Mohon tunggu...
Tuty Yosenda
Tuty Yosenda Mohon Tunggu... profesional -

hanya perempuan kebanyakan dengan cita-cita 'kebanyakan' ;-) , yaitu jadi penonton, pemain, penutur, wasit, sekaligus ... penghibur. (^_^) \r\n\r\nblog personal saya adalah yosendascope.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Idul Adha : Tak Ada Kegembiraan Sejati Tanpa Pengorbanan

6 November 2011   12:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:00 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kami sudah mengorbankan rumah kami demi kenikmatan sementara kalian. Mengapa sekarang kalian menghendaki nyawa kami ?

Akan ada waktunya dimana kesenangan dalam menyumbang (hewan korban), menimbang dan mendistribusi, bahkan tambahan sate di meja makan ...semua ini terasa tak memadai lagi.  Harus ada semangat baru yang mewarnai berbagai persiapan tentang perayaan tersebut. Semangat semacam itu bertebaran dalam kisah-kisah klasik,  dan kita bisa memilih beberapa di antaranya untuk dijadikan semacam 'musik pengiring' di antara 'moment of silence' kita.

Di antara kisah klasik itu ada riwayat tentang Nabi Ibrahim dan keluarganya yang memiliki keyakinan begitu besarnya, hingga menyentuh level "tak bertanya dan mempertanyakan" terhadap segala kehendak Tuhannya.

Ada juga ketentuan Tuhan tentang hewan-hewan yang boleh dikorbankan -yang sudah pasti amat penting untuk direnungkan. Ketentuan ini menghapus sejarah kelam yang pernah mengorbankan para tawanan dan para perawan di masa lalu, juga -seyogyanya- meniadakan pembantaian terhadap orangutan, macan dan gajah .... yang sia-sia darahnya tertumpah, hanya demi melanggengkan kenikmatan segelintir elit yang serakah.

Yang paling istimewa adalah kisah tentang padang Arafah, dengan berjuta peziarah dalam balutan kain putih bersahaja - jauh dari kesan mewah dan megah. Bersama-sama mereka tafakur di bawah hamparan Langit yang sama. Tak ada hitam-putih dan kaya-miskin, karena hanya Tuhan sendiri yang tahu siapa di antara mereka yang lebih mulia di hadapanNya.

Ada beberapa kisah padang Arafah yang menunggu untuk disimak dan digali, tentu dalam keheningan batin kita sendiri. Tentang the first reunion antara Ayah-Bunda seluruh umat manusia di Jabal Rahmah, yaitu Adam dan Hawa. Juga tentang pidato terakhir Nabi Muhammad yang mengingatkan kita kembali akan persatuan umat manusia, the greater reunion itu.

Bahkan seorang manusia terdidik pertama yang mempersembahkan hewan korban untuk Tuhannya pun sepatutnya tak dilupakan, yaitu Habil (Abel) putra Adam.  Ia akhirnya terbunuh oleh saudaranya, Qobil (Cain), sebagaimana para Habilian (yaitu orang-orang yang hidupnya banyak bergantung pada Alam) selama ini yang juga selalu 'terbunuh' oleh ketamakan para Qobilian (yakni mereka yang hidupnya bergantung pada irama ekonomi dan denyut kapitalisme).

*

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Wahai saudaraku Qobilian, mengapa kau jadikan peradabanmu anak yang durhaka pada Alam, ibu kandungnya ? Mengapa kau biarkan Ekonomi ciptaanmu itu berdenyut liar bagai parasit yang bernafsu menghabisi Ekologi, induk semangnya  ?"]

Kami sudah mengorbankan rumah kami demi kenikmatan sementara kalian. Mengapa sekarang kalian menghendaki nyawa kami ?
Kami sudah mengorbankan rumah kami demi kenikmatan sementara kalian. Mengapa sekarang kalian menghendaki nyawa kami ?
[/caption]

*

Mungkin kita tak akan pernah menandingi keyakinan dan kerja-keras Nabi Ibrahim dan keluarganya. Mungkin juga kita takkan mampu meneladani kecintaan Nabi Muhammad pada seluruh umatnya secara sempurna. Bahkan arti kegembiraan dalam reuni yang dialami Nabi Adam dan istrinya pun mungkin takkan pernah terbayangkan oleh kita.

Meski demikian, masih ada ruang bagi kita untuk menemukan kegembiraan sejati milik kita sendiri. Sejarah bertutur, hanya kerja-keras di  medan perjuangan kita sendiri itulah satu-satunya cara sempurna untuk menciptakan kemenangan yang kelak bisa dirayakan dengan kegembiraan sejati. Kerja-keras ini dimungkinkan berkat adanya pertarungan hebat antara sisi Qobil dan Habil dalam diri kita. Sisi Qobil ini -disadari atau tidak- selalu mengajak kita untuk mengikatkan diri pada kesenangan sementara, sembari membuat jarak dengan irama Alam. Sementara suara Habil -yang umumnya lebih lirih- itu memanggil kita untuk merenung sejenak sambil merendahkan diri di hadapan Alam, lalu memandang sekeliling dengan penuh empati, tentu dengan perspektif Arafah yang menyaksikan busana putih-sederhana yang sama di mana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun