Mohon tunggu...
Tuty Yosenda
Tuty Yosenda Mohon Tunggu... profesional -

hanya perempuan kebanyakan dengan cita-cita 'kebanyakan' ;-) , yaitu jadi penonton, pemain, penutur, wasit, sekaligus ... penghibur. (^_^) \r\n\r\nblog personal saya adalah yosendascope.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Demi Waktu

24 Januari 2012   16:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:29 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebutkan kata berharga, mudah dipertukarkan, dan amat terbatas dalam sebuah iklan. Boleh jadi orang-orang akan berbaris dalam antrian, dan panitia penyelenggaranya mungkin memerlukan petugas kesehatan untuk berjaga-jaga. Lalu tambahkan kata diskon, obral, atau gratis. Maka antrian tersebut akan panjang mengular, bahkan diwarnai aksi dorong-mendorong dan jerit-tangis. Inilah saatnya panitia memerlukan sejumlah dokter, klinik darurat, bahkan ... kantong mayat. Namun anehnya, ketika setiap orang memiliki sesuatu tanpa perlu mengantri, kebanyakan mereka tidak melihatnya sebagai sesuatu yang bernilai. Buktinya?  Lihatlah bagaimana selama ini kekayaan sangat mahal bernama  w.a.k.t.u  itu dihambur-hamburkan, disia-siakan, bahkan ... dibunuh! Padahal ... benarkah waktu yang kita sepelekan itu didapat tanpa susah-payah mengantri?

*

"Waktu itu gratis, padahal tak ternilai.

Ia tak bisa dikoleksi, tapi bisa digunakan.

Ia tak mungkin dimiliki, tapi boleh dibelanjakan.

Namun ketika ia berlalu, kita tak bisa mendapatkannya kembali",

demikian kata Harvey MacKay, seorang kolumnis.  Sebuah pandangan yang kuat, kecuali pada bagian ‘gratis’ tersebut.

Ya, kita memang menerima sebuah kemurahan yang tak terbilang, hingga istilah gratis pun -bisa jadi- mengandung kebenaran. Tapi sesungguhnya, proses perjuangan -yang jauh lebih berat dari sekedar mengantri-  itu telah kita jalani sebelumnya. Kita pernah terlibat dalam sebuah kompetisi mematikan dengan ratusan juta benih saudara-saudara seayah, ‘hanya’ demi memenangkan sebutir sel telur ibunda. Dan kemenangan itu adalah demi sebuah kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan. Tepatnya:  D.e.m.i  W.a.k.t.u .

*

WAKTUMU HABIS !

*

Pertanyaannya: Untuk apakah semua jerih-payah itu?  Di manakah pentingnya waktu? Betapa banyak orang menggunakan waktu untuk ‘membayar’ berbagai hal yang difavoritkan seperti kekayaan, jabatan, popularitas, bahkan pengetahuan dan prestasi. Mengapa tidak? Kebebasan adalah milik kita, jadi mari kita 'beli' berbagai 'barang belanjaan' yang kita inginkan. Lebih-lebih hidup ini bagaikan sebuah bazaar, dan tiap-tiap diri memiliki jatah kupon waktu sebagai alat pembayarannya (meski kita tak pernah bisa mengetahui batas akhirnya).

Namun alangkah bagusnya kalau dalam bazaar itu juga disediakan tas belanjaan untuk kita bawa serta. Dan alangkah sempurnanya jika kupon waktu tersebut dirancang untuk menjadi hak milik, bukan sekedar hak pakai. Sayangnya, bazaar ini tidak melayani hasrat kepemilikan semacam itu. Bazaar ini diselenggarakan untuk menilai apakah waktu kita telah dibelanjakan sedemikian rupa, sehingga kelak di penghujung hari kita bisa berkata dengan puas: "Yes, we have a great time." (Perhatikan kata we (kami) dalam kalimat tersebut).
*

Kini mari kita periksa “great time” ini. Great time adalah pengakuan atas sebuah pengalaman berkesan yang tak terlupakan.  Kesan mendalam ini hanyalah mungkin terjadi saat tubuh, perasaan, pikiran dan seluruh indera kita bekerja-sama sedemikian rupa, hingga mencapai apa yang disebut para peneliti psikologi transpersonal sebagai “pengalaman puncak”. Jadi great time adalah istilah untuk menyatakan bahwa sebuah satuan waktu telah diberdayakan sedemikian rupa, hingga ia memasuki level yang lebih tinggi, yaitu pengalaman estetis atau keindahan (dari aesthesia: kemampuan mengalami melalui sense). Sebagai kebalikannya, ketika mekanisme tubuh, perasaan, pikiran dan seluruh indera tidak dipusatkan, tidak diberdayakan, bahkan kemampuan normalnya ‘dibunuh’, maka yang terjadi adalah kondisi anasthesia. Tak perlu psikotropika atau narkotika untuk membiuskan diri dalam pelarian dan halusinasi semacam ini.  Karena ketidakhadiran diri-utuh-kita dalam pengalaman menjalani waktu, atau penolakan terhadap alur waktu tertentu -misalnya kenangan yang tidak menyenangkan-, semua ini dapat dikatakan merupakan keadaan anasthesia atau kondisi yang tidak estetis.

