Mohon tunggu...
Athiya Dyah Respati
Athiya Dyah Respati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa 23107030012/UIN Sunan Kalijaga

Penikmat karya seni, budaya, dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

UMKM "Lirik Lurik", Potret Warisan Budaya Lokal dalam Era Global

23 Juni 2024   21:51 Diperbarui: 24 Juni 2024   10:59 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dokumentasi pribadi penulis

Kain lurik merupakan warisan Nusantara terkhusus Jawa yang diwariskan secara turun temurun dan mengandung unsur kebudayaan. Defini kain lurik sendiri berarti kain tradisional bermotif lajur atau garis-garis vertikal dan horizontal yang pembuatannya dengan cara menenun. Kata lurik berasal dari bahasa Jawa, lorek yang memiliki arti garis-garis. Dilansir dari artikel Kompas.com, terdapat pendapat lain yang menyebutkan jika lurik berasal dari kata "rik" yang berarti garis atau parit dengan bermakna sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya. Daerah yang biasa menggunakan lurik antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I. Yogyakarta.

Sejarah kain ini terukir pada relief candi Borobudur yang menggambarkan seseorang sedang menenun dengan alat tenun gendong , ini artinya kain lurik sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Mengutip dari artikel Dibyo Lurik ,dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, namun juga dipakai di lingkungan keraton.

ilustrasi wanita menenun lurik by AI designer microsoft 
ilustrasi wanita menenun lurik by AI designer microsoft 

Dari beberapa situs peninggalan, diketahui bahwa tenun sudah dipakai sejak Kerajaan Majapahit. Sejarah kain tenun juga tertuang dalam cerita Wayang Beber tentang seorang ksatria melamar seorang putri dengan memberikan maskawin alat tenun gendong. Selain itu, pada prasasti Raja Erlangga Jawa Timur tahun 1033 tertulis nama salah satu kain tenun yaitu Tuluh Watu.

Corak lurik beragam variasinya sehingga memiliki nama masing-masing. Dahulu, corak lurik lebih bermacam-macam dibandingkan dengan sekarang yang beberapa sudah terlupakan. Nama -nama lurik diantaranya ialah klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang sekebon, ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribi. Sedangkan corak yang temasuk motif baru diantaranya adalah hujan gerimis, tenun ikat, mimi, galer, yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, dan masih banyak lagi.


Secara garis besar corak kain lurik dibagi menjadi 3 yaitu Lajuran yakni garis-garis membujur searah benang lungsi atau panjang kain( vertikal), Pakan malang yakni garis-garis melintang searah pakan atau lebar kain (horizontal), dan Cacahan yakni corak yang terjadi dari persilangan antara lajur dengan pakan malang terinspirasi dari buah nangka belum matang yang dicacah-cacah terkadang disebut juga dengan gori atau dam-daman.

Corak lurik tradisional biasanya dipadupadankan dengan flora, fauna, gending jawa, dan benda sakral maupun bertuah. Sementara, di Yogya kain lurik polosan dikenal dengan amanan wareg, berbeda dari Solo yang dikenal dengan polosan.

 Warna  pada lurik dibuat dari bahan alami. Biasanya kain lurik dominan gelap  seperti hitam, biru tua, merah tua, ungu tua, kuning tua, dan hijau tua.

Awalnya kain lurik berupa sehelai selendang yang dipakai untuk kemben menutupi bagian tubuh atas Wanita dan sebagai alat gendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh. Lalu penggunaanya berkembang menjadi jarik, stagen, hingga kebaya, surjan, serta beskap.

Saat ini lurik masih dikenakan untuk acara adat seperti ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya. Tak hanya itu bagi wilayah Yogyakarta, lurik masih digunakan oleh anak sekolah sebagai seragam setiap Kamis Pahing peringatan perpindahan keraton dari Ambarketawang ke tempat yang sekarang. Penggunaan lurik ini juga sebagai wujud pengenalan dan pelestarian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun