruntung ^_^. Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Pendidikan Selengkapnya