*

Pengalaman 'keindahan' yang tidak diiringi dengan kemampuan internal untuk mewujudkannya hanyalah merupakan kondisi anasthesia.

*

Alam bertahan berkat sebuah prinsip efisiensi yang -sayangnya-  terlalu kejam untuk dipraktekkan dalam kehidupan kita, yaitu: “Tidak berpartisipasi berarti mati” *).  Itulah mengapa keberadaan pengidap anasthesia ini merupakan tragedi kehidupan manusia, karena ‘matinya energi kehidupan’ mereka menjadi beban bagi kita semua. Mereka memiliki tanda-tanda yang mudah dikenali; di antaranya adalah hilangnya koneksitas dengan lingkungan, kecenderungan untuk menolak tanggung-jawab, bahkan kebiasaan menuding pihak lain atas kemalangan yang menimpa diri-sendiri. Dimulai dari kesalahan ‘kecil’ berupa rendahnya apresiasi terhadap waktu, pada proses alami -yang selalu merupakan objek menarik bagi pengamat waktu, yang semua ini lalu menjadikan para pengidap anasthesia tersebut sebagai penyuka jalan-pintas. Betapa sayangnya, mengingat kita semua adalah pejuang tangguh yang terlahir sebagai pemenang. Pertanyaan berikutnya, ketika sejumlah besar pemenang dikumpulkan di muka Bumi, apakah tujuan yang ada di baliknya?

Tambahkan unsur “sejumlah besar pemenang” dengan “fasilitas belajar yang melimpah”, maka kita mendapatkan gambaran tentang sebuah pemusatan latihan. Tambahkan lagi pemusatan latihan ini dengan unsur “bekal waktu yang amat terbatas”. Hasilnya?  Sebuah wahana kompetitif dengan berbagai level pengujian di dalamnya.  Di sini setiap orang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri, yang kelak diuji melalui sebuah presentasi atau audisi. Mirip panggung kompetisi penyanyi amatir ala American Idol, atau panggung So-You-Think-You-Can-Dance untuk menemukan penari favorit. Dalam kompetisi tersebut, waktu yang dibatasi menjadi unsur terpenting untuk menguji keteguhan, kesabaran, dan penyerahan diri. Tentunya juga dimaksudkan agar peserta tidak menghamburkan waktu berharganya demi ‘pembelanjaan’ yang sia-sia, atau menyia-nyiakan waktu singkatnya demi langkah-langkah hampa. Mengapa?  Karena mantra ajaib yang pernah menjadikan kita pemenang atas sel telur ibu itu jelas-jelas berbunyi:  D.e.m.i  W.a.k.tu ...

Ya, waktu memang bukan milik kita. Namun pinjaman waktu ini memberi kita kesempatan untuk merancang sesuatu yang selamanya akan melekat pada kita, yaitu t.i.m.e.l.i.n.e  yang estetis.  Jika kita memanfaatkannya untuk menyajikan kisah hidup kita secara indah dan berkesan, maka kisah ini akan memiliki kelayakan untuk dipresentasikan sepanjang masa. Di dalam level estetika inilah alur waktu -yang sebenarnya dirancang untuk sekali-pakai-  itu tidak lagi berlaku. Karena level baru ini memungkinkan kisah kita di-replay sebagai sumber inspirasi berulang-kali, bahkan menjadi bagian penting dari proses regenerasi.  Inilah saat dimana waktu-sekali-pakai kita mengalami upgrading dan menjadi bagian dari keabadian. Betapa penting mengalokasikan waktu dengan bijak, agar hadiah spesial Tuhan ini mencapai derajat setinggi itu di tangan kita. Beberapa di antaranya adalah melalui praktek investasi dan berbagi. Dengan investasi kita menggunakan alat-tukar-waktu untuk memilih ‘belanjaan’ secara cermat, dan dengan berbagi kita mengubah berbagai 'belanjaan' tersebut menjadi semacam ‘modal bergulir’. Karena melalui aksi perguliranlah maka ‘belanjaan’ (baca: karya) kita akan menemukan orbit baru yang lebih luas untuk melanjutkan perjalanannya sendiri, atau bahkan menumbuhkan sayap untuk menembus ruang-waktu yang lebih jauh. Selalu begitu dimulainya jalan cerita indah. Hingga kelak ketika jatah waktu kita benar-benar habis, 'belanjaan' kita tadi masih memiliki masa-edar yang takkan pernah mati. Akhir kata, mari kita berharap bahwa suatu saat, ada sejumlah orang yang menyambut penghujung harinya dengan perkataan: "Yes, we have a great time" **). Hanya kali ini, ada nama kita dalam himpunan'we' (kami) yang mereka sebutkan itu, entah secara tersurat ataupun tersirat. Itulah penghargaan terindah bagi setiap 'investor' yang telah menghidupkan dan memuliakan waktu... Selamat memberdayakan lembaran siklus waktuyang baru !   [*]

*

*

*

Catatan kecil :

*) Istilah biologinya : apoptosis

**) To the righteous (orang-orang bertakwa), it is said : "What is it that your Lord has revealed ?"

They say : "All that is GOOD ..."  (QS - An Nahl : 30)

(But  I wish together we will say :

"All that is GREAT !

It's Beauty !

AESTHETIC !"  ^_^)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun