...
...
Hanya sayangnya, pulau itu bukan lagi surga.
...
...
"Karena kelangsungan surga tidaklah ditentukan semata-mata oleh habitat, tapi oleh adat istiadat ..." "Ketika para penumpang (baca : manusia) tak tahu adat terhadap inangnya (Bumi), maka ia sama terkutuknya dengan anak yang durhaka pada ibunya..." "Para ibulah (baca : Ibu Gaia, Ibu Bumi) yang memelihara surga, yaitu sebuah lingkungan harmonis yang mengalir sungai-sungai di bawahnya." "Kalian lupa, bahwa sungai yang selama ini terlihat melintasi lembah di zona terbawah itu, secara tak terlihat ia juga melintasi awan di zona atas. Dia mengalir sambil menyapa seluruh kehidupan yang dilaluinya. Karena tak ada outlaw di mata sungai yang mengalir, semua adalah brother-in-(natural)-law ." "Sayangnya, kalian memilih patung batu yang bisu. Kalian mengorbankan yang hidup demi yang mati." ... ... ...
Demikianlah kisah tentang sebuah pulau surga yang berubah menjadi neraka, karena warganya mempertuhankan statue (patung) dan status quo (kemapanan). Â Kejadiannya memang di Pusar Bumi. Namun kita berharap semoga salah urus yang fatal itu tidak meluas ke Pusar Dunia yang lebih besar, dimana kita dan orang-orang terkasih kita menjadi penumpang di atasnya.
Ya, keturunan Polinesia itu memang menumpang hidup di Rapa Nui, sebuah tempat yang tertutup dan jauh dari mana-mana. Kelalaian sempat membuat Rapa Nui menjadi neraka selama lebih dari seribu tahun.  Namun takdir bermurah hati untuk menjadikannya tempat wisata, sekaligus menjadi sebuah percontohan yang sempurna bagi warga Pusar Dunia (baca : dunia kita) untuk berhati-hati dalam menyusun prioritas hidupnya.
Bahkan sesungguhnya ketertutupan, keterasingan dan perasaan jauh dari mana-mana itu tidak hanya terdapat di Rapa Nui. Dunia kita sudah lama mengenal kondisi tersebut, dengan kesenjangan sosial dan bangunan-bangunan pencakar langit yang tak ramah sebagai moai-moainya, serta sikap saling mementingkan diri sendiri sebagai hamparan samudera yang memisahkan kita dengan orang lain. Entah kapan terakhir kali kita mengenal kehidupan sosial yang sejuk seperti aliran sungai. Ia selalu mengalir di bawah, dan sepanjang perjalanannya selalu membangun koneksi yang menumbuhkan tanpa sikap memihak. Kepada Samuderasungai itu berlabuh, karena Samudera Pemersatu itu bekerja sebagai peluruh (ego) dan penyembuh. Dan setelah masa pemurnian oleh Samudera, air persaudaraan itu menguap ke atas membentuk awan peneduh, hingga saatnya diturunkan sebagai hujan penumbuh. [*]
***