Sejak dua warga Indonesia asal Depok dinyatakan positif terjangkit covid-19 pada 02 Maret 2020, kepanikan dan ketakutan  di tengah masyarakat pun kian mencuat terkait penyebaran virus tersebut.
Hingga pada 15 Maret 2020, Pemerintah Pusat sigap menyerukan social distancing sebagai upaya memperlambat laju penyebaran virus yang sangat masiv penyebarannya ini dengan cara mengurangi mobilitas  massa diluar rumah. Mulai dari instansi pemerintah, swasta hingga lembaga pendidikan bersama-sama menerapkan social distancing dengan melakukan segala aktivitas, seperti bekerja, belajar dan beribadah dari rumah.
Seiring dengan berjalannya waktu, sejak diterapkannya sistem daring sebagai alokasi aktivitas dalam dunia kerja maupun pendidikan, secara tidak sadar telah membawa impact positif, khususnya dalam penggunaan teknologi seperti smartphone atau personal computer dengan lebih bijak.Â
Alih-alih memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai sarana memanjakan diri dengan game online atau aplikasi penghibur lainnya, kini kita mulai memanfaatkan teknologi sebagaimana hakekat fungsi mereka, yakni untuk membantu kita dalam beraktivitas. Mulai dari membangun literasi melalui dunia maya, belajar online hingga berkomunikasi jarak jauh dengan rekan kerja.
Namun, dengan diterapkannya sistem daring tersebut, tak luput menuai efek kejut bagi masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan. Bagaimana tidak? yang biasanya pembelajaran  dilakukan secara tatap muka diruang kelas, tiba-tiba kita dituntut untuk berkomunikasi dan berinteraksi melalui bantuan media. Dalam hal ini, orang tua pun ikut dilibatkan sebagai pengontrol kegiatan belajar dirumah bagi anak-anaknya.
Dalam banyak kasus, rata-rata pengajar hanya mengarahkan pembelajaran apa yang harus dipelajari oleh anak didiknya. Kemudian, orang tualah yang sepenuhnya mengambil kendali sebagai pengganti pengajar dirumah. Lalu, output dari apa yang dipelajari dikirimkan kembali kepada pengajar.Â
Namun tidak sedikit pula, sejumlah pengajar, orang tua atau anak didik yang merasa terhambat dengan sistem ini, karena beberapa dari mereka dikatakan gagap teknologi. Itulah yang kemudian menjadi keluh kesah dari orang tua murid yang anaknya masih mengenyam bangku sekolah dasar. Tak jarang juga kita mendengar para orang tua berkata "ini sistem yang ribet".
Namun jika kita naik satu tingkat ke jenjang SMP atau hingga perkuliahan, pasti kita akan menemukan keluh kesah yang berbeda. Dikalangan SMP hingga Perguruan Tinggi, keluhan yang diperoleh dari para pelajar, berkisar pada persoalan tugas yang terlalu banyak dan sistem daring yang dirasa tidak efektif.Â
Banyak dari mereka yang merasa sulit memahami berbagai tugas yang berikan karena tidak adanya penjelasan terlebih dahulu. Para tenaga pengajar ini dinilai hanya memberikan setumpuk tugas tanpa menyertakan bimbingan dalam prosesnya.
Tetapi disisi lain, adapula yang beranggapan bahwa dengan sistem ini, pelajar dituntut untuk lebih mandiri dan kreatif dalam menggali informasi dan tidak menggantungkan diri pada tenaga pengajar sebagai obejek vital pengetahuan. Selain itu dengan adanya sistem daring ini, pelajar memperoleh kesempatan untuk merasakan suasana belajar yang baru, karena kini belajar dapat dilakukan dimana saja. Tidak melulu di kelas yang sering kali dianggap membosankan. Ditambah lagi, dengan adanya alokasi sistem pembelajaran ini, melahirkan efisiensi dalam segi materi, waktu dan tenaga.
Namun kali ini, penulis ingin membuang jauh-jauh pro dan kontra terkait kebijakan daring/online yang dikeluarkan  melalui surat  ederan Kemendikbud RI Nomer 3 Tahun 2020 tentang pencegahan penyebaran virus covid-19. Kini, penulis ingin mengajak para pembaca untuk kembali memahami arti dari nilai dasar Pendidikan itu sendiri, sehingga kita dapat lebih tercerahkan dan bersemangat selama menempuh proses pendidikan ditengah pandemi ini.